PM, Banda Aceh – Sedikitnya 92 lintas lembaga yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Antikorupsi Indonesia, mendesak Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri segera membatalkan pemberhentian terhadap 75 pegawai lembaga antirasuah itu.
Koalisi ini beranggotakan sejumlah lembaga eksekutif dan aliansi mahasiswa, organisasi jurnalis, pegiat antikorupsi, forum studi akademisi, pegiat lingkungan serta lembaga bantuan hukum.
Dalam keterangan persnya, Senin (17/5/2021), narahubung koalisi tersebut di Aceh, Mahmuddin menyebut KPK yang sejatinya bertugas menyelamatkan uang rakyat dari tindak pidana korupsi, kini sudah dibunuh secara sistematis.
Bahkan, kata dia, Mahkamah Konstitusi sebagai benteng terakhir penyelamat KPK telah gagal menjalankan mandat utamanya sesuai pembukaan konstitusi, karena mengabaikan aspirasi rakyat dengan menolak Pengujian Perundang-Undangan secara Formil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Menurut koalisi ini, substansi UU KPK secara terang benderang telah melumpuhkan KPK, baik dari sisi profesionalitas maupun integritasnya. Hal itu tampak mulai dari hilangnya independensi, pembentukan dan fungsi berlebih Dewan Pengawas, polemik kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), hingga alih status kepegawaian KPK ke Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Hasilnya sudah terbukti, implikasi dari UU KPK tersebut telah mempersulit kinerja KPK, mulai dari kegagalan KPK dalam memperoleh barang bukti saat menindak kasus tipikor, hilangnya aktor kunci dalam kasus tipikor yang tidak ditemui hingga sekarang, hingga penerbitan SP3 untuk perkara mega korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia,” uajr Mahmuddin.
Ungkit Pelanggaran Etik Firli
Masih dalam pernyataan sikapnya, koalisi sipil ini juga mengungkit kembali pelanggaran etik yang pernah dilakukan Firli Bahuri. Mereka menyebutnya “degradasi etika yang cukup serius”. Selain itu juga telah terjadi serangkaian masalah di KPK, mulai dari pencurian barang bukti, praktik penerimaan gratifikasi, serta suap untuk menghentikan perkara korupsi yang ditangani.
“Pelan tapi pasti telah merusak reputasi KPK yang sejak lama justru jadi satu-satunya harapan rakyat dalam pemberantasan korupsi,” sahut Mahmuddin.
Kini, tambahnya, pelemahan KPK secara sistematis kembali dilakukan melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Tes tersebut disinyalir menjadi upaya serangan balik para koruptor untuk menyerang penyidik-penyidik berintegritas KPK. 75 pegawai KPK yang di antaranya termasuk Novel Baswedan menjadi korban dari tes ‘abal-abal’ tersebut.
“Padahal mayoritas di antara mereka saat ini sedang mengawal kasus tipikor besar, seperti korupsi bantuan sosial (bansos), korupsi lobster, serta korupsi berbagai kepala daerah yang kemarin baru saja ditindak.”
Tes tersebut dikritik banyak pihak karena dianggap tidak memiliki komponen penilaian yang profesional dan cenderung menyerang privasi, seperti pertanyaan yang menyinggung keyakinan seseorang, rasis, seksis, serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tidak relevan.
Di sisi lain, dalam Ketentuan Peralihan UU KPK, dijelaskan bahwa KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apa pun di luar desain yang telah ditentukan tersebut sesuai dengan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019.
Koalisi menilai seharusnya Firli Bahuri wajib mematuhi aturan hukum dan putusan MK yang telah menegaskan bahwa peralihan status kepegawaian tidak boleh merugikan pegawai itu sendiri.
“Hal ini kami nilai sebagai siasat hukum dari Ketua KPK yang sejak awal memiliki kepentingan dan agenda pribadi untuk “menyingkirkan” para pegawai yang sedang menangani perkara besar yang melibatkan oknum-oknum yang kekuasaan. Berbagai kasus terkait pembusukan KPK yang terjadi saat ini semakin membuktikan bahwa implikasi dari Revisi UU KPK dan masuknya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK telah membunuh pemberantasan korupsi itu sendiri,” pungkasnya.
Dalam keterangan pers tersebut, Koalisi Masyarakat Antikorupsi Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mendesak Ketua KPK untuk membatalkan hasil seleksi TWK dikarenakan pertanyaan-pertanyaan TWK yang bersifat pribadi, seperti pertanyaan ajaran keyakinan, pertanyaan yang bersifat seksis, pertanyaan yang bermuatan pelecehan, pertanyaan yang menyinggung ras, serta pertanyaan-pertanyaan lainnya yang tidak ada hubungannya dengan wawasan kebangsaan seseorang;
- Mendesak Ketua KPK untuk membatalkan pemberhentian terhadap 75 pegawai KPK yang di antaranya sudah terbukti rekam jejaknya memiliki integritas, berkomitmen tinggi dalam melakukan pemberantasan korupsi, serta sedang dalam menangani kasus tindak pidana korupsi untuk menyelamatkan raupnya uang negara;
- Mendesak MK untuk menegaskan bahwa dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN, sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan Ketentuan Peralihan UU KPK. Dalam Ketentuan Peralihan UU KPK, dijelaskan bahwa KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apa pun di luar desain yang telah ditentukan tersebut sesuai dengan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan;
- Mendesak Ketua KPK untuk menyudahi segala bentuk tindakan yang ditujukan sebagai bagian dari proses pelemahan dan pembusukan KPK.
- Mendesak Ketua KPK untuk menjalankan kewajiban pertanggungjawaban kepada publik atas pelaksanaan tugasnya dan membuka akses informasi sesuai Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) huruf c UU KPK atas hasil asesmen yang dijadikan penilaian dan kebijakan untuk menyingkirkan pegawai KPK melalui proses penelitian khusus (litsus); serta
- Mendesak Ketua KPK untuk membentuk Tim Investigasi yang melibatkan partisipasi publik secara luas guna melakukan investigasi yang menyeluruh atas dugaan skandal pemberhentian pegawai KPK.(*)
Belum ada komentar