Panitia pembangunan masjid dan pihak yayasan saling klaim terhadap pengelolaan Masjid Abu Bereueh. Kisruh itu terus meledak-ledak sejak puluhan tahun silam.
Ratusan warga berkumpul di halaman Masjid Baitul A’la Lilmujahidin Beureunuen, Pidie, atau yang kerap disebut dengan Masjid Abu Beureueh. Sementara di dalam masjid sedang digelar rapat persiapan pelantikan pengurus Yayasan Pendidikan Baitul A’la.
Rapat tersebut dihadiri panitia pembangunan masjid dan pengurus yayasan yang berada di komplek masjid itu. Pertemuan yang berlangsung sekira pukul 15.00 WIB itu juga dihadiri oleh mantan Gubernur Aceh dr Zaini Abdullah. Dalam rapat tersebut, Doto Zaini mewakili pihak yayasan.
Di komplek masjid yang berada di Jalan Nasional Banda Aceh–Medan ini berdiri lembaga pendidikan yang dikelola Yayasan Baitul A’la. Yayasan itu di luar kepengurusan masjid. Setidaknya begitulah klaim pengurus masjid kepada Pikiran Merdeka.
Namun tak disangka, pertemuan tersebut berisi perdebatan yang berujung kericuhan. Polisi dan TNI yang ikut mengawal pertemuan itu akhirnya harus mengevakausi Doto Zaini dengan kendaraan baracuda yang sudah disiagakan oleh jajaran Polres Pidie.
“Kekisruhan terjadi akibat adanya kesalahpahaman antara panitia pembangunan masjid dengan yayasan lembaga pendidikan yang berada di komplek masjid,” kata Hasan Uma, Panitia Pembagunan Masjid Baitul A’la Lilmujahidin Beureunuen kepada Pikiran Merdeka.
Menurut Hasan Uma, pihak yayasan hendak memasukkan Masjid Baitul A’la Lilmujahidin Beureunuen ke dalam struktur yayasan. Hal itu tentu ditolak oleh panitia pembangunan masjid yang dibentuk para jamaah.
“Awal mula pendirian masjid, dalam prosesnya terdapat wakaf-wakaf dari masyarakat dan secara hukum tidak dapat dipindahtangankan. Makanya ditolak keinginan pihak yayasan,” katanya.
Dia menjelaskan, dalam rapat yang berlangsung di kantor yayasan, mewakili panitian pembangunan masjid hadir Ishak Lamkawe, Waled Nasir, khatib masjid, Waled Baka, Abu Baka Barieh, dari forum keuchik, serta tokoh masyarakat Kecamatan Mutiara.
“Pihak yayasan mengutarakan maksud untuk memasukkan masjid ke dalam yayasan. Kami bilang, silahkan melantik panitian yayasan tetapi jangan masukkan masjid ke dalam yayasan, karena masjid ini terdapat wakaf-wakaf masyarakat,” jelasnya.
Selain itu, tambah Tgk Hasan, dalam rapat tersebut pihak yayasan sempat meminta waktu satu jam guna melantik panitia yayasan. “Mewakili pihak masjid, saya mempersilakan mereka melantik panitia yayasan, tetapi jangan memasukkan masjid ke dalam yayasan, karena msjid ini milik masyarakat,” tuturnya.
Namun, lanjut dia, salah satu dari pihak yayasan langsung mengklaim bahwa dari dulu Masjid Baitul A’la Lilmujahidin memang sudah termasuk ke dalam yayasan. “Orang yang mengklaim itu duduknya persis di samping Abu Doto,” katanya.
Di saat bersamaan, kata dia, ada suara dari luar yang meyerukan bahwa teungku dipukul. Karena itu, suasana di dalam masjid semakin tidak terkendali. Pihak kepolisian kemudian berusaha menenangkan keadaan.
