Penolakan sayembara himne tidak saja disuarakan lewat unjuk rasa di DPRA. Perdebatan sengit juga terjadi di dunia maya. Sejumlah tokoh ikut berkomentar. Aktivis asal Gayo, Win Wan Nur dalam akun resminya mengaku geram dengan sayembara tersebut.
“Himne berbahasa Aceh adalah alat uji yang sangat bagus untuk membuktikan sejarah versi Ali Hasjmy dan Junus Djamil yang mengatakan ‘Gayo’ itu berasal dari kata ‘Kayo’ yang artinya Pengecut,” sindirnya.
Dalam kesempatan lain ia juga menyampaikan, “Ketika itu sudah disahkan, akan kita lihat bersama, apakah Gayo dan suku-suku non Aceh lainnya benar-benar melawan karena merasa ditindas.”
Sementara itu, akademisi Dosen Ilmu Politik Universitas Malikul Saleh, Taufik Adanur secara berbeda menilai masalah Himne Aceh ini. Bahasa Aceh, ujarnya, adalah representasi nilai-nilai kebangsaan dan ke-Aceh-an yang memuat keragaman suku dan bahasa.
“Bagi saya, himne bukan soal superior atau inferior di dalamnya, tapi ini hanya soal identitas sebuah provinsi dalam kesatuan negara yang mengakui keberagaman. Maka terasa miris jika kemudian himne ini liriknya berbahasa Melayu atau Indonesia,” ungkap Taufik dalam akunnya.
Budayawan Aceh, Ampuh Devayan kepada Pikiran Merdeka mengatakan, keputusan menggunakan bahasa Aceh untuk lirik himne itu terlalu dipaksakan. “Menurut saya, itu tidak bisa menjadi representasi Aceh secara keseluruhan. Karena Aceh sangat multirasial. Apakah itu secara budaya dan etika, itu tidak boleh,” katanya pada Sabtu pekan lalu.
Provinsi Aceh, sahut dia, bukan hanya wilayah daratan. Ada delapan suku yang berdiam di provinsi yang letaknya di ujung barat Indonesia ini. Ada suku Gayo, Alas, Tamiang, Haloban (Singkil), Simeulue, Aneuk Jamee, Aceh, dan Kluet. “Artinya, Aceh ini sebuah etnis yang multirasial. Jadi ketika kita melihat ada pihak yang memaksakan bahasa Aceh, itu tidak bisa mewakili Aceh secara holistik,” ujar Ampuh.
Ia juga menambahkan, dalam sejarah Aceh sendiri telah tercatat, bahwa bahasa yang digunakan di dalam pengantar komunikasi sejak didirikannya kerajaan Aceh oleh Sultan Johan Syah pada tahun 1602, yaitu bahasa Melayu Pasee. Yang lebih menguatkan lagi, seluruh transformasi pengetahuan komunikasi masyarakat Aceh secara umum kala itu menggunakan bahasa Melayu Pasee.
“Termasuk seperti Hamzah Fansuri, dan banyak pengarang buku-buku Aceh pada masa lampau. Bahasa Melayu Pasee ini kemudian manjadi Lingua Franca yang menjadi cikal bakal bahasa Indonesia,” paparnya.
TERLALU DIBESAR-BESARKAN
Pendapat yang sama disampaikan Dosen Sejarah Universitas Syiah Kuala, Husaini Ibrahim. Namun ia tak terlalu mempersoalkan jika bahasa Aceh yang dipakai suku mayoritas menjadi bahasa himne. Menurutnya, polemik yang muncul selama ini terlalu dibesar-besarkan.
“Yang namanya mayoritas, wajar jika masuk jadi bahasa resmi. Nanti kan bisa diterjemahkan dalam bahasa Gayo, juga untuk bahasa-bahasa lainnya. Tapi, kalau mungkin dibuat dalam bahasa tertentu, tidak semua orang bisa paham,” kata Husaini. Ia juga menganggap bahasa Melayu adalah pilihan yang tepat dan lebih netral.
Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman ikut menyesalkan polemik Himne Aceh. Perlu pemahaman bersama agar sayembara ini mampu mengakomodir kepentingan semua pihak. Namun jika melirik masa lampau, sambung Badruzzaman, bahasa Aceh memang lebih integeral. “Semua masuk, tidak pernah ada orang berbantah-bantahan dari Simeulue, Singkil, dari mana saja. Sepanjang catatan saya demikian. Tidak ada keluhan terhadap pengunaan bahasa Aceh,” ujarnya.
Ia menekankan agar persaudaraan antar etnis terus dijaga oleh masyarakat di Aceh. “Jadi, saya pikir tidak perlu dipertengkarkan. Semua bisa dirundingkan secara baik-baik. Kita kan tidak ingin ada perpecahan.”
Kalau pun sayembara tetap menggunakan bahasa Aceh, Himne juga masih bisa diterjemahkan ke bahasa masing-masing daerah. “Yang paling penting dari himne ini adalah ruh dan makna dari lirik lagunya nanti. Itu yang paling penting. Harus mengarah pada persatuan, membangun kekuatan untuk membangun daerah,” sahut dia.
Terakhir, Badruzzaman berharap agar persoalan Himne ini tak berlarut-larut. Ia mengatakan masih banyak sekali aspirasi lain yang perlu dipikirkan. Agenda pengentasan kemiskinan, perbaikan ekonomi, adalah jauh lebih penting. “Saya khawatir kita terlalu membuang banyak waktu untuk ini,” tutupnya.
PERLINDUNGAN BUDAYA
Antropolog Universitas Malikul Saleh, T Kemal Fasya mewanti-wanti meruaknya diskriminasi ras di Aceh. Salah satunya, seperti yang terjadi pada Sayembara Himne ini. Gejala yang kemudian ia sebut sebagai Chauvinisme ini kian mengancam keberagaman di Aceh.
“Penetapan syarat Himne dalam bahasa Aceh itu telah mengkhianati Aceh yang selama ini multikultural. Ketika Himne itu harus dipillih dalam salah satu bahasa yang paling dominan, jelas sekali menunjukkan ada ruang diskriminasi di situ. Ada pelecehan terhadap etnis lain seolah bahasa mereka itu tidak penting,” katanya kepada Pikiran Merdeka, Sabtu pekan lalu.
Ia menyarankan, DPRA menentukan bahasa yang bisa mempersatukan seluruh golongan, yang tak lain adalah bahasa Indonesia, seperti yang pernah ada sebelumnya. Keberadaan banyak etnis telah membuktikan bahwa keragaman Aceh itu yang sangat luas. “Walaupun bisa kita katakan lebih dari 70 persen bahasa yang digunakan itu adalah bahasa Aceh. Sementara sisanya telah dipakai oleh etnik lainnya,” kata Kemal.
Ada sejumlah orang yang berasal dari etnis Gayo di dalam tim Sayembara Himne Aceh. Namun, Kemal amat menyesalkan orang-orang tersebut sama sekali tak ikut emperjuangkan aspirasi etnis minoritas. “Saya pikir mereka itu sama sekali tidak sensitif dengan keberadaan etnis mereka. Dan Gayo sendiri itu kan merupakan etnis kedua terbesar yang populasinya itu sekitar 400 ribu jiwa. Penyebutan ‘bahasa Aceh’ saja memperlihatkan bahwa bahasa selain itu bukan Aceh. Seharusnya aturan semacam ini tidak perlu dibuat lah. Konyol seperti itu,” katanya lagi.
Di sisi lain, Kemal juga mengkritik Qanun Himne yang muatannya dinilai tak terlalu representatif. Ia memandang aspirasi seperti bendera, himne, lambang, merupakan bagain dari penyelenggaraan dan perlindungan budaya lokal. Di samping itu, ia mengingatkan bahwa budaya Aceh tidaklah monolitik, melainkan multikultural.
Untuk itu, Kemal menyarankan DPRA menyusun qanun berkaitan dengan penyelenggaraan dan perlindungan budaya. Qanun semacam ini lebih mengakomodir segala bentuk budaya dari beragam etnis yang ada di Aceh. “UU Perlindungan Budaya di nasional sudah ada. Seharusnya ada turunannya di kita dalam bentuk qanun, secara lebih spesifik dari amar UU yang lebih tinggi. Jadi bagaimana kita mem-breakdown dari kebijakan nasional menjadi kebijakan lokal. Lagipula di qanun semacam inilah semua etnis dapat diakomodir,” sarannya.[]
Belum ada komentar