Medio 27 Desember 2013, halaman kantor gubernur Aceh di jalan T Nyak Arief Lampriet Kota Banda Aceh itu mendadak ramai dikunjungi laki-laki dan perempuan dari berbagai kabupaten dan kota di provinsi tersebut.
Awalnya, kedatangan warga seperti dari Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Utara hingga Aceh Timur itu bukan ingin berunjuk rasa menuntut “ini dan itu”, tapi berharap bantuan modal usaha dari proposal yang telah diajukan kepada pemerintah setempat.
Mereka ada yang telah sepekan bolak-balik di kantor gubernur hanya berharap dana bantuan modal usaha dari Pemerintah Aceh melalui proposal yang diajukan bisa cair, dengan nilai bervariatif dari Rp5 juta hingga Rp15 juta/orang.
Panorama membeludaknya warga membawa proposal ke kantor gubernur Aceh itu terekam sejak sekitar dua bulan terakhir, atau saat-saat habisnya tahun anggaran 2013.
Puncaknya, pada Jumat (27/12), tidak kurang dari seribu warga menagih pencairan dana dari proposal yang mereka ajukan sebelumnya ke Biro Umum Sekda Aceh. Suasana kantor gubernur pun berubah mencekam tatkala massa mulai marah dan “menyandera” setiap pegawai yang hendak pulang.
Tidak hanya itu, emosi massa semakin tidak terkendali. Mereka memecahkan pot bunga dan pintu kaca ruang lobi kantor pemerintah itu.
“Hancurkan, hancurkan, hancurkan. Mereka telah menipu kita,” kalimat-kalimat itu terlontar dari beberapa pria yang tergabung dalam kerumunan orang-orang yang berharap dana bantuan modal usaha itu.
Kemudian, aksi massa yang mulai mengarah anarkis itu disambut aparat kepolisian dengan tindakan tegas seraya melepaskan tembakan peringatan ke atas. Suara jerit histeris berbaur bersama “dar, der, dor” letusan senjata api dari aparat kepolisian, sehingga membuat kepanikan di komplek kantor gubernur Aceh itu.
Riani, bocah perempuan berumur sekitar sembilan tahun menangis sejadi-jadinya di pangkuan orang tuanya saat massa berhamburan ketika suara pistol bertubi-tubi ditembakkan ke atas oleh aparat kepolisian.
Beberapa menit kemudian, suasana berangsur normal dan sebagian besar massa meninggalkan komplek kantor gubernur Aceh. Pihak kepolisian Polresta Banda Aceh mengamankan delapan orang yang diduga sebagai tersangka perusakan fasilitas pemerintah itu.
Zubaidah (27), penduduk Desa Panton, Kecamatan Nisam Kabupaten Aceh Utara menjelaskan pihaknya mengetahui adanya bantuan modal usaha dari pemerintah itu dari beberapa orang di kampungnya.
“Adanya bantuan itu tersiar luas di kampung. Kemudian, saya tertarik untuk memperoleh bantuan Pemerintah Aceh dan mengajukannya Rp15 juta. Ada seseorang yang membuat proposal,” kata dia tanpa mau menyebutkan identitas pembuat proposal tersebut.
Zubaidah yang mengaku tamat SD itu menjelaskan bahwa dana bantuan yang diajukan kepada Pemerintah Aceh sejak 2 Desember 2013, dan jika cair akan digunakan untuk modal usaha dagang kecil-kecilan di kampung.
Informasi yang sama juga disampaikan Yusnidar (25), warga Aceh Timur yang ikut mengajukan bantuan modal usaha sebesar Rp9 juta untuk berjualan di kampung asalnya.
“Bantuan Pemerintah Aceh itu telah berkembang luas di kampung-kampung. Saya tidak memberikan apa-apa kepada pembuat proposal,” kata ibu rumah tangga berpendidikan SMA itu.
Yusnidar juga menjelaskan nomor agenda proposal yang diajukan pada 4 Desember 2013 ke Pemerintah Aceh itu sudah keluar. “Maunya kami diberitahu jika memang bantuan dana itu ditutup,” katanya menambahkan.
Sementara itu, Kak Tata (30) menyesalkan sikap Pemerintah Aceh yang tidak mencairkan dana bantuan modal usaha, sementara proposal telah diajukan beberapa pekan lalu.
“Saya mendengar dari mulut-kemulut tentang adanya bantuan modal usaha yang syaratnya harus ada proposal yang diajukan kepada Pemerintah Aceh. Saya mengajukan Rp10 juta,” kata Tata, warga Ladong, Aceh Besar, yang sehari-hari berdagang BBM eceran.
