Kota Tua yang Hilang Identitas

Kota Tua yang Hilang Identitas
Kota Tua yang Hilang Identitas

Kota dengan peradaban terbesar di Asia Tenggara pada abad ke-XVI kini kehilangan jejak sejarah. Satu per satu bangunan bersejarah dibongkar diganti dengan model baru dan ruko.

 

Bangunan tua di sisi kiri Museum Negeri Aceh di kawasan Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh, itu terbengkalai. Suasana dalam kompleks bangunan terlihat sepi. Pohon asam Jawa yang berada di halaman ikut menambah kesan seram.

Bangunan yang berada di dalam kompleks Gedung Juang Banda Aceh itu sudah ada sejak zaman Belanda. Gedung tua yang di atas pintunya bertuliskan “Udep Saree Matee Sjahid” itu pada masanya pernah difungsikan sebagai Kantor Gubernur Belanda. Bangunan tersebut diperkirakan dibangun Pemerintah Hindia Belanda pada 1883, hampir bersamaan dengan dibuatnya Meuligo Gubernur yang berada di seberangnya.

Pada 1942 hingga 1945, gedung tua itu dijadikan sebagai Kantor Pemerintahan Militer Jepang dan Residen Aceh (shu chokan). Namun, ketika rakyat Aceh mendengar Indonesia telah merdeka, mereka merebut gedung dari tangan Jepang. Sesudahnya, pada 24 Agustus 1945, di gedung tersebut rakyat mengibarkan bendera merah putih; pertama kalinya di Aceh setelah proklamasi kemerdekaan.

Gedung itu berada satu kompleks dengan makam Pahlawan Nasional Sultan Iskandar Muda, Situs Cagar Budaya Makam Kandang Meuh, dan sejumlah peralatan perang Belanda.
Walau memiliki sejarah panjang, terutama terkait sejarah kemerdekaan Indonesia di Aceh, kompleks Gedung Juang ini seperti tak dipedulikan pemerintah. Gedung tak terurus. Dedaunan berserakan di halaman depan hingga ke selokan. Di dalam gedung yang menjadi Markas Daerah Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Aceh tersebut tak terlihat aktivitas karena pintunya digembok dari luar.

Bola lampu sebagai penerang yang berada di tiang depan gedung sudah lama raib. Petugas kebersihan atau perawatan juga tak terlihat di sekitar lokasi. Selain itu, beberapa bagian bangunan juga sudah tampak retak, bahkan ada yang sudah rusak.

Salah seorang pengurus kebersihan kompleks makam Sultan Iskandar Muda, Jufri menuturkan saat ini ada empat orang petugas yang bertugas di kompleks tersebut dari dinas yang berbeda-beda. Ia sendiri bernaung di bawah Dinas Sosial Kota Banda Aceh yang bertugas menjaga dan merawat kompleks makam Sultan Iskandar Muda. “Kalau perawatan sehari-hari, tiap pagi itu dibersihkan, untuk perawatannya,” ujarnya, Rabu dua pekan lalu.

Untuk merenovasi kerusakan pada bangunan-bangunan di dalam kompleks, Jufri harus mengajukan proposal ke instansi terkait. Untuk kompleks makam Sultan Iskandar Muda misalnya, itu diajukan ke Dinsos Kota Banda Aceh. “Bangunan yang sudah rusak itu diganti. Misalnya kalau dulu bangunannya dari kayu, diganti ke beton. Kalau bentuk bangunannya tetap sama.”

Pemko Abaikan Aset Sejarah
Jika dilihat dari usianya, Banda Aceh termasuk kota tua. Pada 22 April lalu, pemerintah kota baru saja memperingati hari ulang tahun kota yang ke 812. Alih-alih membenahi peninggalan sejarah seperti gedung juang, pemerintah kota lebih asyik mengisi ulang tahun dengan seremonial. Misalnya, jalan santai, fun bike, festival kopi dan mie, piasan seni serta berbagai acara lainnya.

Sementara, para pemerhati budaya telah berulang kali mengkritik pemerintah kota agar tak abai terhadap aset-aset sejarah yang ada di Banda Aceh. Sastrawan Aceh Hasyim KS dalam tulisannya, “Kenangan Sejarah Banda Aceh Tempoe Doeloe” menyebutkan, kini banyak bangunan bersejarah di Banda Aceh yang sudah rusak dan dibongkar paksa.

Hasyim mencontohkan gedung sentral telepon di persimpangan Jalan Teuku Umar arah ke Neusu. Gedung pelayanan telepon satu-satunya yang dioperasikan militer Belanda sejak 1903 itu telah dirubuhkan tanpa bekas.

Sementara itu, pemerhati sejarah Aceh Rusdi Sufi menilai Banda Aceh memiliki banyak sekali warisan jejak masa lampau yang menjadi identitasnya. Rusdi mengatakan ketika seseorang berbicara terkait sejarah itu harus ada sumber yang bisa dirujuk alias jejak masa lampaunya.

