Bermodal bahan baku dari sumber daya alam, warga Aceh Selatan berhasil menciptakan produk yang bernilai seni tinggi. Sayangnya mereka belum menemukan strategi pemasaran yang tepat.
Oleh Hendrik Meukek
Beberapa kursi singgasana terbuat dari batang kelapa dipamerkan Karlis (50) di halaman rumahnya di Desa Madat, Kecamatan Samadua, Aceh Selatan. Ada juga meja besar dari bahan yang sama.
Berbeda dengan perabot rumah tangga lain, kursi dan meja itu dibuat tanpa menggunakan paku atau lem sebagai perekat. Melainkan dipasang menyatu antara bagian satu dengan lainnya—seperti konstruksi rumah panggung khas Aceh.
Karlis yang didampingi istrinya Hartini (43) pada Minggu (10/04/16) itu menuturkan, dia merintis usaha mebel rumah tangga berbahan baku dari sumber daya alam di sekitar desanya itu sejak 26 tahun lalu.
Sejatinya ada sejumlah kreasi kayu yang diolah Karlis dengan memanfaatkan peralatan seadanya. Namun kreativitasnya yang paling unik adalah meja dan kursi yang dibuat dari pangkal pohon kelapa.
Dia mengatakan butuh waktu setidaknya dua minggu untuk menghasilkan kursi dari pangkal batang kelapa berukuran 1 meter x 70 cm, dengan dibantu empat orang anaknya selama pengerjaan.
“Yang menyita waktu lumayan lama saat proses pahat, melobangi dan mengukir pangkal batang pohon kelapa, karena seluruh pekerjaannya kami lakukan dengan tangan,” ungkapnya kepada Pikiran Merdeka.
Satu kursi singgasana itu dijual Rp1 juta. Dia juga memproduksi kursi ukuran lebih kecil, yaitu 80 cm x 60 cm yang membutuhkan waktu satu minggu.
“Kalau dibeli per set (empat kursi dan satu meja), harga untuk ukuran kecil sebesar Rp3 juta dan ukuran besar mencapai Rp5 juta.”
Dia menjelaskan proses pembuatan furnitur rumah tangga itu secara singkat. Mulanya, pangkal pohon kelapa dipotong-potong, dipahat lalu dilobangi. Setelah berbentuk kursi atau meja, diukir motif aceh di sisi depan. Agar terlihat menarik, selanjutnya dikilapkan dengan kertas gosok seperti ampelas. Terakhir dicat sesuai warna yang diinginkan konsumen.
MANFAATKAN BANGKAI KAYU
Karlis juga menghasilkan kerajinan tangan lainnya berbahan baku bangkai kayu dan batok kelapa, seperti asbak rokok, teralis tangga, vas bunga, piala, kancing baju, gantungan kunci, hingga cangkir lengkap dengan seloki.
Guna mendapatkan bahan baku yang berkualitas, dia menggali kayu-kayu yang sudah tertanam cukup lama dalam tanah untuk diolah menjadi berbagai produk kerajinan tangan.
Bangkai kayu itu didapatnya dari sisa bencana banjir maupun mencarinya ke perkebunan masyarakat dan kawasan gunung di hari-hari biasa.
Setiap setiap kali banjir bandang melanda Samadua, Karlis dibantu anak-anaknya, berburu gelondongan kayu dengan menyusuri sungai di sekitar Kecamatan Samadua.
Kayu sisa bawaan banjir yang menurut mereka menarik akan dipungut untuk diolah menjadi produk kerajinan tangan. Jika kayu tersebut tertanam dalam tanah, mereka menggalinya secara manual.
“Proses penggalian bahan baku dalam tanah tidak kami lakukan sembarangan sebab menghabiskan tenaga percuma, melainkan memang ada tanda jejak yang mengisyaratkan bahwa di lokasi itu ada kayu yang tertanam sudah lama,” sebutnya.
Menurut Karlis, kayu yang sudah lama tertanam dalam tanah memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan dengan bahan kayu biasa yang didapat di perkebunan masyarakat.
Selain dijamin kuat dan anti dimakan rayap, juga memiliki ciri khas langka seperti menyerupai binatang tertentu, sehingga sangat mudah untuk dibuat produk kerajinan tertentu sesuai permintaan konsumen.
Namun kayu seperti itu sulit dicari. Karena harus memerlukan kerja keras menggalinya dalam tanah dengan kedalaman mencapai beberapa meter.
“Keberadaan kayu-kayu langka tersebut biasanya banyak ditemukan di pinggir-pinggir sungai yang dibawa arus banjir bandang, namun ada juga didapatkan di kebun masyarakat dan di kawasan gunung,” ujar Karlis.
Kayu-kayu yang berbentuk khas itu setelah dibersihkan dan digosok menggunakan kertas gosok, langsung mengeluarkan corak menyerupai binatang tertentu.
“Bentuk kayunya yang keras juga sangat mudah dipoles menjadi mengkilap, apalagi setelah kena cat pelitur,” kata Karlis.
Sementara untuk membuat produk furnitur rumah tangga, Karlis khusus menggunakan batang kelapa. Pangkal pohon kelapa diolah menjadi meja dan kursi.
Sedangkan pohonnya bisa untuk membuat vas bunga, gitar hiasan dinding, plakat nama, cangkir lengkap dengan sloki, piala, teralis tangga hingga celengan anak-anak.
“Termasuk tempurung kelapa bisa kami oleh menjadi asbak rokok serta berbagai produk kerajinan tangan lainnya. Artinya seluruh bagian dari pohon kelapa tersebut bisa kami manfaatkan untuk diolah menjadi produk bernilai jual,” papar Karlis.