Tata yang juga mengaku pernah menjadi pasukan “Inoeng Balee” (sayap militer GAM dari kalangan perempuan) Sagoe Glumpang Payung, Pidie itu menyatakan pihaknya juga kecewa.
Tindakan hukum
Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Moffan, menyebutkan pihaknya akan memproses ketujuh orang karena dinilai telah memprovokasi massa melakukan tindakan perusakan kantor gubernur.
“Kami akan melakukan proses terhadap orang-orang yang telah diamankan itu sesuai prosedur hukum yang berlaku. Mereka telah merusak fasilitas pemerintah. Karenanya proses hukum kita kedepankan,” katanya menjelaskan.
Kapolresta mengatakan upaya persuasif untuk membubarkan massa yang mulai anarkis telah dilakukan, namun tidak digubris. Bahkan masyarakat telah merusak fasilitas di kantor pemerintah.
“Para personil telah melakukan upaya persuasif untuk membubarkan massa, tapi sebaliknya masyarakat merusak dan melempar batu yang dapat mengancam keselamatan orang lain,” katanya menjelaskan.
Beberapa saat setelah massa meninggalkan komplek kantor gubernur, Pemerintah Aceh mengabarkan pihaknya telah menutup pengajuan proposal bantuan sosial kepada masyarakat untuk modal usaha dikarenakan berakhirnya tahun anggaran 2013.
“Kami mengimbau masyarakat yang pernah mengajukan proposal tidak perlu lagi menunggu pencairan dana bantuan sosial tersebut,” kata Kepala Biro Humas Sekda Aceh Nurdin F Joes.
Dia menjelaskan, penyaluran dana bantuan sosial yang tidak direncanakan itu harus ditutup seiring berakhirnya tahun anggaran 2013. Sebab secara aturan, proses lalu lintas administrasi sudah harus dinyatakan berakhir di penghujung Desember 2013.
“Kalau dana bantuan sosial yang direncanakan tentu sejak awal sudah tertuang dalam dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) Aceh dan dapat disalurkan secara terukur, akibat penerimanya sudah jelas tertera,” katanya menjelaskan.
Jumlah proposal yang diajukan masyarakat seluruh Aceh itu di atas 10 ribu eksemplar.
Pengajuan proposal ini tercatat atas inisiatif masyarakat sendiri sejak 29 November 2013, dan ada di antara warga telah mendapat bantuan dengan nominal beragam, dan disesuaikan dengan keuangan serta disposisi pimpinan Pemerintah Aceh.
“Atas dasar itu maka dari mulut ke mulut masyarakat tahu bahkan melalui perangkat komunikasi selular, informasi itu terus bergulir. Atas dasar itu pula, gelombang masyarakat yang berinisiatif dan mendatangi Kantor Gubernur Aceh semakin tidak terbendung,” kata dia menjelaskan.
Penutupan penyaluran bantuan juga berlaku kepada masyarakat yang telah mengajukan proposal sebelumnya dan belum sempat dicairkan. Karenanya, warga diimbau agar memahami kondisi limit waktu proses anggaran yang sudah berakhir maupun atas dasar kemampuan keuangan daerah yang terbatas .
Di pihak lain, pemerintah tetap berkomitmen untuk membangun masyarakat Aceh melalui program-program prioritas sesuai visi dan misi gubernur dan Wakil gubernur Aceh 2012-2017.
Sementara itu, anggota fraksi PPP dan PKS DPR Aceh Tgk Mahyaruddin meminta pemerintah membuat perencanaan yang lebih matang untuk membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat.
“Kita berharap untuk penyaluran bantuan sosial itu harus terencana dengan matang. Bukan program dadakan yang ujung-unjungnya masyarakat kecewa. Apalagi mereka yang mengajukan proposal itu datang dari daerah yang jauh dari pusat kota provinsi,” katanya menjelaskan.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menambahkan, jika dana yang dikucurkan pemerintah sebesar Rp500 ribu/warga yang mengajukan proposal tersebut juga tidak tepat untuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat.
“Kalau realisasinya Rp500 ribu/proposal itu kesannya bagi-bagi uang. Tapi kalau memang bertujuan meningkatkan ekonomi masyarakat maka modal usaha yang harus diberikan minimal senilai Rp2 juta/orang,” kata Mahyaruddin.
Diharapkan Pemerintah Aceh tidak lagi menciptakan program “dadakan” yang terkesan “bagi-bagi” uang menjelang akhir tahun meski salah satu syaratnya harus ada proposal. [antara]
Belum ada komentar