KKR Aceh Mulai Dari Nol

Lorong Ingatan 1998-2005, Menata Kenangan Konflik Masa Lalu. (Foto PM/Oviyandi Emnur)
Lorong Ingatan 1998-2005, Menata Kenangan Konflik Masa Lalu. (Foto PM/Oviyandi Emnur)

Oleh Fajran Zain

^Direktur Eksekutif  The Aceh Institute

Fajran Zain

 

Hampir setahun Pemerintah Aceh meresmikan keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Sayangnya, dalam rentang waktu tersebut belum banyak hal-hal besar yang kita temui di lapangan. Sebaliknya, ekspektasi korban kian menjulang dengan hadirnya lembaga resmi ini. Di mana letak kendalanya?

Tidak banyak yang tahu bahwa keberadaan komisi ini tidak bisa dipisahkan dari tarikan politik dan aroma kepentingan. Menurut Anda, apakah sebuah kebetulan bila pelantikan komisioner ini dipaksakan pada dua hari sebelum masa cuti mantan gubernur Abu Doto? Apakah sebuah kebetulan komitmen Abu untuk mendukung kinerja lembaga seolah terbang bersama angin seiring rendahnya perolehan suara Abu pada Pilkada 2017 ?

Ketidakjelasan biaya operasional dan ketersediaan sekretariat hingga Juli 2017 juga menjadi catatan tersendiri. Walau di atas kertas KKR sudah bisa beroperasi per Januari 2017, namun di tujuh bulan pertama, relatif tidak terlihat dukungan apapun dari Pemerintah Aceh. Untungnya ada dukungan beberapa CSO yang sudah berkomitmen pada KKR jauh-jauh hari. Dalam minusnya dukungan kala itu, KKR berhasil menyampaikan laporan semester awal yang di dalamya mencatumkan adanya 44 kali sosialisasi yang dilakukan secara manual dengan dukungan yang sporadik. Anda miris? Ka keuh meunan.

Musim politik berganti, Irwandi-Nova kini yang naik tahta. Pun begitu, political will dari pemerintah terhadap KKR juga tak kunjung nyata. Masih ada harapan tentunya untuk terus mengkapitalisasi dukungan, khususnya dari Pemerintahan Aceh yang sedang berjalan.

Lupakan soal dukungan politik yang membuat para komisioner nelongso. Berbekal modal yang ada, komisioner KKRA terus bergerak, salah satunya dengan menggencarkan sosialisasi. Namun ada hal lain yang lebih sulit, kali ini tantangan itu datang dari para penyintas yang merupakan stakeholder utama.

Dalam setiap sosialisasi, ada dua pertanyaan yang sering mereka ajukan, pertama, kemana saja para komisioner KKR selama ini, kenapa baru hari ini mulai bekerja? Kedua, kenapa harus ada pengumpulan data kembali, apakah data lama yang sudah ada tidak cukup atau tidak berlaku lagi?

Adalah fakta bahwa masyarakat sudah begitu lama menunggu hadirnya lembaga ini. Idealnya, sesuai muatan MoU Helsinki, KKR sudah hadir sejak tahun 2007, namun baru sepuluh tahun kemudian para komisionernya bekerja. Jawabannya sangat politis, salah satunya adalah adanya penjara kebenaran di mana siapapun yang terlibat konflik pada masa itu tentu tidak menginginkan fakta atas kasus-kasus lama diangkat kembali. Mengutip istilah seorang kandidat Presiden Amerika, Al-Gore, the inconvenient truth atau kebenaran yang tidak membuat nyaman. Kebenaran pahit di masa lalu akan menjadi boomerang bagi karir yang sedang menanjak bagi figur-figur yang berada di para pihak.

Adalah fakta bahwa penantian yang panjang itu membuahkan sikap fatalis dan skeptic pada apa yang akan dilakukan ke depan. Mengulang-ulang cerita lama, tanpa ada kejelasan akan kemana curhatan pahit itu dialamatkan, sungguh menjemukan dan hanya akan mengundang trauma. Seolah-olah semua harus dimulai kembali dari awal, ini juga yang sangat memojokkan posisi komisioner sebagai pihak yang hadir sebagai pencuci piring kotor setelah pesta usai.

Pada satu sisi, kebijakan memulai dari nol adalah sebuah keniscayaan karena selama ini proses pengungkapan kebenaran yang secara resmi oleh lembaga pemerintah belum pernah dilakukan. Proses pendataan yang pernah ada bersifat parsial, maka tidak heran bila penanganannya pun bersifat parsial. Ada yang mendapat bantuan dua atau tiga rumah sementara ia bukan korban. Sebaliknya, ada yang sesungguhnya korban konflik, malah ia tidak mendapat bantuan apa-apa. Maka tahapan pengungkapan kebenaran tak bisa dielak.

Upaya pendataan yang pernah dilakukan sebelumnya telah menempatkan kasus Aceh dalam posisi yang berputar-putar pada rotasi yang ada. Tidak ada progres yang signifikan dari proses penggalian data di masa lalu. Lalu sebagai pihak yang hadir belakangan, komisioner KKR mesti melakukan apa? Mengambil data yang sudah ada sebagai data resmi tentu bukan solusi. Maka diperlukan data dari tangan pertama dan memulainya dari awal sekali. Konsekuensinya memang akan membuat para penyintas kurang menyenanginya.

Tidak bisa kita hindari, kebijakan mengulang dari nol ini sudah menjadi kebiasaan lama di lingkungan pemerintah. Boleh jadi karena tidak mengakui warisan program dari pemimpin terdahulu, maka pemimpin hari ini ingin mengembangkan program lain yang berbeda. Intinya kurang lebih sama, yang berbeda hanya dalam soal ego pemaknaan. Ingatkah kita pada program JKA (Jaminan Kesehatan Aceh) besutan Irwandi-Nazar yang ingin dibuat tampil beda oleh pasangan Zaini-Muzakkir dengan nama JKRA (Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh). Hanya menambah huruf R saja.

Namun pada konteks KKR arasnya memang berbeda di mana kebijakan me-nol-kan setiap data yang ada adalah bagian dari otentisasi sejarah dan hasrat untuk menemukan data yang komprehensif. Seperti juga salah satu misi KKR adalah untuk menuliskan ulang narasi sejarah konflik dan perdamaian Aceh khususnya dari sisi korban.

Maka, bantulah KKR, agar sejarah tidak menghilangkan segala cerita kelam tanpa jejak dan tanpa ruang berkaca bagi anak-cucu untuk perbaikan masa depan. Kebijakan me-nol-kan proses adalah keniscayaan. Mari galang dukungan semua pihak tanpa dibalut ego hanya karena program ini dilahirkan oleh pemerintahan sebelumnya. Demi sebuah dukungan, apakah KKRA harus kita ganti dulu menjadi KKRRA (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Rakyat Aceh)? Wallahu ‘alam.[]

1 Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. (Privacy Policy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Lady Gaga Utusan Setan?
Lady Gaga Utusan Setan?

Lady Gaga Utusan Setan?

Leader
Jangan Menjadi Kodak!

Jangan Menjadi Kodak!