Kisruh di Majelis Permusyawaratan Ulama Kota Banda Aceh semakin kusut. Pemicunya, surat Ombudsman Aceh yang dinilai melampaui kewenangan.
Hampir setahun kepengurusan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh masih menyimpan persoalan. Masa bakti kepemimpinan MPU Banda Aceh periode 2012-2017 yang diketuai Teungku Abdul Karim Syeikh telah berakhir sejak 24 Agustus 2017. Namun, hingga akhir Maret 2018 belum ada kejelasan mengenai kepengurusan baru.
Persoalan semakin rumit karena Ketua MPU Kota periode 2012-2017 Tgk Karim Syeikh mengundurkan diri secara tiba-tiba. Pengunduran diri itu membuat MPU Banda Aceh kosong kepengurusan. Padahal, bila Tgk Karim Syeikh tidak mundur, ia tetap berhak duduk menjadi Ketua MPU Kota hingga dilantik ketua terpilih. Hal inilah yang membuat banyak pengurus kecewa pada Karim Syeikh.
Sejatinya, musyawarah para ulama di Banda Aceh ini pernah dilakukan pada Mei 2017 lalu. Namun hasil itu menuai protes oleh sebagian pihak. Mereka yang tak menerima hasil tersebut mengirimkan surat keberatan kepada panitia. Sebaliknya, pihak panitia beserta pengurus terpilih menilai tak ada persoalan dan pelanggaran yang dilakukan.
Merasa tak digubris, mereka akhirnya menghadap Walikota Banda Aceh dan MPU Provinsi Aceh untuk melaporkan kisruh pemilihan yang disertai bukti kecurangan panitia. Lalu Walikota Banda Aceh Aminullah Usman menyurati MPU Aceh untuk meminta menyelesaikan persoalan ini.
MPU Aceh merespon surat walikota yang meminta bantuan penyelesaian kisruh ini, dengan memanggil kedua belah pihak. Pihak penggugat diundang pada Kamis, 17 September 2017. Dari pihak ini sebanyak 24 orang hadir untuk dimintai keterangan.
Lima hari kemudian, tepatnya pada 19 September, pihak tergugat dipanggil untuk dikonfrontir dengan keterangan penggugat. Dari pihak tergugat hadir Ketua Panitia Tgk Asnawi, Ketua Pengarah Tgk Burhanudin A Gani dan Ketua MPU Banda Aceh 2012-2017 sekaligus ketua terpilih, Tgk Karim Syeikh.
Sementara dari unsur MPU Aceh hadir seluruh pimpinan seperti Prof Muslim Ibrahim, Tgk HM Daud Zamzamy, Tgk H Faisal Ali, dan Tgk Hasbi Albayuni.
“Saat itu, pernah ada surat walikota minta bantu untuk menyelesaikan permasalah MPU Kota Banda Aceh. Maka diadakan pertemuan di kantor MPU Aceh dengan kedua belah pihak. Dari situ kemudian ada pemikiran-pemikiran yang berkembang, sehingga diusulkan untuk dilakukan Mubes ulang,” kata Muslim kepada Pikiran Merdeka saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (22/3).
Dari hasil keputusan MPU Aceh, Walikota Banda Aceh selanjutnya memutuskan perlu adanya Pelaksana Tugas (Plt) guna mengisi kekosongan kepengurusa MPU Kota. Selanjutnya, pada Oktober 2017, walikota meminta rekomendasi pihak MPU Aceh dalam upaya penunjukan Plt. Kemudian, melalui suratnya juga MPU Aceh merekomendasikan Tgk H Hasbi Albayuni sebagai Plt Ketua MPU Kota Banda Aceh.
Menurut Muslim Ibrahim, penunjukan Hasbi Albayuni sebagai Plt didasari beberapa pertimbangan. Di antaranya karena Hasbi Albayuni merupakan warga asli Kota Banda Aceh. “Yang kita tunjuk adalah yang kita anggap layak. Kita pilih Albayuni karena dia memang orang asli Banda Aceh. Dia juga memiliki banyak kenalan di wilayah sini,” kata Muslim.
