Ketika Sekolah Tergusur Madani Center

Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 5 Telkom (Foto Ist)
Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 5 Telkom (Foto Ist)

Dua sekolah di Banda Aceh mulai tergusur akibat pembangunan gedung Madani Center. Peserta didik harus belajar di ruang terbuka dengan kondisi memprihatinkan.

Selasa (9-01-2017) pagi sekira pukul 10.00 WIB, Zulkarnain bersama sejumlah rekannya sesama tenaga pengajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 5 Telkom, menyambangi gedung Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Banda Aceh. Kedatangan mereka tidak terlalu resmi sebenarnya, sekedar mengecek lokasi belajar siswa yang akan dialihkan ke tempat tersebut. Petunjuk tentang pengalihan kegiatan belajar itu juga hanya diperolah secara lisan dari pihak Dinas Pendidikan Aceh.

“Silahkan dilihat lokasinya, Pak. Dengan area yang luas ini kita bisa kelola secara bersama-sama,” kata Zulkarnain meniru ucapan Hasbi, Kadispora Banda Aceh yang menyambut kedatangan mereka.

Mewakili pihak sekolah, Zulkarnain telah mengabari Hasbi sebelumnya, perihal rencana akan menggunakan gedung tetangga bekas SMKN Penerbangan yang erdampingan dengan kantor Dispora itu, sebagai tempat belajar sementara. Ini tak lepas dari geliat megaproyek pembangunan Banda Aceh Education Madani center (BMEC) yang memaksa sebagian lahan sekolah mereka tergusur. Sehingga, pihaknya mau tak mau harus berjuang mencari area baru sebagai ruang belajar-mengajar mereka.

Bersama Hasbi, Zulkarnain berbincang cukup lama. Keduanya sepakat soal penggunaan gedung tersebut. Dispora akan menggunakan gedung bawah, sisanya dimanfaatkan SMKN 5. Lama berbincang, satu jam kemudian tiba-tiba datang pihak Pemerintah Kota Banda Aceh. Mereka dari Disdik dan Setdako, langsung menegur Zulkarnain cs. Katanya, gedung bekas SMK Penerbangan itu tak boleh dipakai, karena secara resmi milik Pemko dan bukan diperuntukkan kepada SMKN 5.

Zulkarnain pun mulai bingung, lalu mencoba memberi penjelasan tentang arahan yang mereka terima dari Dinas Pendidikan Aceh. Akhir Desember tahun lalu, pihaknya mengaku sempat melayangkan surat permohonan ke Kadisdik untuk disediakan ruang belajar.

“Solusi alternatif untuk menjadi bahan pertimbangan Bapak, dengan pemindahan SMKN Penerbangan Banda Aceh ke lokasi baru di Blang Bintang Aceh Besar, agar kami menempati lokasi SMKN Penerbangan yang digunakan selama ini, mengingat semester genap Januari-Juni 2017 sudah sangat dekat. Untuk itu, mohon petunjuk Kepala Dinas Pendidikan Aceh,” demikian bunyi petikan surat permohonan tertanggal 28 Januari 2016 itu.

Namun pihak Pemko bergeming, seraya menunjukkan surat lain yang menerangkan bahwa gedung yang ingin mereka tempati itu sebelumnya hanya diberi izin pinjam pakai kepada SMKN Penerbangan. Setelah SMK itu pindah ke lahan baru di Kawasan Blang Bintang, Aceh Besar, otomatis gedung menjadi kosong dan tidak diperuntukkan bagi kegiatan apapun.

“Waktu itu kami juga terkejut, didatangi Pemko dan tiba-tiba tidak diperbolehkan menggunakan gedung itu,” ujar Zulkarnain kepada Pikiran Merdeka, Rabu pekan lalu.

Setelah insiden tersebut, ia tidak pernah lagi berkomunikasi dengan pihak Pemko untuk meluruskan tindak lanjutnya. “Kami hanya menunggu perkembanan dari pihak Dinas Pendidikan Aceh saja, karena kami juga tidak mengerti bagaimana masalah sebenarnya.”