Namun, jejak-jejak tersebut menurutnya tak pernah dirawat dengan baik oleh pemerintah kota. “Seperti Gunongan, makam-makam raja, dan lain-lain. Saya lihat itu kurang mendapatkan perhatian dari Pemko. Kemudian juga jejak kuburan Belanda (Kherkoff) dan situs di Kampung Pande, jadi ada yang mendapat perhatian dan ada yang tidak,” ujarnya, Kamis dua pekan lalu.

Ia meminta Pemko Banda Aceh lebih peduli. Karena jika sudah punah, sambungnya, tak ada lagi jejak tersisa. Langkah konkretnya, menjaga yang masih tersisa dan membangun monumen-monumen untuk peristiwa sejarah tertentu. “Misalnya, monumen pendaratan pertama Belanda atau Jepang di Banda Aceh. Itu penting untuk pendidikan sejarah bagi anak-anak,” ujar pengarang buku Sejarah Kotamadya Banda Aceh ini.

Ia juga mempertanyakan slogan Banda Aceh sebagai Kota Madani tapi implementasi konsepnya tak jelas seperti apa. Seharusnya, kata dia, pemko mencari slogan alternatif lain yang lebih mencerminkan Banda Aceh sebagai kota dengan sejarah peradaban yang panjang.

Kritik juga datang dari budayawan Aceh, Nab Bahany AS. Ia berpendapat ada semacam hipokrisi yang tercermin dalam kebijakan pemko terkait upaya perawatan dan pemugaran bangunan-bangunan bersejarah di Banda Aceh.“Di satu sisi Pemko Banda Aceh selalu bilang akan melestarikan dan menyelamatkan warisan-warisan budaya. Tapi di sisi lain, tanpa sepengetahuan publik, satu persatu bangunan-bangunan bersejarah itu kan dibongkar,” tuturnya, Kamis dua pekan lalu.

Ia mencontohkan rumah peninggalan orientalis Belanda Snouck Hurgronje di dekat bekas penjara Keudah. Kini, di lokasi tersebut sudah dibangun toko tiga lantai. “Sekarang sudah tidak berbekas. Seharusnya itu punya benang merah historis yang sangat kental. Apalagi ketika orang Aceh bicara tentang Snouck,” ujarnya.

Sepengetahuan Bahany, kondisi bangunan-bangunan bersejarah di Banda Aceh masih terjaga hingga era 1980-an. Barulah setelah itu, kata dia, baik pemerintah maupun masyarakat cenderung menilai bangunan-bangunan tersebut terlalu penting. “Akhirnya, ya, mereka main bongkar saja. Umumnya sekarang kan sudah berganti dengan toko-toko bangunan,” ungkapnya.

Bahany meminta pemerintah menginventarisasi bangunan-bangunan yang dianggap memiliki nilai historis yang kini masih tersisa. “Yang penting sekali kita kembali ke dasar sejarah. Banda Aceh ini kan merupakan sebuah kota peradaban terbesar di Asia Tenggara pada abad ke-XVI dulu. Gimana caranya paling tidak ya kita bisa memperlihatkan nuansa itu.”

Membangun Jangan Menghancurkan
Selain membongkar, Pemko Banda Aceh juga dinilai kerap mengganti bagian-bagian bangunan bersejarah yang sudah rusak dengan bangunan model baru yang dianggap lebih modern, ketimbang memugar atau merawat bangunan aslinya. Hal ini mengakibatkan hilangnya nilai otentik dari bangunan sejarah tersebut. Sehingga yang tersisa sekarang hanyalah bangunan-bangunan gaya baru yang tak berhubungan langsung dengan kondisi fisik bangunan yang bernilai sejarah.

Pengamat tata kota Unsyiah, Asrul Sidiq menyarankan Pemko Banda Aceh belajar dari Jakarta yang memiliki Taman Fatahillah di Kota Tua. “Ini menjadi bukti ketika sebuah bangunan bisa direvitalisasi, ya, harus dipertahankan. Ini kan identitas kita yang berkaitan dengan aspek sosial budaya masyarakat,” ujar dosen Arsitektur Fakultas Teknik Unsyiah ini, Kamis dua pekan lalu.

Menurutnya, kekayaan budaya dan sejarah suatu daerah merupakan suatu kebanggaan. “Orang melihat pembangunan itu harus yang modern, padahal banyak daerah lain, seperti di Penang (Malaysia) itu dipertahankan sejarahnya. Intinya, membangun itu jangan dengan menghancurkan, tapi dengan memperkaya,” tegasnya.

Sebuah kota, kata Asrul, butuh solusi-solusi kreatif. Karena itu, tambahnya, harus ada partisipasi masyarakat untuk mencari solusi. “Hal ini perlu agar wajah kota ini menjadi lebih baik,” tuturnya.

Ia berharap pemko menyediakan ruang bagi partisipasi masyarakat dan saling bersinergi dalam pembangunan. “Kita sama-sama membangun kota. Tujuan akhirnya kan membuat masyarakat sejahtera. Kalau dari sudut pandang tata ruang itu ada empat tujuan pembangunan yang harus tercapai, yaitu aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.”[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait