Jauh sebelum rencana psikotes para calon kepala SKPA bergulir, di awal Maret lalu, Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh telah merilis rekam jejak para calon pejabat ini. Hasil penelurusan ini kemudian diketahui menjadi data pembanding terhadap hasil seleksi tim pansel JPT Pratama sebelumnya.
Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani saat ditemui Pikiran Merdeka, Sabtu (24/3) pekan lalu menyampaikan, Pemerintah Aceh telah memperlihatkan itikad baiknya dengan mengakomodir masukan dari unsur masyarakat sipil mengenai calon pejabat SKPA ini.
Terkait: Calon Kabinet Irwandi Harap-harap Cemas
“Kabar yang kami terima, Pemerintah Aceh memakai hasil output ini sebagai alternatif untuk melihat tiga besar nama calon SKPA. Adanya psikotes, ini menujukkan bahwa Pemerintah Aceh tidak mengabaikan penilaian GeRAK sebagai bagian dari unsur sipil, selain juga menunjukkan bahwa ada indikator-indikator lain yang tak boleh dilewatkan pemerintah,” kata Askhalani.
Menurutnya, jika pemerintah hanya mengambil keputusan bermodal asumsi dari data tim pansel sendiri, kemungkinan besar hasilnya akan timpang. Karena ia yakin, proses fit and proper test hanya manakar sisi kompetensi jabatan dari sudut pandang orang-orang yang dipilih pemerintah sendiri. Karena itu GeRAK merasa perlu menyajikan asumsi yang berasal dari masyarakat.
“Sementara rekam jejak saya yakin belum ada (di tim pansel), dan itu hanya bisa dilakukan oleh kelompok independen yang bukan berasal dari panitia seleksi. Karena rekam jejak ini adalah bagian dari proses yang menurut kami bisa melihat secara utuh dan general terkait orang-orang yang akan ditempatkan,” jelasnya.
Berdasarkan hasil penelurusan rekam jejak, GeRAK telah mengklasifikasikan nama-nama tiga besar calon pejabat tersebut dalam tiga kategori warna, yaitu merah, kuning, hijau dan putih. Klasifikasi ini didasari pada lima indikator.
Pertama, tim dari GeRAK menilai rekam jejak berdasarkan pemberitaan mengenai sosok para calon di media massa. Kedua, penilaian diambil dari hasil wawancara terhadap orang-orang yang dekat dengan individu tersebut, termasuk para bawahan dari lembaga yang pernah dipimpinnya.
“Ke tiga, indikator yang kita lihat adalah sisi penanganan perkara yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian, yang kita telusuri dari Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidika (SPDP), dari sini kita dapatkan beberapa orang yang terkait dengan hal ini,” jelas Askhalani.
Indikator berikutnya adalah nilai sosial. GeRAK menelusuri rekam jejak para calon terkait kehidupan sosial masyarakatnya. “Bagaimana dia hidup di lingkungannya, bahkan dalam satu kasus yang kita temukan, ada yang diketahui pernah melakukan penyerobotan terhadap tanah masyarakat, ini penting untuk dicatat,” paparnya.
Indikator terakhir, yakni pengaruh si calon dan interaksinya di ruang publik. “Bagaimana dia bersikap di facebook, twitter, relasinya dengan siapa, tahu dia sering duduk dengan siapa itu bisa menjadi daya tracking,” tandasnya.
KATEGORI MERAH
Bermodal indikator tadi, tim dari GeRAK menyusuri rekam jejak mereka yang namanya masuk dalam tiga besar calon pejabat eselon II itu. Untuk kategori warna merah, ini diklasifikasikan bagi mereka yang pernah tersandung kasus korupsi. Selain itu, dia juga terhitung sebagai pejabat yang selama ini berpotensi mempergunakan jabatannya untuk memperkaya orang lain, seperti . Hal lain, seperti rendahnya daya leadership (kepemimpinan) dan kuatnya sisi temperamental, turut mencantumkan sosok calon pejabat tersebut dalam kategori merah.
Sementara itu, kategori kuning adalah bagi mereka yang dalam rekam jejaknya diketahui tidak mampu memimpin instansinya. “Lead management, bagaimana dia ketika memimpin sebuah instansi tapi tak punya leadership, dikontrol oleh orang-orang dari luar, menggunakan jabatan yang ia miliki, tapi dipakai untuk memberi mendapatkan proyek pada orang-orang tertentu, banyak yang kita dapatkan yang seperti ini, selain itu kunging adalah mereka yang tak punya inovasi,” papar Askhalani.
Warna kuning menjadi kategori yang perlu diwanti-wanti oleh pemerintah, karena rentan untuk masuki dalam kategori merah. “Contohnya, bagaimana pejabat tersebut gagal mengembangkan inovasi terkait penggunaan dana desa, selain itu juga lambannya arahan kerja pada Badan Penanggulangan Bencana, misalnya, ini masuk dalam indikator kita,” kata dia.