MODAL FURNITUR TERBATAS
Karlis menyebutkan, khusus dalam membuat perabotan rumah tangga, dia membuat meja dan kursi dari pangkal batang kelapa hanya bila ada pesanan konsumen, karena keterbatasan modal.
Sebab jika menyimpan stok produk dalam jumlah banyak, di samping tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia juga kesulitan mendapatkan bahan baku.
“Pangkal pohon kelapa sebagai bahan baku kami beli dari masyarakat dengan harga lumayan mahal. Sebab selain butuh ongkos tebang, pangkal pohon kelapa juga harus digali dalam tanah untuk mendapatkan bahan baku berkualitas bagus,” ujarnya.
Produk kerajinan tangan Karlis biasanya diorder oleh konsumen dari Aceh Selatan dan luar daerah. Pembeli datang dari kalangan tertentu saja: pejabat dan orang kaya yang menggemari barang-barang antik dan unik.
“Sebab produk ini memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan produk perabotan yang dijual biasa di toko. Kursi dan meja dari pangkal pohon kelapa ini selain konstruksinya kokoh juga mengeluarkan hawa dingin, sehingga sangat cocok untuk dijadikan kursi dan meja tamu dalam rumah pribadi.”
Karlis mengharapkan ada investor atau pengusaha yang mau menanamkan modal. Dia juga mengharapkan Pemkab Aceh Selatan, Pemerintah Aceh, dan Kementerian terkait di Jakarta agar melirik usahanya.
Sebab dia meyakini, meja dan kursi berbahan pangkal pohon kelapa tersebut memiliki prospek cerah. Menurutnya, produk itu mampu diproduksi dalam jumlah banyak hingga dapat dipasarkan lebih luas ke luar daerah bahkan luar negeri.
TERKENDALA PEMASARAN
Sementara itu, ujar Karlis, sejumlah pelaku usaha kerajinan tangan lainnya di Aceh Selatan mengaku selama ini tidak tersedia tempat untuk mempromosikan produk hasil kreativitas mereka.
Dia menyebutkan, beragam hasil kerajinan tangan seperti vas bunga, asbak rokok, gantungan kunci, teralis hingga kursi dan meja yang semuanya terbuat dari bahan baku pangkal pohon kelapa, tidak mampu diolah dalam jumlah banyak karena terkendala pada pemasaran.
Selama ini selain menunggu datangnya konsumen ke tempat usaha, mereka juga membawa produk-produk tersebut keliling kampung dan ke tempat digelarnya “hari peukan” (pasar mingguan) di seluruh Aceh Selatan. Namun pemasaran seperti itu diakui belum mampu mendongkrak jumlah penjualan.
“Akibat terkendala pada pemasaran, kami meminta kepada Pemkab Aceh Selatan agar memfasilitasi kami menyediakan sebuah toko untuk kami jadikan outlet promosi dan pemasaran produk,” pintanya.
Ketua Forum Kewirausahaan Pemuda (FKP) Aceh Selatan, Nova Tristiana mengakui, sejumlah pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang telah mereka temui mengeluhkan terkendala pemasaran produk.
Menyiasati itu, pihaknya terus mendata pelaku UMKM di Aceh Selatan baik dari bidang kuliner maupun kerajinan tangan seni ukir kayu dan pengolahan limbah menjadi produk bernilai jual.
“Seluruh pelaku UMKM tersebut akan kami upayakan untuk difasilitasi mendapatkan modal usaha termasuk membantu memasarkan produk mereka. Untuk mendukung pemasaran, setiap bulan kami menggelar bazar yang dipusatkan di Swalayan Kecamatan Samadua,” paparnya.
Dia menyebutkan, FKP Aceh Selatan akan meminta Dinas Perinsdustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop dan UKM) Aceh Selatan untuk memfungsikan kembali toko 10 pintu milik dinas itu di depan Kantor POS Tapaktuan, yang sejak awal dibangun memang diperuntukkan untuk menjual hasil kerajinan masyarakat Aceh Selatan.
Kadisperindagkop dan UKM Aceh Selatan, Ridwansyah, berjanji akan mempertimbangkan permintaan mereka dengan cara memfasilitasi satutempat untuk memudahkan promosi dan pemasaran produk tersebut.
Dia menyebutkan, keberadaan toko 10 pintu di Tapaktuan selama ini tidak dimanfaatkan oleh pelaku usaha. “Sehingga daripada kosong, kami mengambil kebijakan untuk menyewanya kepada masyarakat luas sehingga mampu memberikan kontribusi PAD (Pendapatan Asli Daerah) bagi Aceh Selatan,” ujarnya.
Ridwansyah mengaku selama ini pihaknya telah memberikan dukungan maksimal kepada pelaku usaha kerajinan tangan di Aceh Selatan. Dalam beberapa tahun terakhir, cukup banyak pelaku UMKM dibantu peralatan kerja dan diikutikan dalam berbagai kegiatan pelatihan baik di dalam maupun luar daerah.
“Kalau pemberian modal kerja ya tidak ada, karena kami tidak tersedia anggaran untuk itu. Tapi untuk peralatan kerja sudah banyak yang kami salurkan kepada mereka. Bahkan beberapa di antara mereka sudah kami kirim untuk mengikuti pelatihan,” pungkasnya.[]
Diterbitkan Rubrik BISNIS Tabloid Pikiran Merdeka edisi 120 (18 – 25 April 2016)
Belum ada komentar