Pemenuhan kebutuhan energi menjadi tantangan terberat Pemerintah Aceh ke depan. Mampukah rezim Irwandi-Nova menciptakan kemandirian energi dengan tidak merusak lingkungan?
Shaivannur sangat gusar. Ia tak habis pikir dengan Pemerintah Aceh yang terus bersikeras, merekomendasi ulang wacana rezonasi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Padahal, pada 30 September 2016 lalu, Dirjen KSDAE telah menerbitkan surat ke Kepala Balai Besar TNGL Perihal Laporan Survei Pendahuluan Panas Bumi Gunung Kembar, Provinsi Aceh sebagai bahan pertimbangan revisi sebagian zona Inti Taman Nasional Gunung Leuser. Dalam surat bernomor S.537/KSDAE/Set/KUM.8/9/2016 tersebut ditegaskan perubahan zona inti di TNGL menjadi zona pemanfaatan tidak dapat dipenuhi.
“Tetapi proses rencana rezonasi tersebut masih tetap berlanjut,” kata Aktivis Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HakA) ini.
Buntutnya, pertengahan Maret lalu, Shaivan yang juga sebagai Juru Bicara dari Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) ini merilis siaran pers. Ia dengan tegas menolak rencana Pemerintah Aceh yang ingin mengubah Zona Inti di TNGL menjadi zona pemanfaatan lain. Keinginan Pemerintah Aceh mengkonversi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) untuk dialihfungsikan, terkesan terlalu dipaksakan.
“Kawasan Kappi merupakan jantung ekosistem Leuser yang menyediakan manfaat besar untuk masyarakat Aceh setiap tahunnya secara gratis. Menghancurkan jantung ini berarti memulai kehancuran bagian lain dari ekosistem,” kata Shaivan saat ditemui Pikiran Merdeka, Sabtu (6/5) pekan lalu.
Maka, sebut Shaivan, ironis jika harus menghancurkan fungsi hutan senilai milyaran dolar demi energi listrik berdaya kecil 142 MegaWatt (MW). Sementara masih banyak lokasi alternatif lain yang lebih baik tersebar di Aceh. Seulawah, misalnya, dayanya bisa mencapai 180 MW.
“Kalau ada alternatif yang lebih baik, mengapa TNGL juga yang harus disasari,” desak Shaivan. Usahanya menolak rezonasi tak hanya sampai disitu. Tempo hari, Shaivan bersama rekan-rekan aktivis juga melakukan aksi di gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Jakarta.
Semula, lokasi Kappi yang terletak di kawasan TNGL ingin dibangun pembangkit energi tenaga Geothermal atau panas bumi. Perusahaan yang bakal menggarapnya adalah PT Hitay Panas Energy, asal Turki. Tenaga Geothermal digadang-gadang menjadi sumber energi yang bersih dan terbarukan bagi Aceh di masa depan. Ini merupakan sumber energi yang relatif ramah lingkungan.
Namun, masalahnya kemudian ada pada lokasi pembangunan pembangkit tersebut. Kappi yang merupakan kawasan yang wajib dilindungi, dikhawatirkan akan rusak seiring pembangunan Geothermal.
“Karena untuk membuka kawasan tersebut otomatis harus bangun jalan dulu, kan. Ketika jalan dibangun, maka di samping jalan akan dibuka kebun. Maka TNGL bakal rusak, dan satwa terancam, ada operasi menggunakan alat-alat berat, tidak mungkin ini dilakukan di lokasi yang secara Undang-Undang dinyatakan terlindungi,” ujar Shaivan.
Karenanya, kata dia, perlu dicarikan lokasi alternatif yang tak banyak memberi dampak negatif terhadap lingkungan.
Di bulan yang sama, Gubernur Aceh terpilih Irwandi Yusuf turut mengutarakan sikap tegasnya mengenai rencana proyek Geothermal di Zona Inti Leuser. Seperti dilansir mongabay.co.id, ia akan mengalihkan proyek panas bumi dari TNGL ke Seulawah, lokasi yang telah ia rencanakan sejak menjabat di periode 2007-2012 lalu. “Saya sendiri yang akan batalkan proyek itu,” tegas Irwandi Yusuf.
POTENSI ENERGI TERBARUKAN
Pembangkit listrik tenaga panas bumi dipastikan hampir tidak menimbulkan polusi atau emisi gas rumah kaca. Tenaga ini juga tidak berisik dan dapat diandalkan. Geothermal mampu menghasilkan listrik sekitar 90 persen, dibandingkan 65-75 persen pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Dilansir dari laman greenpeace.org, di banyak negara dengan cadangan panas bumi melimpah seperti Indonesia yang memiliki 40 persen cadangan panas bumi dunia, sumber energi terbarukan yang telah terbukti bersih ini masih minim dimanfaatkan secara besar-besaran.
Shaivan menyebutkan, ada 14 lokasi alternatif sumber listrik yang tersebar di tujuh kabupaten yang memiliki potensi energi panas bumi di Aceh, yang bila digabungkan hasil energinya bisa mencapai lebih dari 950 MW, lebih besar dibandingkan dengan 142 MW di lokasi yang diajukan untuk perubahan status zonasi.
“Ditambah lagi, Seulawah dekat dengan kota, ini kan menghemat biaya,” katanya.
Belakangan, potensi geothermal sebagai sumber energi untuk pemenuhan listrik daerah menjadi salah satu strategi program ‘Aceh Energi’ yang digagas Irwandi Yusuf—Nova Iriansyah, Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh terpilih pada Pilkada lalu. Sebagaimana tertera dalam salah satu poin visi pemerintahannya, yakni menyediakan sumber energi bersih dan terbarukan dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik masyarakat Aceh dan industri, sebagai komitmen pembangunan yang rendah emisi.
Sejumlah program strategis dari Aceh Energi adalah penyiapan masterplan energi Aceh yang komprehensif dan terintegrasi. Anggota tim penyusunan program Irwandi—Nova, Miswar Fuady pada Jumat pekan lalu menyampaikan, Aceh perlu merencanakan seberapa besar kebutuhan energi daerah untuk jangka panjang hingga 20 tahun mendatang.
“Sekarang kan cuma 360 Mega Watt. Ini saat terjadi beban puncak, dari jam 19.00-22.00 malam. Sementara yang tersedia sekarang hanya 355 MW. Berarti kita masih kekurangan pasokan. Namun beberapa dasawarsa mendatang, tentu tidak segini lagi jumlahnya, pasti lebih tinggi. Nah, masterplan kita nanti harus mampu memprediksi ini,” ujar Miswar.
Akademisi Teknik Mesin Unsyiah, Prof Khairil mengaggap penyusunan roadmap pemenuhan energi perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti akademisi, politisi, dan para praktisi agar konsep tersebut mudah teralisasi.
“Istilah sekarang disebut sebagai RUED—Rencana Umum Energi Daerah. Meskipun masa pemerintah Irwandi hanya lima tahun, perlu dibuat juga Kebijakan Energi Daerah (KED). RUED yang berjangka panjang ini harus di-breakdown menjadi program 5 tahun pertama, 5 tahun ke dua, dan seterusnya. Rencana tersebut segera ditindak lanjuti oleh Pengelola Energi Daerah,” ujar Khairil.
Lalu, Khairil juga merasa pemerintah perlu membentuk Task Force (TF) beranggotakan wakil-wakil dari kalangan pemangku kepentingan tadi. “Tugas utama yang perlu dilakukan adalah penyiapan database, terkait ketersediaan potensi energi yang ada di Aceh dari kabupaten hingga tingkat kecamatan. Agar kita ketahui ketersediaan energi berdasarkan potensi daerah tersebut, dengan itu kita juga tahu model pembangkit apa yang cocok,” tambahnya.
Untuk merealisasikannya, pada saat berdiskusi dengan Bappeda, kembali Miswar menyebutkan, ada lima lokasi yang didorong untuk pembangunan PLTA yaitu Krueng Teunom, Jambo Papeun, Kreung Jambo Ayee, Krueng Tripa dan Lawe Alas.
“Namun akhirnya disepakati di dua lokasi, Krueng Teunom dan Lawe Alas. Karena ada tiga hal yang ingin kita selesaikan. Selain untuk mengendalikan banjir, kita juga perlu bendungan besar. Bendungan ini nanti akan coba kita koneksikan dengan irigasi, sehingga bisa memenuhi kebutuhan air di sawah dan perkebunan yang ada di lokasi itu,” katanya.
Sedangkan dalam jangka pendek, pemerintah mendatang tengah mengupayakan penyediaan kapal apung pembangkit listrik guna menutupi kekurangan listrik di beberapa kota besar, seperti Banda Aceh, Lhokseumwe, dan Langsa. kita akan kordinasi dengan PLN untuk menghitungnya.
“Seperti dulu PLTU Apung di beberapa titik yang kekurangan arus listriknya tinggi. Banda Aceh, Lhokseumawe, dan Langsa. Ini untuk tahun 2018, kita mendiskusikannya dengan PLN. Untuk mengetahui berapa kira-kira dana yang musti disubsidi pemerintah Aceh nanti,” kata Miswar.