Pada 29 Desember 2017 lalu, Walikota Aminullah akhirnnya mengeluarkan SK penunjukan Tgk Hasbi Albayuni sebagai Plt Ketua MPU Banda Aceh. Pengesahan inilah yang kemudian membuat Burhanuddin A Gani berang. Dia melaporkan Walikota Aminullah Usman ke Ombudsman Aceh atas dugaan mal-administrasi terkait pengesahan Plt Ketua MPU. Pelapor merupakan Ketua Panitia Pengarah Musyawarah Besar Ulama Kota Banda Aceh yang dilaksanakan pada bulan Mei 2017.
Tindakan Burhanudin A Gani ini mengejutkan MPU Aceh dan Walikota Banda Aceh. Padahal, dia bersama Ketua Panitia Tgk Asnawi, dan ketua terpilih Tgk Karim Syeikh beserta tiga orang lainnya dari pihak panitia yang mengadiri pertemuan di MPU Aceh sudah menerima keputusan bahwa ada pelanggaran dalam pelaksanaan Mubes, sehingga harus diulang.
Laporan ke Ombudsman Aceh inilah yang membuat persoalan ini semakin runyam. Pasalnya, Plt Ketua MPU Banda Aceh Tgk H Hasbi Albayuni tengah melaksanakan tahapan pemilihan ulang. Proses ini juga sudah sampai di tahap pemilihan ulang di tingkat kecamatan. Di mana, dari utusan 9 kecamatan yang yang mengikuti Mubes yang lalu, enam di antaranya mengalami pergantian dan tiga lainnya terpilih kembali di tingkat kecamatan.
Menindaklanjuti laporan tersebut, kemudian Ombudsman memeriksa beberapa dokumen dan mengundang beberapa pihak terkait seperti Walikota, Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh, Kepala Dinas Syariat Islam, Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Banda Aceh, serta Panitia Pelaksana Mubes dan pihak MPU Aceh. Namun, dari beberapa pertemuan tersebut, unsur MPU Aceh tidak hadir.
Ketua MPU Aceh Prof Muslim kepada Pikiran Merdeka mengatakan mereka tidak perlu hadir dalam pertemuan tersebut karena pihaknya tidak ada kepentingan apapun dengan Ombudsman. “Pernah diundang ketua MPU Aceh oleh Ombudsman. Saya rasa kita tidak perlu hadir dalam pertemuan itu. Kami kira tidak ada hubunngan MPU dengan Ombudsman,” jawabnya singkat.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Taqwaddin saat dihubungi Pikiran Merdeka menolak bertemu dan meminta diwawancarai via layanan WhatsApp. Kepada Pikiran Merdeka ia mengatakan keterlibatan pihaknya terhadap persoalan ini tak lain kerena adanya laporan dari Tgk Burhanudin A Gani mengenai dugaan mal-adminnistrasi yang dilakukan Walikota Banda Aceh.
“Ombudmsman RI adalah lembaga negara yang berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintah serta lainnya. Baik berupa pelayanan barang, jasa maupun administrasi. Dalam hal ini, kami menerima laporan warga negara dan penduduk dalam hal adanya dugaan maladministrasi (pelayanan buruk) yang dilakukan oleh pemerintah,” tulis Taqwadin dalam pesannya melalui WhatsApp, Jumat (23/3).
Pada pemeriksaan kasus MPU Kota, Ombudsman diakui Taqwaddin hanya menyimpulkan terkait dugaan maladministrasi yang dilakukan walikota tanpa menimbang permasalahan yang sebelumnya telah coba diselesaikan oleh MPU Aceh.
Pemeriksaan Ombudsman mengacu pada beberapa peraturan terkait diantaranya Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 mengenai Majelis Permusyawaratan Ulama dan peraturan tentang tata tertib Musyawarah Ulama Kota Banda Aceh Tahun 2017. Namun, dalam hal ini Ombudsman seolah menutup mata mengenai musabab permasalahan yang mengawali kisruh di MPU tersebut.
Pada beberapa pertemuan, Ombudsman tidak pernah mengundang pihak penggugat hasil Mubes MPU Kota Banda Aceh. Sehingga oleh sebagian pihak, Ombudsman sebagai lembaga yang berasaskan keterbukaan, keadilan keseimbangan dan tidak memihak, jutru dianggap tidak netral terkait persoalan tersebut.
“Kami tidak ingin terlibat dalam persoalan Musda. Kami hanya fokus pada tindak prosedurnya SK Walikota. Kami harus netral dalam menyelesaikan setiap laporan pengaduan masyarakat. Makanya kami tidak mempersoalkan Musda tersebut, karena itu urusan internal mereka,” aku Taqwadin.
SARAT KEPENTINGAN POLITIS
Berdasarkan penelusuran Pikiran Merdeka, sejak awal aroma kepentingan politik begitu kental dalam kisruh ini. Mulai dari adanya upaya curang di dalam Mubes hingga melakukan berbagai cara agar hasil Mubes tetap disetujui Walikota Banda Aceh. Bahkan ada upaya melabi Aminulllah agar mau berkompromi untuk tetap melantik hasil musyawarah pada medio Mesi 2017.
Sumber Pikiran Merdeka yang menolak namanya ditulis mengatakan, selain pihak panitia yang tidak terima terhadap keputusan MPU Aceh menunjuk Abi Bayu sebagai Plt MPU Banda Aceh, sejumlah orang di sekeliling Aminullah juga berseikap demikian.
Diantaranya Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh Ir Bahagia dan Asisten I Pemko Banda Aceh Bachtiar. Bahkan setelah pemeriksaan Ombudsman dan keluarnya LHP, Bahagia dan Bakhtiar langsung menyarankan untuk menindaklanjuti surat tersebut tanpa memberikan telaah dan pandangan secara matang.
“Bersama pengurus terpilih dan panitia, mereka mencoba menawarkan lima orang tambahan utusan walikota dalam sebagai anggota MPU Banda Aceh agar Aminullah bersedia melantik pengurus terpilih,” ungkap sumber ini.
Nantinya, lanjut dia, total anggota MPU kota akan berjumlah 23 orang. Padahal hal ini menyalahi Qanun Nomor 2 Tahun 2009 tentang MPU yang mengatur jumlah MPU Banda Aceh sebanyak 18 orang.
Hal ini diperkuat dengan keterangan Tgk H Muhammad Isa. Utusan Kecamatan Banda Raya ini menyatakan bahwa usulan lima orang tersebut adalah upaya transaksional untuk merayu walikota agar menyetujui hasil musyawarah. “Saya tak punya kepentingan dalam hal ini. Namun saya sedih dengan kondisi MPU Kota Banda Aceh yang berada di ibukota provinsi bisa seperti ini. Seharusnnya, MPU Banda Aceh bisa menjadi contoh untuk daerah lainnya.”
Kebijakan Ombudsman yang meminta Walikota melantik hasil Musda MPU Banda Aceh juga dinilai tidak netral. Meski dalam suratnya Ombudsman menyatkan tak masuk terlalu jauh dalam pelaksanaan musyawarah, namun pada kenyataannya dalam LHP yang dikirimkan ke Walikota, Ombudsman hanya memeriksa berbagai dokumen musyawaran MPU Kota yang menguntungkan pihak penggugat.
Sementara dokumen kecurangan pihak penggugat tak menjadi pertimbangan Ombudsman. Pada pertengahan Maret lalu, Muhammad Isa mengakui juga berinisiatif menemui Ketua Ombudsman Aceh. Kala itu Waled Isa, begitu ia disapa, didampingi oleh H Bukhari MA dan Tgk Adnan Beurawe. Dalam penuturannya kepada Waled Isa cs, Taqwaddin mengaku tidak mempersoalkan musyawarah melainkan SK Walikota yang menjadi objek mal-administrasi.
Namun, menurut dia, bila membaca LHP Ombudsman, siapapun bisa menilai bahwa Ombudsman telah masuk ke dalam proses pelaksanaan musyawarah. Terlebih, lembaga yang dimpimpin Taqwaddin itu hanya memeriksa dokumen yang menguntungkan panitia pelaksana dan mengabaikan pelanggaran yang dilakukan.
Lebih lanjut Ir Muhammad Isa menuturkan, dalam UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombusdman disebutkan bahwa Ombudsman di antaranya berasakan keterbukaan, keadilan, kesimbangan, dan tidak memihak. Namun dalam praktiknya, kata Waled Isa, Ombudsman Aceh tidak bekerja sebagaimana amanah undang-undang. Seperti bunyi pasal 28 yang menyebutkan Ombudsman harus memanggil para saksi dan ahli serta pemeriksaan lapangan, menurut Waled Isa, hal ini tak sepenuhnya dilakukan oleh Ombudsman Aceh.
KEPUTUSAN JANGGAL
Soal dugaan maladministrasi yang dilakukan Walikota, Ombudsman berpendapat ada beberapa kekeliruan yang dilakukan Walikota Banda Aceh. Antara lain terkait pengesahan Plt Ketua MPU Kota yang dikeluarkan walikota dalam Surat Keputusan Nomor 516 Tahun 2017. Menurut Ombudsman, hal tersebut telah menyalahi aturan dalam Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 maupun dalam tata tertib MPU Kota Banda Aceh.
Namun, Ombudsman tidak menjelaskan kekeliruan apa yang dilakukan Walkot Banda Aceh. Pada point kedua, penjelasan Taqwaddin semakin tidak bisa dimengerti.
“Mencermati ketentuan yang menegaskan bahwa pimpinan MPU terdiri atas 3 orang dan dewan paripurna terdiri dari 18 orang. Dimana dalam perda tersebut sama sekali tidak menyebutkan pimpinan merangkap sebagai anggota dewan paripurna ulama. Hal tersebut secara implisit terdapat dalam Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang MPU Kota merangkap sebagai anggota majelis permusyawaratan ulama.
Sehingga menurut Ombudsman apabila 3 orang dari 18 orang anggota MPU Aceh dipilih menjadi pimpinan, maka jumlah anggota MPU Kota tinggal 15 orang. Karenanya, musyawarah daerah tersebut kami anggap melakukan kelalaian dalam memilih keseluruhan pimpinan dengan anggota MPU,” tulis Taqwaddin dalam suratnya.
Poin tersebut terasa janggal karena penunjukan Hasbi Albayuni yang juga Wakil Ketua MPU Aceh karena kekosongan jabatan dan bukan terpilih dalam musyawarah MPU Banda Aceh. Begitupun, Ombusdman menyatakan panitia musyawarah telah lalai dan melakukan kesalahan karena anggota MPU tinggal 15 orang lagi setelah tiga di antaranya telah ditunjuk sebagai pimpinan.
Oleh sebab itu, Taqwaddin berkesimpulan bahwa Walikota Banda Aceh dalam hal ini telah melakukan mal-administrasi sehingga Ombudsman menyarankan beberapa tindakan korektif yang harus dilakukan Walikota.
Beberapa tindakan korektif yang disarankan Ombudsman antara lain mengenai pencabutan keputusan penunjukan Pelaksana Tugas Ketua MPU Kota Banda Aceh dan Walikota diminta menetapkan 9 orang peserta yang terpilih dari suara terbanyak berdasarkan urutan dan 9 orang dari kecamatan, serta menambah usulan walikota sebanyak 5 orang. Usulan ini persis sama dengan usulan panitia musyawarah beserta ketua terpilih Tgk Karim Syeikh beberapa waktu lalu kepada walikota.
Penambahan usulan 5 orang anggota itupun sejatinya jika dilakukan Walikota akan menyalahi aturan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009, dimana jumlah anggota MPU Kota berjumlah 18 orang. “Keputusan ini juga dinilai janggal, karena Ombudsman dalam pendapat sebelumnya telah mengakui panitia telah lalai dan melakukan kesalahan dalam pemilihan. Namun ujung-ujungnya meminta agar Karim Syeikh dan kawan-kawan untuk tetap dilantik,” beber Waled Isa.
Atas usulan penambahan ini, dia menilai, Ombudsman justru telah melampaui kewenangannya dengan menyarankan Walikota untuk menetapkan 9 peserta yang terpilih dari suara terbanyak berdasarkan urutan dan 9 orang dari utusan kecamatan, dan menambah usulan Walikota sebanyak 5 orang.
Taqwadin saat ditanyai perihal sarannya yang telah melampaui kewenangannya, enggan berkomentar. Ia hanya menjawab beberapa pertanyaan saja. “Tulis saja apa yang saya jawab tadi,” seru Taqwadin saat dihubungi kembali via telepon pada Sabtu siang.