Sementara itu, kategori hijau diberikan kepada orang-orang terbaik yang menurut GeRAK telah layak memimpin SKPA. “Pertama, dia paham aturan, leadershipnya bagus, kemampuan manajerialnya baik, dan progresif, beberapa orang yang lolos dalam kategori ini sebagian anak muda yang masih memiliki nilai integritas yang baik,” kata Askhalani.
Menurutnya, orang seperti ini harus diperhatikan komponen sipil, karena dia tidak tergolong dalam tipe pelobi. “Mereka ini tidak ada relasi politik, bukan juga bagian dari parpol, mereka masuk aktegori hijau,” ujarnya lagi.
Alhasil, GeRAK mendapati ada 19 orang dari seluruh calon kepala SKPA itu yang masuk dalam kategori merah. Sedangkan yang masuk dalam kategori kuning ada sekitar 20 orang. “Pemerintah harus memperhatikan ini, jika tidak ingin kabinetnya bermasalah ke depan,” imbuh Askhalani.
Sementara itu, ada 33 orang yang masuk dalam kategori hijau. GeRAK berharap Gubernur ‘menyelamatkan’ orang-orang ini. “Mereka tidak banyak. Kemmapuan leadershipnya di atas rata-rata, mampu secara manajerial, muda, dan punya koneksi internal dan eksternal yang baik, karena beberapa memang pernah kuliah di luar negeri,” pungkas Askhalani.
Sisanya, GeRAK masih melakukan verifikasi. Askhalani mengatakan pihaknya tengah merampungkan hasil rekam jejak itu dalam dua hari ke depan. “Sementara masih ada waktu sebelum tes psikologi dimulai, kita berharap mereka yang masuk kategori hijau ini bisa sampai 50-an orang,” tandasnya.
ISYARAT KESERIUSAN
Secara umum, GeRAK mengapresiasi ruang partisipasi yang dibuka oleh Pemerintah Aceh. Hal ini menunjukkan keseriusan Gubernur untuk menetapkan orang-orang dalam kabinetnya, tidak hanya berdasarkan nilai kecerdasan, tapi juga rekam jejak. Apalagi, kata Askhalani, Gubernur Irwandi kerap mengutarakan sikapnya yang cukup antipati pada orang yang melobi lewat ‘jalur belakang’.
“Ini juga sekaligus mementahkan anggapan yang mengatakan fit and proper test itu hanya formalitas dan penuh kepura-puraan. Banyak yang menuding seleksi SKPA tidak objektif, hanya pilih orang-orang yang memiliki relasi dengan pemerintah. Tapi, justru dengan terbukanya usulan publik, tudingan itu bisa terbantahkan,” katanya.
Ke depan, untuk lebih memperkuat komitmen Pemerintah Aceh, GeRAK juga berencana meminta asistensi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bentuk keterlibatan yang diusulkan adalah dengan mengadakan pakta integritas.
“GeRAK sedang mendorong koordinasi dengan tim supervisi KPK yang ada di Aceh untuk mengadakan pakta integritas, ini untuk menguatkan komitmen orang yang sudah dilantik, maka mereka akan kita minta menyepakati pakta integritas tersebut,” ujar Askhalani. Salah satu poin yang diusulkan dalam pakta integritas, adalah kesediaan pejabat untuk mundur jika dalam proses pemerintahan terbukti mengabaikan tanggung jawab, terlibat korupsi, dan sebagainya.[]
Gugatan YARA Lanjut ke Tahap Mediasi
Somasi yang dilayangkan YARA terhadap tim panitia seleksi calon kepala SKPA memasuki tahap mediasi. Safaruddin Cs mempersoalkan adanya pengurus partai politim dalam tim tersebut.
Satu masalah yang masih tersisa dari kinerja tim pansel JPT Pratama di SKPA, adalah gugatan yang dilancarkan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA). Seperti diketahui, sejak 28 Desember 2017 lalu, YARA melayangkan somasi terhadap ketua tim pansel. Somasi ini menyusul karena masih tercantumnya nama-nama panitia seleksi dalam kepengurusan DPP Partai Nanggroe Aceh. Nama-nama Pansel yang menjadi pengurus partai politik, di antaranya T Setia Budi, Marwan Sufi dan Syarifuddin Z.
Dalam surat somasi yang ditujukan kepada Ketua Pansel pejabat Aceh, Ketua YARA Safaruddin SH, juga meminta kepada Ketua Tim Panitia Seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama Pemerintah Aceh untuk menghentikan proses seleksi JPT Pratama di lingkungan Pemerintah Provinsi Aceh, sebelum adanya perubahan nama-nama pengurus DPP PNA dari Kemenkumham, dengan mengeluarkan nama-nama Panitia Pansel yang menjadi pengurus partai politik.
“Perlu kami sampaikan bahwa ketiganya berdasarkan dokumen Berita Acara Negara masih terdaftar sebagai pengurus partai Politik sebagaimana dalam SK Kepala Kanwil Kemenkumham Nomor: W1-306.AH.11.01 Tahun 2017, tentang pengesahan perubahan susunan kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasional Aceh-menjadi Partai Nanggroe Aceh (DPP-PNA),” kata Safaruddin.