Baca: Gedung Madani Center, Antara Pemerintah Aceh Vs Pemko Banda Aceh

Kepemilikan area seluas 7,1 hektar di Jalan Panglima Nyak Makam, Lampineung, tepat di sisi persimpangan depan kantor Gubernur Aceh, ini memang masih menuai masalah. Di kawasan ini, mulanya berdiri SMEA, STM, lalu SMK Negeri. Hal itu sesuai dengan arahan dari Kementerian terkait yang sejak tahun 1970-an silam telah mengamanahkan lokasi tersebut untuk kegiatan pendidikan.

Usai bencana tsunami, SMEA mendapat bantuan pembangunan gedung bantuan Jerman. Lokasi baru itu terletak di Jalan Sultan Malikul Saleh, Lampeuneurut, Aceh Besar. Mereka lalu pindah ke sana.

Sedangkan di pelataran Panglima Nyak Makam kini telah ditempati SMAN 12 dan SMKN 5 Telkom. Namun semenjak pembangunan gedung Madani Center di kawasan itu pada 2014, kedua sekolah perlahan-lahan terkena imbas penggusuran dan hingga kini tidak tahu harus pindah kemana. Seakan disandera dua kepentingan, lantaran status kepemilikan tanah ini mulai dipersoalkan. Baik pihak Pemerintah Aceh maupun Pemko Banda Aceh sama-sama merasa punya hak milik atas area pendidikan ini.

Saat Pikiran Merdeka bertandang ke SMKN 5 Telkom, Rabu pekan lalu, memang terlihat pemandangan yang sibuk. Belasan siswa-siswi duduk lesehan berjejer di sisi teduh lapangan olahraga, menyimak guru mereka yang tengah menerangkan pelajaran.

“Murid sudah belajar seperti itu dalam dua tahun terakhir,” kata Kepala Sekolah SMKN 5 Telkom, Muhammad Husin.

Sebagian mereka harus mengalihkan kegiatan belajar di luar ruangan karena tak cukup kelas. Perluasan area pembangunan Madani Center yang terpaut sekian meter dari SMKN 5, mengakibatkan dibongkarnya 12 ruangan teori dan empat ruang praktek sekolah ini. Untuk menutupi kekurangan kelas lantaran ekses pembangunan, pihak sekolah terpaksa menyekat ruang aula yang tersisa menjadi tujuh kelas. Dengan jumlah rata-rata 25 murid tiap kelasnya, ruang itu tentu menyesakkan.

Saat berkeliling melihat lokasi belajar, berkali-kali terdengar dentuman material bangunan yang dijatuhkan dari lantai atas rangka gedung Madani. Murid-murid sekilas kaget, namun kembali menoleh dan melanjutkan aktifitas belajar.

Husin juga bercerita, sebagian truk pengangkut material bangunan setiap saat lalu-lalang masuk lewat area sekolah. Dari gerbang masuk terlihat ruas jalan tanah yang lubangnya cukup menganga akibat menahan beratnya laju truk. Saat musim hujan, medan pekarangan tak lagi tampak seperti area sekolah, namun menyatu dengan lokasi kontruksi dengan genangan air di mana-mana.

Baca:

“Kami juga meminjam-pakai beberapa ruang untuk belajar teori di SMAN 12,” kata Husin seraya memperlihatkan denah area bekas SMEA ini. Murid-murid diharuskan berjalan sekian puluh meter untuk mencapai ruang yang mereka pinjam di SMA 12. Beruntung, jika bukan musim hujan.

Atas kendala dalam dua tahun terakhir ini, Husin berharap, persoalan lahan antara Pemerintah Aceh dan Pemko bisa menemui titik kejelasan. Hal itu demi memotivasi murid di kedua sekolah tersebut yang menurutnya paling dikorbankan dalam masalah ini.

“Kasihan, prestasi murid terus meningkat di ajang kompetisi nasional, namun kondisi sekolahnya seperti ini. Saya harap ada lokasi gedung baru untuk siswa, yang permanen. Kalau sekarang kan sedang dalam keadaan tidak menentu, di inventaris saja sudah tidak ada lagi tanah kami,” kata Husin sambil menyodorkan buku inventaris tahun 2015 yang dicetak oleh Pemko. Di situ terlihat tidak ada angka luas lahan sekolah ini, kolomnya kosong. Berbeda dengan dokumen tahun 2014.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait