Jakarta – Selama 365 hari, atau setahun lamanya, dua wartawan Rajawali Citra Indonesia (RCTI) menjadi sandera Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka adalah Ersa Siregar sehari-hari sebagai reporter dan Fery Santoro, kamerawan yang menemaninya selama liputan di wilayah konflik.
Selama di Aceh, RCTI mengirimkan empat tim peliputan ke daerah konflik. Meski demikian, Fery dan Ersa selalu berganti-ganti pasangan. Jelang diculik komplotan GAM, keduanya dipasangkan untuk melakukan peliputan di Kota Langsa. Di sana, mereka ditugaskan meliput rilis penemuan senjata milik GAM oleh komandan marinir setempat.
Menjelang sore hari, keduanya memutuskan kembali ke pos mereka di Lhokseumawe. Namun, mereka memutuskan berhenti sejenak untuk menjalani ibadah Asar di sebuah masjid.
“Saat mau pulang, feeling saya udah enggak enak. Kok jam segini sepi, biasanya ada pasukan TNI dan mobil TNI wara wiri. Kami di sana sendirian,” kenang Fery saat berbincang dengan merdeka.com, Sabtu (8/10).
Benar saja, baru berjalan dalam radius sekitar 200 meter dari masjid, keduanya dihentikan sekelompok pria bersenjata. Sopir mereka dipaksa turun dan diminta duduk di belakang. Di bawah todongan senapan laras panjang, ketiganya diharuskan menunduk dan tidak boleh sekalipun menatap ke jendela.
Selang beberapa jam berikutnya, mereka tiba di sebuah kampung yang terletak di perbukitan. Salah seorang anggota GAM meminta Ersa, Fery dan sopirnya menunjukkan identitas mereka. Tidak sedikit upaya intimidasi agar kedua wartawan ini ketakutan.
“Kamu orang mana,” tanya seorang anggota GAM, seperti yang ditirukan Fery.
“Jawa,” jawab Fery.
“Wah Jawa, besok pagi mati nih. Kompeni nih.”
“Pasti tentara itu. Mata-mata tentara,” teriak lainnya.
Mendengar ancaman itu, Fery mengaku pasrah. Berbekal kamera besar di tangannya, para anggota GAM yang membawa mereka pun percaya kalau mereka wartawan.
Di tempat lain, Panglima Perang GAM, Teuku Abdullah Syafii meminta bawahannya untuk merawat dan menjaga keselamatan dua wartawan itu. Mendengar itu, Ersa dan Fery mengaku lega. Tapi, hidup dalam penyanderaannya baru dimulai.
“Kami selalu pindah-pindah demi hindari kejaran TNI. Kalau dirasa tidak aman, kami harus lewati semak, sebrangi sungai dan hutan belantara,” tuturnya.
Selain tidur beralaskan tikar, Fery sempat merebahkan bersama seekor ular di sampingnya. Beruntung, hewan melatan ini tidak menyerangnya.
“Bahkan orang GAM nawarin tidur di tepat di alas ular itu. Sempat bergidik sih, tapi dia bilang jangan takut. Ternyata tidak apa-apa,” ujarnya.
Di luar sana, sejumlah LSM, organisasi pers hingga palang merah internasional meminta agar keduanya dibebaskan. Hampir setahun lamanya, negosiasi pembebasan antara pemerintah Indonesia dan GAM selalu mengalami deadlock, hingga akhirnya menemui kesepakatan.
Melalui siaran radio lokal, Fery mengaku senang karena dia dan kawannya segera menghirup udara bebas. Sebuah impian untuk kembali berkumpul bersama istri dan anaknya pun mengalir deras dalam pikirannya. Tapi, mimpi itu kembali tertunda.
Malam hari menjelang tewasnya Ersa, beberapa anggota GAM memutuskan turun gunung. Tak lupa, mereka meninggalkan empat pucuk senjata. Bahkan, menawari keduanya memegang senapan tersebut, tapi ditolak Fery.
“Kalau bisa gunakan senjata, pasti kami sudah tembak kalian,” canda Fery kepada penyanderanya.
Sepeninggal mereka, Fery hanya dijaga seorang anggota GAM. Dia, Ersa dan seorang pria berusia lebih tua darinya memilih beristirahat di dalam gubuk.
“Tiba-tiba ada tembakan. Dar der dor, retetan tembakan dari semak-semak. Orang GAM yang sedang memasak di luar tewas kena tembakan,” lanjutnya.
Tanpa pikir panjang, Fery mencari cara untuk menyelamatkan diri dari desingan peluru. Sebuah lompatan kecil berhasil menyelamatkan nyawanya dari tembakan yang mengarah ke kakinya. Di tengah ketakutannya, ia masih berupaya menyelamatkan rekannya, namun gagal.
“Ada tembakan di atas saya. Saya lompat, masuk ke semak, mana banyak duri hingga badan saya penuh darah,” kata Fery.
Berhasil, ia selamat dari serangan itu dan memilih bermalam di sebuah tempat. Di sana, Fery bertemu seorang pria yang bersamanya di dalam gubuk. Sedangkan Ersa, rekannya tak kunjung datang.
“Selama empat hari empat malam. Saya jalan mencari perkampungan. Mana harus lewati empat sungai.”
Sesampainya di kampung itu, bukan TNI yang ditemui, tapi anggota GAM lainnya, alhasil Fery kembali menjadi sandera. Di tempat itu pula, ia mengetahui rekannya telah tewas.
“Lemas badan saya. Saya bingung mau sama siapa lagi? Rekan saya sudah meninggal, tidak ada lagi yang temani saya,” bebernya saat mendengar berita duka itu.
Jelang malam tahun baru 2004, Fery akhirnya dibebaskan berkat upaya diplomasi yang dilakukan organisasi pers dan palang merah internasional. Sesaat setelah keluar, dia mengaku hampir tak mengenali orang-orang terdekatnya, kecuali anak dan istrinya.
Namun, pengalaman mendebarkan itu terus terkenang di dalam hatinya. Bahkan, 10 tahun setelah peristiwa itu, tepatnya 2013, ia bertemu dengan komandan grup marinir yang menembaki dia dan Ersa saat bersembunyi di dalam gubuk. Komandan itu kini bernama Letnan Satu Marinir Koko, dan bertugas sebagai komandan kompleks Istana.
“Kini, saya dan dia berteman,” pungkasnya. [merdeka.com]
Belum ada komentar