Namun, akademisi Universitas Syiah Kuala, Prof Khairil kurang sependapat dengan pengadaan kapal apung jadi bagian dari program jangka pendek Pemerintah Aceh. Ia menilai pembangkit listrik kapal apung memakan biaya operasional yang amat tinggi.
“Itu (Kapal Apung) solusi untuk darurat energi. Masa darurat energi memang sempat terjadi di Aceh. Tapi sekarang kan defisitnya sudah tidak telalu banyak. Kecuali jika ada industri yang sangat besar sedang beroperasi disini sehingga kebutuhannya melonjak,” ujar Khairil.
Pemenuhan listrik bisa tercapai jika PLTU di Nagan berjalan normal, yakni 220 MW. Sementara di Lhokseumawe ada pembangkit listrik tenaga gas (PLTMG) itu sebanyak 19 unit. Maka semua pemabgnkit tersebut bisa membantu.
“Yang jelas, untuk kondisi sekarang tidak perlu (kapal apung), saya rasa. Karena juga untuk biayanya sangat mahal. Kapal apung ini kan diesel. Biaya operasional nya sangat tinggi, maka tak cocok untuk masa sekarang,” imbuhnya.
Selain itu, Irwandi juga melirik pembangkit listrik tenaga sampah kota, termasuk inisiasi-inisiasi lokal terkait potensi pemenuhan listrik alternatif. Beberapa Kabupaten, sebut Miswar, ingin potensi energi listrik mengandalkan sumber daya yang ada di masing-masing daerahnya, walapun masih dalam skala yang kecil.
“Minimal pemenuhan untuk lingkup daerahnya saja. Mengenai Sampah Kota, pembuangan sampah di kawasaan Blang Bintang itu saja jika dikelola untuk sumber energi mampu memasok 15 sampai 35 MW listrik. Ini besar sekali manfaatnya untuk masyarakat,” ujar Miswar.
Soal kerjasama, Irwandi dalam pogramnya lebih memilih menggunakan skema Public Private Partnership untuk utilisasi sumber daya energi panas bumi dan air, tanpa menggunakan hutang luar negeri.
“Yang kita ketahui baik APBN, APBA, maupun APBK tidak dapat secara maksimal mendorong percepatan pembangunan, maka perlu ada kerjasama antara sektor swasta dan pemerintah Aceh. Misalnya lokasi pembangunan instalasi, dimana tanah dari pemerintah Aceh, utilisasinya dari swasta, lalu disepakati bagiamana komposisi sahamnya,” katanya.
Miswar menyadari, Aceh selama ini kurang menerapkan strategi tersebut. Padahal banyak keuntungan yang bisa didapatkan, seperti penghematan anggaran daerah dan swasta yang berpengalaman akan lebih tertarik untuk bekerjasama.
Sedangkan pendanaan, Miswar menargetkan skenario pendanaan untuk pembangkit itu berasal dari nasional. Pemenuhan energi 35.000 MW yang dicanangkan Jokowi, seharusnya menjadi modal Aceh untuk melakukan negosiasi. “APBA tak mungkin cukup. Jadi kita masuk ke strategi nasional yang 35.000 MW ini. Bangun di dua lokasi, Krueng Teunom dan Aceh Tenggara.”
Hingga bulan April 2017, terdata ada 37 pembangkit listrik dari program 35.000 MW yang telah beroperasi dengan total kapasitas sebesar 743 MW, mayoritas berbahan bakar energi bersih. Sedangkan yang dalam tahap konstruksi sebesar 13.816 MW. Selain itu, sebesar 8.210 MW pembangkit listrik telah tanda tangan kontrak, 5.845 MW dalam proses pengadaan dan 7.212 MW lainnya dalam tahap perencanaan.
Dari pembangkit listrik program 35.000 MW itu, seperti dilansir detik.com, yang telah beroperasi sebesar 743 MW, terdiri dari 37 proyek dan tersebar mulai dari Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua. Sebanyak 30 proyek pembangkit menggunakan energi bersih, mulai dari gas bumi, surya, air hingga biogas. Hanya 7 proyek saja yang menggunakan diesel.
Dalam pembangunan PLTA misalnya, diketahui sebesar 60 persen untuk membiayai infrastruktur, sisanya untuk elektrifikasi. Jadi, untuk membangun waduk raksasa seperti yang terdapat di Kerto Aceh Utara, sambung Miswar, perlu mencari skema pembiayaan yang baru.
“Menariknya, Irwandi juga punya jalinan yang baik dengan pihak luar negeri. Kita harap pola kerjasama dengan dana hibah seperti dengan KFW Jerman (geothermal Seulawah) itu ada,” katanya.[]Fuadi Mardhatillah
Belum ada komentar