Banda Aceh yang diklaim sebagai kota madani masih berselamak bangunan liar. Bercokol sejumlah gedung megah yang tidak sesuai IMB.
Ratusan kompresor AC berjejer rapi di sepanjang dinding bangunan megah. Sekilas, terlihat biasa-biasa saja. Namun, semakin dekat, pandangannya akan berbeda. Selain dari konstruksinya, pesona City Hotel tersebut semakin jelas terlihat dari bangunan yang terletak di Jalan Muhammad Daud Bereueh, Lampriet, Banda Aceh itu.
Tinggi hotel yang dibangun usai tsunami tersebut hampir menyamai menara Masjid Agung Almakmur yang hanya terletak belasan langkah dari sana. Maklum saja, gedung Hotel Mekkah itu dibangun menjulang hingga enam lantai. Lantai pertama dan kedua untuk basemen dan minimarket, sementara sisanya dijadikan penginapan mewah. Untuk berpindah dari lantai ke lantai, pengunjung juga tidak kewalahan, karena hotel milik almarhum Azhar Manyak (Abu Manyak) tersebut sudah difasilitasi dengan lift.
Baca: Hotel Megah Bunda Eli, Dugaan Cacat Prosedural dalam Penerbitan IMB
Namun sayang, hotel yang memakai nama salah satu kota suci di Arab tersebut, disebut-sebut belum memilik Izin Membangun Bangunan (IMB) yang sah dari Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh. Padahal, hotel tersebut sudah didirikan selama lebih dari satu dekade.
Saudara kandung Abu Manyak, Syarbaini (45) mengaku abangnya sudah sering bernegosiasi dengan pihak Pemko agar IMB tersebut segera disahkan. Namun, hingga ajalnya tiba, IMB tersebut masih saja tertahan.
Syarbaini juga sudah sering bernegosiasi dengan walikota dan pihak Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu (KP2TSP) agar IMB hotel abangnya itu segera dikeluarkan. Namun, usahanya itu belum membuahkan hasil, meskipun sudah dilakukan berulang kali. Bahkan, ia menuturkan, urusannya semakin hari semakin pelik dan berbelit.
Melihat gelagat ini, pihaknya tidak tinggal diam. Ia mengaku terus mengupayakan IMB tersebut hingga disahkan oleh pihak terkait. Belakangan, ia bersikeras tidak membiarkan lahannya yang terletak di Jalan Tengku Chik Ditiro dibebaskan Pemko untuk pembangunan fly over (jembatan layang) yang sudah dikerjakan beberapa bulan lalu. Ia baru membiarkan lahannya itu dibebaskan jika IMB hotel milik keluarganya disahkan.
“Kita manusia, bukan keledai. Walau bagaimanapun, yang hak kita tetap kita pertahankan semampu kita. Saya juga udah beberapa kali berunding dengan Pemko, tapi suaranya aja yang manis, pekerjaannya tidak. Kalau memang mereka mau memberikan IMB, uang ganti rugi dan tanah tersebut silahkan diambil untuk dia (Pemko) semua. Asalkan IMB keluar dan diteken di atas hitam dan putih.,” ungkap Syarbaini saat dijumpai Pikiran Merdeka, Selasa (21/6/2016).
Kini, kasak kusuk ‘barter’ IMB dengan pembebasan lahan untuk pembangunan fly over tersebut kian santer diperbincangkan. Banyak pihak menilai tindakan nekat keluarga Abu Manyak itu merupakan suatu hal yang wajar saja karena memperjuangkan nasib IMB hotel peninggalan sang almarhum. Pun demikian, tidak sedikit yang berpandangan kontra. Mereka menganggap tindakan tersebut malah dapat menghambat proses pembangunan jembatan multyears tersebut.
Selain Hotel Mekkah, pembangunan hotel megah milik Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal juga ditengarai menyalahi IMB. Bangunan tiga lantai di Jalan Gabus, Desa Bandar Baru, Lampriek itu, disebut-sebut hanya mengantongi IMB untuk rumah toko, bukan untuk hotel.