Tidak berselang lama, papar Tgk Hasan, banyak warga yang berdatangan ke Masjid Baitul A’la Lilmujahidin Beureunun. “Lalu pihak kepolisian meminta saya untuk menenangkan warga, seraya mengeluarkan Doto Zaini dari lokasi,” katanya.
Kapolsek Mutiara Barat Ipda Irwansyah saat di konfirmasi enggan memberi keterangan terkait kekisruhan tersebut. “Oh kalau itu ke Kapolres saja ya,” jawab Irwansyah.
Sementara mantan panitia masjid Baitul A’l Lilmujahidin tahun 2003-2013, Rinaldi Nurdin menyebutkan, dirinya diangkat sebagai panitia pembangunan masjid berdasarkan Surat Keputusan (SK) dari pihak yayasan. Sepengetahuannya, sejak dulu masjid memang sudah termasuk aset yayasan.
“Saya pernah menjadi pengurus masjid tersebut pada tahun 2003 sampai dengan 2012 di bawah yayasan. Saat itu jabatan saya dalam kepengurusan masjid sebagai sekretaris. Pada 2017 juga kembali diajak bergabung, karena saya pernah menjadi pengurus di bawah yayasan, ya saya mau saja,” akunya.
Ihwal sejarah Masjid A’la Lilmujahidin apakah sudah termasuk ke dalam Yayasan Rinaldi Nurdin ata tidak, ia menyarankan untuk melihat langsung akta notaris. “Ambil akta notaris saja, kalau terkait sejarah masjid tersebut ada akta notaris,” katanya.
Menyangkut polemik berkepanjangan di lingkungan masjid, dia menolak menjelaskan lebih jauh. Ia meminta untuk ditanyakan langsung kepada pihak yayasan. “Saya ada intruksi dari yayasan, dilarang memberikan konfirmasi segala sesuatu yang menyangkut polemik tersebut, karena sudah sangat riskan. Jadi saya tidak bisa menjawab menyangkut dengan yayasan. Yang bisa menjawab hanya pihak yayasan,” ungkapnya.
Sementara Zulfikar Gamal, ketua yayasan, berulang kali dihubungi Pikiran Merdeka, tak menjawab panggilan masuk di ponselnya.[]
Sejarah Panjang Masjid Abu Bereueh
Proses pendirian dan pembangunan Masjid Baitul A’l Lilmujahidin di Gampong Yaman, Kecamatan Mutiara Barat, Kabupaten Pidie, melibatkan unsur masyarakat. Pendirian masjid yang diinisiasi oleh Tgk Muhammad Daod Beureueh itu menggunakan bantuan-bantuan, wakaf-wakaf dari masyarakat yang seadanya sehingga pada tahun 1972 berdiri kokoh rumah ibadah tersebut.
Dalam perjalanannya, di komplek tersebut juga berdiri Yayasan Lembaga Pendidikan Baitul A’la. Jurnalis dan sejarawan Aceh, Iskandar Norman dalam tulisannya setelah mewawancarai Abu Mansor, sekretaris pribadi Abu Beureueh pada 2004 silam menceritakan bahwa Mesjid Baitul A’la Lilmujahidin pernah juga terjadi sengeketa. Di mana, sengketa yayasan membuat 30 tiang mesjid itu pernah dirobohkan pada 2006.
Mesjid Baitul A’la Lilmujahidin, dibangun atas prakarsa Tgk Muhammad Daod Beureueh pada tahun 1950. Pembangunannya sempat tertunda sampai sepuluh tahun akibat konflik DI/TII di Aceh. Saat itu, Abu Beureueh sendiri naik gunung memimpin pemberontakan terhadap pemerintah pusat yang dinilainya telah ingkar janji terhadap masyarakat Aceh.
Setelah pemberontakan reda, pada tahun 1963, pembangunan mesjid itu dilanjutkan, dengan dana bantuan masyarakat. Figur Abu Beureueh yang kharismatik dan disegani, membuat masyarakat berbondong-bondong menyumbangkan hartanya untuk pembangunan mesjid itu, meski hanya beberapa butir telur dan segenggam beras. Sampai akhirnya mesjid itu kokoh berdiri, dan diresmikan pemakaiannya pada tahun 1972.
Abu Beureueh pula yang kemudian menabalkan nama Baitul A’la Lilmujahidin sebagai nama mesjid tersebut. Tetapi nama itu seolah tak dikenal, karena masyarakat lebih suka menyebut mesjid itu sebagai Mesjid Abu Beureueh. Dari sumbangan materi masyarakat dalam bentuk infaq dan sedekah, Abu Bureueh kemudian berinisiatif mendirikan sebuah lembaga pendidikan (dayah) di komplek mesjid itu.
Namun, akibat eskalasi konflik Aceh yang kembali meningkat dengan lahirnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pada tahun 1979 Abu Beureueh ”diculik” dan dipindahkan ke Jakarta. Kabarnya pemerntah RI khawatir GAM akan menggunakan pengaruh Abu Beureueh dalam pergerakannya.
Setahun kemudian, beberapa tokoh Aceh berinisiatif mendatangi Abu Beureueh yang ”dipenjara” dalam sangkar republik di Jalan Wijaya Kusuma Nomor 6 Jakarta, untuk membicarakan beberapa hal, termasuk soal kepengurusan Masjid Baitul a’la Lilmujahidin.
Hadir dalam pertemuan itu, antara lain M Nur el Ibrahimi, Drs Ma’mun Dawud, Tgk Hasballah Haji, Tgk H M Nur Syik, Tgk Adnan Saud, Tgk H A Wahab Yusuf, Tgk Said Ibrahim, Cekmat Rahmani, Zaini Bakri, Ishak Husein, dan Tgk H Yacob Ali.
Hasil pertemuan itu, pada 9 Oktober 1979 dibentuklah Yayasan Baitul A’la Lilmujahidin sebagai badan hukum untuk mengelola mesjid dan pendidikan di komplek mesjid tersebut. Sebagai ketua yayasan ditunjuk M Nur el Ibrahimi, sementara Tgk Muhammad Daud Beureueh sebagai Ketua Kehormatan.
Harta kekayaan mesjid pun kemudian diinventarisis. Semua harta itu oleh Abu Beureueh tidak dinyatakan sebagai milik yayasan. Sebaliknya milik Allah dan masyarakat muslim yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan ummat di bawah pengelolaan yayasan.
Beberapa tahun lalu, sempat mencuat sengketa pengelolaan Mesjid Abu Beureueh dengan Yayasan Baitul A’la Lilmujahidin. Imbasnya, 30 tiang mesjid yang sudah dibangun untuk perluasan mesjid dirobohkan. Peristiwa itu terjadi Selasa, 9 Mei 2006.
Pihak yayasan meminta tiang-tiang itu dirobohkan. Alasannya, mesjid kebanggan masyarakat Beureunun itu merupakan cagar budaya yang tidak bisa diperluaskan atau dirombak bentuknya.
Tiang perluasan mesjid itu dibangun oleh panitia pengurus mesjid dengan dana sumbangan masyarakat. Perselisihan antara yayasan dengan pengurus mesjid itu pun kemudian menjadi semakin memuncak yang berakhir pada perobohan tiang-tiang tersebut.
Sebelumnya, antara pengurus mesjid dengan pihak yayasan beberapa kali melakukan musyawarah mencari jalan tengah. Namum pertemuan yang difasilitasi oleh Bupati Pidie saat itu, Abdullah Yahya mengalami jalan buntu.
Imbasnya, kemudian memunculkan persoalan lain, yakni soal transparansi pengunaan dana bantuan untuk masjid. Salah satunya bantuan dari Wakil Presiden Hamzah Haz pada tahun 2002 sebesar Rp600 juta, yang akan ditambah menjadi Rp1 miliar setelah bantuan tersebut habis dipakai.
