PM, Banda Aceh – Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasional Aceh (DPP-PNA) menolak hasil Pemilu Legislatif 9 April 2014 di sejumlah kabupaten/kota yang disinyalir penuh pelanggaran, kecurangan serta manipulasi.
Ketua Umum PNA Irwansyah mengatakan pelaksanaan pemilu legislatif di Aceh diwarnai pelanggaran dan kecurangan sangat terbuka, sistemik dan telah menodai pelaksanaan demokrasi di Aceh.
Irwansyah menuduh ada konspirasi antara Pemerintah Aceh dan penyelenggara pemilu untuk memenangkan Partai Aceh sebagai partai penguasa saat ini. Selain pelanggaran, pelaksanaan Pemilu kali ini juga diwarnai kekerasan dan intimidasi baik sebelum pelaksanaan Pemilu maupun di hari pemilihan.
“Kekerasan dilakukan oleh partai penguasa maupun penyelenggara Pemilu dan pemerintah di setiap tingkatan. Korban dari konspirasi ini adalah PNA,” kata Irwansyah dalam realese yang dikirim ke pikiranmerdeka.com, Jumat (06/04/2014) malam.
Akibat dari kecurangan ini, Irwansyah mengklaim PNA telah kehilangan suara lebih 40 persen. Kata dia, saat ini para saksi di TPS di sejumlah daerah terus melaporkan kecurangan tersebut kepada pihaknya.
“Seperti di Sabang, Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Lhok Seumawe, Bireuen, Aceh Timur, dan Kota Langsa. Begitu juga dengan kawasan pantai Barat Selatan seperti Aceh Jaya, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Nagan Raya. Kecurangan ini diperkirakan akan terus bertambah,” katanya.
Irwansyah membeberkan sejumlah modus yang mengakibatkan suara partai orange itu kehilangan suara, yaitu intimidasi dan teror oleh partai penguasa. Menurutnya, sejak proses pembentukan partai hingga menjelang hari pemilihan, PNA senantiasa mendapat teror dan intimidasi, mulai pembunuhan pengurus dan para kader, penganiayaan, ancaman hingga perusakan harta benda.
“Bahkan salah satu kader kami yang diculik sampai hari ini belum ditemukan. Di basis-basis partai yang berkuasa, lebih 80 persen saksi PNA tidak bisa bekerja secara maksimal. Bahkan ratusan di antaranya mengundurkan diri karena berbagai ancaman. Intimidasi juga dilakukan kepada masyarakat dan para pemilih agar memilih partai yang berkuasa,” jelas Irwansyah.
Kemudian kecurangan pihak penyelenggara, seperti KIP provinsi dan KIP kabupaten/kota, PPK, PPS dan KPPS secara nyata memihak Partai Aceh. Hal ini dibuktikan dengan kasus suara yang sudah tercoblos sebelum hari ‘H’.
“Upaya memanipulasi suara oleh ketua KIP Aceh Timur, pengarahan oleh KPPS di bilik suara yang terjadi di berbagai tempat, undangan yang tidak dibagi dan pelanggaran lainnya. Kecurangan dari penyelenggara ini dimulai dari proses pengangkatan anggota KIP yang tidak transparan dan hanya mengakomodir calon-calon yang mendukung partai penguasa. Beberapa anggota KIP secara terang-terangan terlibat dalam kegiatan-kegiatan Partai yang berkuasa,” jelas Irwansyah.
Selanjutnya, tambah Irwansyah, Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota tidak netral dan secara terang-terangan berpihak kepada partai berkuasa. Keberpihakan tersebut, kata Irwansyah, dengan mengarahkan dan mengancam PNS, camat dan aparatur pemerintah lainnya untuk mendukung partai berkuasa. Keberpihakan lainnya dengan menggunakan fasilitas dan program-program pemerintah untuk mendukung partai yang berkuasa.
“Pembiaran juga dilakukan pemerintah dengan mendiamkan kendaraan berbalut stikker dan atribut Partai Aceh di sekitar TPS. Ini adalah intimidasi kepada pemilih. Semua ini bukan hanya dilaporkan kader PNA di lapangan, tapi juga ditemukan LSM yang memantau pemilu,” katanya.
Dengan berbagai kecurangan dan kekerasan tersebut, Irwansyah berharap masyarakat dan seluruh komponen memantau dan mengontrol hasil Pemilu agar proses demokrasi tidak gagal di Aceh. [Rel/PM 001]
Belum ada komentar