WALIKOTA GEGABAH
Walikota Banda Aceh Aminullah Usman diketahui telah menyikapi saran dari Ombudsman. Ia kembali mengeluarkan surat yang ditujukan kepada MPU Aceh. Dalam hal ini walikota mengatakan akan segera melakukan tindakan korektif sebagaimana disarankan oleh Ombudsman untuk mencabut keputusan Walikota Nomor 516 tentang penunjukan Plt.
Prof Muslim Ibrahim kepada Pikiran Merdeka mengaku sudah menerima surat dari Walikota tersebut dan menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada walikota. Namun, diakuinya, MPU Aceh tidak akan mengeluarkan surat jawaban atas surat yang dikirimkan Walikota Banda Aceh pada 19 Februari 2018 itu.
Langkah Walikota terhadap surat koreksi atas keputusannya sendiri dinilai sebagian langkah terburu-buru. Mengingat penyelesaian kasus MPU Kota sudah berjalan di tingkat kecamatan dan tinggal melakukan musyawarah ulang di tingkat kota. Tanpa menimbang adanya kecacatan hukum pada surat Ombudsman, walikota langsung mengirim surat ke MPU Aceh atas koreksi hasil keputusan sebagaimana disarankan Ombudsman.
Asisten I Pemerintah Kota Banda Aceh, Bachtiar yang dihubungi Pikiran Merdeka pada Sabtu lalu, tidak bersedia memberikan keterangan panjang lebar saat ditanyakan perihal alasan tindakan korektif tersebut. Ia sempat menjawab telepon namun mengatakan sedang di jalan dan merasa perlu mempelajari kembali kasus yang dihadirinya pada pertemuan Ombudsman dan pihak Walikota pada tanggal 13 Februari 2018 di kantor Ombudsman.
“Saya lagi di jalan, bukannya tidak mau menjawab, tapi saya lagi di luar dan dokumennya masih di kantor. Saya perlu pelajari dulu terkait hal ini. Nanti saja hubungi kembali,” jawab dia.
Ketika Pikiran Merdeka mencoba menghubunginya kembali, panggilan telepon tidak dijawabnya. Selanjutnya Pikiran Merdeka mencoba menghubunnginya via WhatsApp. Namun hanya dibaca saja oleh Bachtiar.
Upaya konfirmasi tidak hanya dilakukan begitu saja. Sebelumnya, Pikiran Merdeka juga telah mencoba meminta tanggapan dari Sekretaris Daerah Kota Banda Aceh, Bahagia Dipl. Namun, sampai saat ini Pikiran Merdeka belum mendapat balasan. Sementara Tgk Karim Syeikh, selaku ketua MPU Banda Aceh yang lama dan ketua terpilih, saat dimintai tanggapannya tidak menjawab panggilan telepon dari Pikiran Merdeka.
TANGGAPAN DPRK
Menyikapi permasalahan MPU Banda Aceh yang semakin berlarut-larut, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh
menyarankan harusnya walikota mengambil langkah strategis. “Saya sarankan pihak Walikota mengambil langkah strategis dengan memahami kaidah hukum. Coba dipanggil lagi pihak-pihak terkait. DPRK bersedia mengawal permasalahan ini,” kata Arif saat dihubungi via telepon, Sabtu (24/3).
Terkait rekomendasi Ombudsman mengenai penunjukan 5 anggota MPU usulan Walikota, Arif menilai hal tersebut bukanlah suatu persoalan. Permasalahan menyalahi aturan keuangan mengenai penganggaran untuk lima ulama usulan Walikota tersebut juga disetujuinya.
“Saya pikir itu bisa dianggarkan kembali. Kekurangan anggaran ataupun melanggar aturan itukan bisa kita sesuaikan lagi,” sahut dia. Namun Arif enggan merinci soal aturan hukum yang dilanggar, yakni Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2009 tentang MPU.
Menurutnya, selama itu untuk kebaikan tentu tidak masalah bagi DPRK Banda Aceh. “Selama mengedepankan unsur keterwakilan dan tidak menyalahi aturan, itu tidak masalah,” timpalnya.
Politisi Partai Demokrat ini berharap, permasalahan ini segera terselesaikan dan pihaknya juga bersedia menjadi mediator untuk mencarikan titik temu yang baik. “Kami DPRK Banda Aceh mendukung dengan kepentingan kita bersama. Kita bersedia untuk menjadi mediator dalam permasalahan ini,” tutupnya.[]
Belum ada komentar