Selanjutnya, muncullah aktivitas yang tak terkontrol untuk menghabiskan dana Rp600 juta itu. Banyak pihak yang ingin mengelola dana itu dan menolak keberadaan yayasan sebagai badan hukum yang bertangung jawab terhadap mesjid, dayah dan seluruh harta kekayaaan mesjid.
Pada 7 September 2002, tokoh masyarakat Beureuneun, Kecamatan Mutiara pun melakukan musyawarah, soal situasi terakhir yayasan. Dan, pada 5 November 2003 dilakukanlah perombakan pengurus yayasan, melalui Akte Notaris Nomor 1 Tahun 2003. Ditetapkanlah Drs Zulkifli Amin MPd sebagai ketua yayasan, dibantu Drs Hasanuddin Yusuf MCL (sekretaris), Ir Hasbi Armas (bendahara), Zakaria AA SH (pengawas) dan Drs Tgk Ma’min Dawud (pembina).
Saat itu Mesji Abu Beureueh diyakini memiliki kekayaan sekitar Rp10 miliar dalam bentuk uang dan barang. Dana tersebut akan digunakan untuk memperindah bangunan mesjid, tempat wudhuk dan taman. Kegiatan pembangunan itu dilakukan melalui pengurus mesjid.
Awal dari usaha renovasi dan perluasan mesjid itu, pengurus mesjid pun mendirikan 30 tiang beton di sekeliling mesjid untuk perluasan tempat Ibadan itu. Disinilah puncanya, pihak yayasan kemudian tidak setuju dengan perluasan itu, mereka mengklaim mesjid tersebut sebagai milik yayasan, yang akan dikelola oleh yayasan sampai kapanpun.
Padahal dalam musyawarah pada 9 April 2002, masyarakat menolak masjid dikelola yayasan, karena yayasan milik keluarga, sementara mesjid milik masyarakat yang dibangun secara gotong royong di bawah pimpinan Abu Beureueh.
Namun, pihak yayasan punya alasan lain tentang penolakan perluasan masjid itu, yakni masjid peninggalan ulama dan tokoh karismatik Aceh tersebut, diangap sebagai cagar budaya yang harus dilindungi bentuk aslinya. Hal itu sebagaimana tercantum dalam surat pelestarian mesjid Nomor 001/YBA/25/N/2004 yang dikeluarkan oleh yayasan pada tanggal 11 Februari 2004.
Selain itu, surat Gubernur NAD Nomor 451-2/25423 tanggal 31 Agustus 2002, serta surat Dinas Kebudayaan NAD Nomor 432.21/87/2002 tanggal 10 September 2002. Di sisi lain masyarakat Mutiara (Beureunuen) melalui rapat 7 September 2002, menginginkan perluasan mesjid tersebut.
Yayasan Baitul A’la Lilmujahidin didirikan oleh Tgk Muhammad Daod Beureueh pada tahun 1979, sebagai badan hukum yang bertanggungjawab terhadap keberadaan dan harta kekayaan mesjid.
Meski demikian, pengurus mesjid tetap berpegang pada keputusan musyawarah tanggal 19 April 2002, yang dihadiri oleh kepal desa, kepala mukim, imum meunasah, khatib mesjid, dan tokoh masyarakat Kecamatan Mutiatra. Dalam musyawarah yang dihadiri 220 orang itu, menolak usaha yayasan memasukkan masjid beserta hartanya menjadi milik yayasan.
Mereka juga meminta kekayaan mesjid yang dipinjam oleh yayasan untuk dikembalikan. Selain itu, menetapkan bahwa pengelolaan masjid dilakukan oleh tokoh masyarakat setempat yang tergabung dalam pengurus masjid.
Pada tanggal 2 Juni 2002, melalui selembar surat, Imum Syik (imam besar) Masjid Abu Beureueh, Tgk Abdullah Hanafiah menyetujui perluasan mesjid, setelah kepadanya diperlihatkan gambar rencana perluasan itu.