Keterlibatan pengurus partai politik sebagai Panitia Seleksi JPT Pratama Pemerintah Aceh, lanjut Safar, bertentangan dengan Pasal 114 ayat 6 huruf c PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, dimana panitia seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama dilarang terlibat sebagai anggota/pengurus partai politik.
Selain itu, YARA juga meminta kepada Ketua Panitia Seleksi untuk membatalkan Pengumuman Nomor: PENG/PANSEL/003/2017 tentang Hasil Seleksi Administrasi Calon Pimpinan Tinggi Pratama di Lingkungan Pemerintah Aceh secara terbuka tahun 2017. Karena prosesnya di lakukan oleh Panitia Seleksi yang masih menjadi pengurus Partai Politik.
“Kami mendukung proses seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama secara terbuka di lingkungan Pemerintah Aceh, sejauh itu di laksanakan menurut peraturan perundang-undangan,” kata Safar.
Terkait dengan somasi tersebut, Safar mendesak pensel membatalkan Pengumuman Nomor: PENG/PANSEL/003/2017 dan proses seleksi dilanjutkan oleh Panitia Seleksi yang tidak terdaftar sebagai Pengurus Partai Politik dalam SK Kementerian Hukum dan HAM yang terdaftar dalam Berita Acara Negara.
Gugatan YARA kala itu ditanggapi oleh Ketua III (Hukum dan Hak Asasi Manusia) DPP-PNA, Mohd. Jully Fuady. Ia menegaskan, bahwa Setia Budi dan beberapa orang lainnya sudah mengajukan permohonan pengunduran diri dan sudah dikabulkan oleh institusinya.
Selanjutnya, Partai Nanggroe Aceh saat itu juga sudah melayangkan surat permohonan perubahan kepengurusan kepada Kantor Wilayah kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Aceh.
“Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Apa yang sudah dilakukan Pemerintah Aceh dalam hal pembentukan panitia seleksi Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama sudah sesuai dengan isi Pasal 20 Undang-Undang No 11 Tahun 2006, Pasal 108, 110, 111 UU No 5 Tahun 2014, Pasal 5 UU no 30 Tahun 2014 dan Pasal 114 PP No 11 Tahun 2017,” tambahnya.
Namun, Safaruddin tetap bergeming dengan gugatannya. Ia menyampaikan, pengunduran diri yang dimohonkan Setia Budi terlambat. Karena menurutnya, hampir separuh keputusan T Setia Budi selaku ketua tim pansel dalam menjalankan dikeluarkan ketika ia belum melepas atribut partainya.
“Ini konsekuensinya, cacat hukum, karena jelas dalam peraturan dilarang menjabat keanggotaan di parpol, bertentangan dengan Pasal 114 Ayat 6 huruf c PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, pansel tidak boleh terlibat sebagai anggota/pengurus partai politik pada saat proses awal pengumuman sampai tahap tes seleksi administrasi,” tegas Safaruddin.
Selain itu, Safaruddin juga mempersoalkan rekomendasi Ketua KASN RI yang membolehkan pejabat berusia 58,9 tahun mengikuti seleksi JPT Pratama. Hal tersebut bertentangan dengan PP Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Manajemen PNS. Dalam aturan ini ditegaskan bahwa usia paling tinggi adalah 56 tahun.
Lebih jauh, pada tanggal 21 Februari lalu, YARA mendaftarkan gugatannya terhadap ketua tim pansel SKPA dan ketua KASN ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. Kini, proses gugatan tersebut kabarnya sudah masuk ke tahap mediasi. Majelis hakim PN Banda Aceh telah menujuk hakim mediator.
“Karena ini kasus perdata, maka ada waktu untuk mediasi selama 30 hari. Diharapkan bisa selesai secara kekeluargaan,” kata Safaruddin kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (24/3) lalu.
Tanggal 5 April mendatang, proses mediasi akan dimulai. Safaruddin meminta agar gugatan ini tidak disalah pahami oleh publik.
“Kita tetap mendukung upaya gubernur untuk menyegarkan SKPA. Terpilihnya orang-orang yang dipercaya Guebrnur yang memiliki kapasitas kerja loyalitas, tentu kita dukung, tapi ini semua harus sesuai aturan, jika tidak, hasilnya akan bermasalah nanti,” tambah Safar.
Ia ingin proses rekrutmen itu sesuai dengan aturan. Jika tidak, pelanggaran hukum ini bisa merembes ke anggaran yang dikelola pejabat nantinya.
“Ini kan bisa menghambat kerja Gubernur. Maka kita ingin rekrutmen itu diulang dari awal. Jadi yang kita inginkan ini sederhana, tapi punya implikasi hukum yang luas. Kita ingin meyelamatkan pemerintah juga sebenarnya. Jangan sudah dilantik, ada masalah pula di kemudian hari. Kita perlu tim pansel yang normatif,” tandasnya.[]
Belum ada komentar