Jakarta—International Foundation for Electoral Systems (IFES) merupakan lembaga nonpemerintah yang berpusat di Amerika. Lembaga yang didirikan pada 1987 ini eksis di lebih dari 135 negara di dunia, termasuk Indonesia. Jika melihat asal negara IFES dan menelisik “campur tangan Amerika” dalam sejarah Indonesia, maka taklah mengherankan kalau keterlibatannya dalam Sipol amat sangat dicurigai.
Anggota Komisi II DPR Arif Wibowo saat jumpa pers di DPR RI, Jakarta, Jumat (19/10), menengarai kalau keterlibatan IFES dalam Sipol bermotif politik.
“Motif politik keterlibatan IFES di Sipol sangat kuat, tentu kemungkinan terkait kepemimpinan yang baru pada masa datang,” jelas politisi PDIP itu.
Arif mengakui, pihak asing punya kepentingan dalam setiap pemilu di Indonesia. Targetnya adalah, presiden Indonesia bisa diajak “bekerja sama”. “Itu bukti kalau Indonesia sebenarnya bukan negara berdaulat,” tegasnya.
Dari buku-buku yang beredar luas selama ini, khususnya yang terkait dengan peristiwa G-30-S/PKI dan penggulingan terhadap presiden I RI, Soekarno, pada 1965, akan terbaca dengan sangat jelas kalau Amerika melalui Central Intelegence Agency (CIA)-nya berperan besar dalam kedua peristiwa itu. Bahkan CIA pula yang diduga menaikkan Soeharto sebagai presiden kedua RI menggantikan Soekarno.
Ketika pemilu 2009 digelar, nama CIA kembali muncul sebagai pihak yang disebut-sebut sebagai pendukung di balik layar bagi SBY, sehingga mentan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polhukam) di era Presiden Megawati Soekarnoputri itu terpilih lagi menjadi presiden untuk kedua kali, berdampingan dengan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono yang belakangan disebut-sebut sebagai agen neoliberalisme di Indonesia.
Arif dan Ray Rangkuti, direktur Lingkar Madani, memiliki catatan penting tentang sepak terjang IFES di Indonesia, termasuk keterlibatannya pada Pemilu 2004.
Pada 2003, setahun sebelum pemilu 2004, IFES terlibat aktif melakukan jajak pendapat mengenai persepsi pemilih terhadap pemilu 2004 yang dirilis Februari 2003, terlibat akif dalam jajak pendapat tentang golput dan partisipasi pemilih pada pemilu 2004 yang dirilis pada September 2003, dan melakukan jajak pendapat tentang elektabilitas capres Pemilu 2004 yang dirilis pada Agustus 2004. Survey yang terakhir ini diprotes PDIP karena dianggap tidak netral dan cenderung berpihak.
Selain melakukan jajak pendapat, untuk pemilu 2004, IFES juga bekerja sama dengan KPU dalam peluncuran pusat dokumentasi (Pusdok), bekerja sama dengan KPU dalam menentuKan logo pemilu, bekerja sama dengan KPU untuk program pelatihan manajemen pemilu untuk KPU Daerah yang dilakukan pada Juni-Juli 2003, dan membantu KPU mendirikan Joint Operations and Media Center yang salah satu programnya adalah pengembangan IT KPU.
Pada pemilu 2009, IFES juga membantu KPU mengadakan tabulasi elektronik berbasis SMS secara nasional yang hasilnya teramat mengecewakan karena dari 450.000 TPS di seluruh Indonesia, cuma sekitar 107 TPS yang mendaftarkan nomornya di jaringan SMS pemilu. Akibatnya, perhitungan suara menjadi kacau balau.
Untuk pemilu 2014, selain terlibat dalam Sipol, IFES juga memberikan pelatihan kepada KPUD-KPUD tentang sistem pendataan dan pendaftaran pemilih yang dilakukan pada 2012 ini.
Arif menegaskan, selama ini IFES telah terlibat terlalu jauh dalam pemilu-pemilu di Indonesia, dan celakanya KPU tak pernah mau terbuka atas keterlibatab lembaga nonpemerintah dari Amerika itu dengan kegiatan-kegiatannya.
“Karena itu, kita tuntut KPU untuk menjelaskan dengan sebenar-benarnya,” tegas dia.
Ketika dikonfirmasi tentang klaim KPU bahwa lembaga ini bekerja sama dengan IFES karena ada perjanjian antarpemerintah, Arif menepisnya.
“Itu bukan perjanjian G to G (Goverment to Goverment). Semua diatur dalam UU No 24 Tahun 2000 tentang perjanjian internasional,” tegasnya.[obornews]
Belum ada komentar