Selanjutnya, peluasan pun dilakukan dengan modal kas mesjid. Untuk pembangunan pondasi perluasan menghabiskan dana sebesar Rp120 juta, sementara untuk untuk 30 tiang beton Rp45 juta. Dana itu dikumpulkan dari sumbangan masyarakat.
Setelah 30 tiang beton itu dirobohkan oleh pihak yayasan, akibat konflik yayasan dengan pengurus mesjid, muncul desas-desus bahwa enam naleh (1,2 hektar) tanah wakaf untuk mesjid dicabut kembali oleh pemiliknya. Tanah halaman mesjid dan komplek pendidikan juga akan ditarik kembali oleh pemiliknya, karena mereka mewakafkan tanah itu untuk mesjid, bukan untuk yayasan.
BUKAN SATU PAYUNG
Hal senada diungkapkan Panitia pembagunan Masjid Baitul A’la Lilmujahidin Beureunuen Tgk Hasan Uma yang ditemui kembali tiga hari seusai kisruh. Dia menceritakan, dulu dirnya sering bertemu dengan almarhum Abdullah Hanafiah atau akrab dipanggil Abu Teureubue. Dia tak lain adalah ayah dari Zaini Abdullah dan Hasbi Abdullah.
Waktu dia masih muda, Hasan sering berkunjung ke rumah Abu Teureubue. Dia ingat betul di suatu sore selepas shalat ashar, Abu Teureubue memperlihatkan mandat kepada Hasan Uma. Mandat itu merupakan mandat dari Abu Bereueh untuk Abu Tereubue untuk memimpin masjid tersebut.
“Ini coba Nyak Hasan lihat mandat dari Abu Bereueh untuk saya menjadi imum, tidak boleh yang lain. Terus saya tanyakan bagaimana yayasan dengan masjid kepada Abu Teruebue, yayasan lain, masjid lain, pisah-pisah,” kenangnya.
Sementara itu, Imum Mukim Gampong Yaman, Kecamatan Mutiara Barat, Kabupaten Pidie, Hasballah kepada Pikiran Merdeka mengatakan, pendirian masjid dan yayasan terpisah waktu berkisar 20 tahunan, duluan didirikan masjid daripada yayasan lembaga pendidikan.
“Setahu saya, menurut yang kita dengar-dengan sama orang tua dahulu, masjid ini dibangun dengan bantuan dari masyarakat, ada yang yang menyumbang telor maupun segenggam beras. Bukan hanya orang Kemukiman Yaman saja yang ikut menyumbang, tetapi hampir beberapa kecamatan ikut menyerahkan bantuannya,” jelasnya.
Dia menyebutkan, tokoh penggerak pertama pembangunan Masjid Baitul A’la Lilmujahidin merupakan Tgk Muhammad Daod Beureueh, dengan menggunakan wakaf-wakaf masyarakat. Kemudian sekira kurang lebih 20 tahun kemudian barulah didirikan yayasan lembaga pendidikan.
“Duluan berdiri masjid ini dengan yayasan, dulunya di lokasi yayasan itu masih dalam bentuk sawah. Dan yang mewakaf-wakafkan ini, sampai saat ini kelaurganya masih ada, masih mengetahui statusnya. Pendirian pertamanya atas nama masyarakat, belum lahir yayasan,” jelasnya.
“Seandainya masih ada Tgk Abdullah Salala yang pernah menduduki khatip masjid, panitia bentukan masyarakat, beliau lebih akurat mengetahui tentang polemik masjid ini. Tgk Abdullah Salala itu menduduki khatip masjid, sebelum Abu Teuereubu menjadi imum di masjid itu.” jelasnya.
Hasballah mengatakan, Abdullah Salala mulai menanggalkan posisi Khatib Masjid A’l Lilmujahidin diakibatkan pihak yayasan mulai mencoba menggeser yang bersangkutan secara pelan-pelan. “Tgk Abdullah Salala digeser secara pelan-pelan oleh pihak yayasan,” pungkasnya.[]
Belum ada komentar