Walikota Banda Aceh Illiza Sa’adudin Djamal ketika dikonfirmasi, beberapa waktu lalu, mengakui hotel di Jalan Gabus tersebut adalah milik keluarganya. Menurut dia, hotel itu dibangun di atas tanah warisan orang tuanya. Namun, ia memastikan bangunan itu sudah memiliki IMB. “Tidak ada masalah, bangunan hotel punya IMB, dan saya bayar pajak,” ujar Illiza.
Walikota menyebutkan, pihaknya telah menghabiskan uang puluhan juta rupiah saat pengalihan IMB dari status sebelumnya menjadi hotel. Namun ia mengaku tak ingat lagi kapan status perubahan IMB tersebut, karena sudah lama selesai diurusnya.
Menyangkut proses IMB diperolehnya sejak lama padahal tempat parkiran hotel tersebut baru tersedia dua bulan lalu, Illiza mempersilahkan untuk mempertanyakannya kepada KPPTSP selaku pihak yang menerbitkan IMB.
Sementara Kepala Kantor Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu (KPPTSP) Banda Aceh, Dra Salmiah yang berulang kali ditemui Pikiran Merdeka tidak bisa memastikan kalau hotel milik atasannya sudah mengantongi IMB yang sah.
Sedangkan terkait IMB Mekkah, Salmiah mengatakan pihaknya tetap menyikapinya dengan mengacu kepada dokumen yang pernah diajukan pihak Abu Manyak. “Dulu kan dokumennya diajukan untuk perkantoran swasta. Tapi seiring waktu berjalan, bangunan itu menjadi hotel. Tapi saya juga tidak terlalu paham, karena itu kan kasus lama. Tapi kalau kita lihat dokumen yang ada, itu kan peruntukannya sudah berbeda, peralihan peruntukannya itu,” ujar Salmiah saat dikonfirmasi ulang.
Untuk permasalahan tersebut, anggota Komisi C DPRK Banda Aceh Irwansyah memilih menaggapinya netral. Ia minta agar keluarga Abu Manyak tidak mengajukan barter sebagai alat saling menyandera dan segera bersedia melepaskan persil tanahnya di lokasi pebangunan jembatan layang demi kepentingan masyarakat luas. Di samping itu, ia juga mendesak pihak Pemko untuk menseriusi tindak lanjut IMB Hotel Mekkah sesuai dengan keputusan yang pernah dibicarakan dengan DPRK beberapa waktu lalu. Salah satunya, segera menurunkan tim penilai (audit) untuk mengukur struktur bangunan enam lantai tersebut.
“Jadi kalau mereka (keluarga Abu Manyak) minta IMB ya dikeluarin. Apa saja syarat untuk dikeluarin IMB-nya, ya harus dipenuhi dan dikejar. Kalau memang harus ada audit strukturnya, ya lakukan auditnya,” tuturnya kepada Pikiran Merdeka, Kamis (23/6/2016).
Selain itu, imbuhnya, untuk tim auditstruktur bangunan, ia sudah pernah menyarankan pihak Pemko untuk mendatangkannya dari pihak Unsyiah, tanpa harus menunggu pihak penilai besutan Litbang PU.
“Jalan terbaik untuk audit struktur bangunan di Hotel Mekkah itu dengan meminta pihak Unsyiah melakukannya. Tidak mesti harus dari PU lagi. Pertama biaya yang agak besar, yang kedua Unsyiah memang aset kita yang harus kita berdayakan,” sebutnya.
Hingga sejauh ini, lanjut dia, pihaknya intens memusyawarahkan masalah tersebut dengan beberapa pihak, seperti Ombudsman dan Pemko. Namun, musyawarah itu kerap dilakukan secara terpisah sehingga tidak menghasilkan suatu titik terang.
“Untuk itu, saya juga sudah pernah menggagaskan rapat triparti antara Obbudsman, DPRK dan Walikota untuk mebahas tindak lanjut masalah ini (secara bersamaan). Saya pikir rapat ini perlu digagas segera, siapa yang mengambil inisiatif ini, saya tidak tahu. Kalau bisa, pemerintah kota yang berinisiatif. Pertemukan saja ketiga kelompok tadi,” pungkasnya.[]
Belum ada komentar