Kesendirian Nek Enal yang Luput Perhatian

Kesendirian Nek Enal yang Luput Perhatian
Nek Enal bersama Jasiwa Maytense saat penyerahan bantuan. ( Foto: Pikiran Merdeka/Anuar Syahadat)

Nek Enal ini bertahan hidup di gubuk yang dipinjamkan warga, namun tetap mensyukuri kondisinya meski luput dari bantuan pemerintah.

Oleh Anuar Syahadat

Rambutnya putih semua. Usianya senja. Hidupnya sebatang kara. Hanya gubuk berukuran 2 x 3 meter sebagai tempatnya tinggal di tengah persawahan. Itu juga bukan miliknya.

Gubuk itu terbuat dari papan dengan beratap sange (sejenis ilalang). Bila musim hujan tiba, terlihat bocor di mana-mana. Dia hidup atas belas kasihan warga.

Itulah potret Rabume (80) warga Dusun Benyet, Desa Porang, Kecamatan Blangkejeren, Gayo Lues. Dia tidak memiliki sawah atau harta benda. Sepetak tanah untuk rumahpun tidak dimilikinya. Suaminya telah lama berpulang.

Wanita tua itu masih “berjuang” untuk hidup. Semua dilakukanya sendiri, bahkan ketika membawa air dari sumur ke rumahnya, harus dia junjung di atas kepala. Jalannya pelan, tertatih-tatih.

“Ada anak saya, tapi tinggal di Takengon. Saya tidak mau meninggalkan tempat kelahiran saya, sudah sejak jaman Belanda saya disini. Makanya saya tinggal sendiri,” sebut wanita yang kulitnya sudah keriput itu, ketika ditemui Jasiwa Maytense, Kabid Sosial Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Gayo Lues, Kamis sore 11 Februari 2016.

Warga Porang menyapanya dengan Nek Enal. Rumah itu akan kembali ke warga yang meminjamkannya ketika kelak ia kembali ke Sang Khalik. Sebagai kepedulian, rumah itu dibangun masyarakat, meski kini kondisnya sudah memprihatinkan.

Giara hanahpeh bantuen ari pemerintah sawah ku aku. Oros Bulog Raskin we, (tidak ada bantuan apapun dari pemerintah yang diberikan kepada saya, hanya beras Bulog Raskin),” katanya menggunakan bahasa Gayo.

Mata Nenek Enal terlihat berbinar. Memeluk  Jasiwa Maytense lalu sujud syukur setelah mendengar ada bantuan yang langsung diantarkan ke gubuknya.

“Terima kasih, Nak, hanya Allah yang bisa membalas kebaikanmu,” sebut Nek Eral, matanya berair, menetes ke pipi. Dia tidak sungkan memeluk Jasiwa, yang disaksikan beberapa orang tetangga nenek.

Rupanya, Nek Enal luput dari pendataan orang miskin selama ini. Bermacam jenis bantuan yang seharusnya diterimanya tidak pernah sampai. Entah tidak pernah masuk ke dalam data orang miskin atau memang bantuan menyimpang belum diketahui.

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya walau telah berusia senja, Nek Enal masih mencari upahan kepada tetangganya. Hasil keringatnya yang tak seberapa itu dia beli beras, ikan asin dan garam.

Ia tak pernah merasa lelah meskipun disuruh menanam padi, mengambil rumput di tengah padi (nruah), dan memotong padi demi mendapatkan upah Rp50 ribu.

“Hidup ini harus kuat dan tidak boleh terlalu berlebihan meminta kepada pemerintah. Kalau diberikan bersyukur. Kalau tidak, mungkin kita tidak layak menerimanya,” tutur Nek Enal, bijak.

“Apa lagi orang seperti kami, tidak tahu kemana mau diusul atau mau kemana diminta. Berjalan saja sudah sulit, rambut sudah putih, dan mata sudah kabur. Cukup menjalani hidup dengan tabah,” sambungnya.

Mendegar kata-kata itu, Jasiwa Maytense terdiam seraya menatap wajah Nek Enal. “Saya mengira tidak seperti ini kondisi Nek Enal. Kami baru memberikan bantuan setelah ada data,” katanya.

Bantuan yang dibawa Jasiwa dan timnya bukanlah bantuan yang bisa menyejahterakan Nek Enal. Melainkan hanya bantuan yang bersifat untuk melangsungkan hidup sebatang kara di usia tua.

“Jenis bantuan yang saya bawa hanya beras satu karung, minyak goreng, sarden, kelambu, kain sarung, dan dua baju daster,” ungkap Jasiwa.

Namun Jasiwa berjanji kepada Nek Enal, jika ke depan tidak lagi memiliki beras atau minyak goreng agar dilaporkan oleh  tetangganya melalui pesan singkat. “Saya akan mengantar langsung,” sebutnya.

Ia mengupayakan mencari cara agar atap rumah Nek Enal bisa diganti dengan seng dan dipasang aliran listrik.

“Kalau memang memungkinkan, kita usahakan Nek Enal ini mendapat rumah bantuan. Sebab, pemilik tanah juga setuju dibangun rumah asal  jangan dijual,” ujar Jasiwa.

Usai memberikan bantuan itu, Jasiwa Maytense kembali melanjutkan perjalanan mencari orang miskin, nenek tua, atau anak yatim dan piatu ke wilayah Kecamatan Blang Pegayon.

Tujuanya hanya untuk memberikan bantuan secara langsung, dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Gayo Lues, tanpa melalui pendataan maupun ada maksud tersembunyi lainnya.

Berharap tak ada lagi yang terlewatkan atau tidak mendapat bantuan, seperti yang dirasakan Nek Enal selama ini. Sudah tidak memiliki apa-apa, hidup sebatang kara, juga nyaris luput dari perhatian.[]

Diterbitkan di Rubrik NANGGROE Tabloid Pikiran Merdeka edisi 111 (15-21 Februari 2016).

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

CISAH, Pusat Informasi Warisan Budaya Samudra Pasai
Penelitian Cisah di situs Kesultanan Samudra Pasai di kecamatan Baktia Barat Aceh Utara, tahun 2013. Kegiatan ini diikuti Abdul Hamid, Abu Taqiyuddin Muhammad, Sukarna Putra, Munawir, Safar Syuhada, Khairul Syuhada, Herman, dan lebih kurang sekitar 15 anggota Cisah lainnya. Foto: Adi Alam.

CISAH, Pusat Informasi Warisan Budaya Samudra Pasai