BERBAGAI kasus kekerasan seksual anak kian mencemaskan akhir-akhir ini. Anak bukan lagi hanya menjadi korban, tetapi sudah menjadi pelaku—suatu kondisi yang membuat terenyuh. Kasus demi kasus terjadi susul-menyusul, dari satu daerah ke daerah lain. Seperti efek domino, satu kejadian menginspirasi kejadian lainnya.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencerminkan kondisi darurat kejahatan terhadap anak. Dalam periode Januari – April 2016, tercatat ada 298 kasus atau meningkat 15 persen dibandingkan tahun 2015. Kasus sebenarnya bisa jadi lebih tinggi lagi sebab banyak korban enggan melapor, terutama jika berkaitan dengan kasus kekerasan seksual. Keengganan ini berkaitan dengan sikap masyarakat yang cenderung mendiskreditkan korban, hukum yang tidak berempati terhadap korban, serta pelaku kekerasan yang berada di level lebih tinggi dari korban. Semakin besar pengaruh pelaku di tengah masyarakat, semakin jauh kejahatannya akan terjamah hukum.
Sisi buruk media
Perkembangan teknologi menjadi wabah yang menyebar sisi positif dan negatif sekaligus, tentunya dengan dampak negatif yang lebih menonjol. Masyarakat bisa mencari, menyimpan, mengolah, sampai memublikasikan satu kejadian layaknya seorang jurnalis. Bedanya, informasi dari jurnalis lebih berimbang, sudah melalui penyensoran internal redaksi, dan relatif menjaga tata kesusilaan. Kabar melalui media sosial justru sebaliknya. Meski dalam beberapa kasus, pemberitaan media dinilai masih belum memihak kepada korban.
Beberapa korban di bawah umur, mengalami tindak kekerasan seksual juga berawal dari perkenalan dengan orang yang salah melalui media sosial. Mulanya hanya perkenalan biasa, kemudian berlanjut dengan pertemuan, sampai akhirnya terjadi tindak kekerasa seksual.
Pemberitaan media juga masih ada yang belum berpihak kepada korban. Diksi yang keliru baik dalam judul maupun tubuh berita, membuat korban sering menjadi korban sekali lagi dalam pemberitaan media. Ketika masuk ke ranah hukum, korban kembali teraniaya sehingga harus menahan derita jiwa dan raga seumur hidup. Penggunaan ilustrasi korban terkadang malah dengan pose yang alih-alih menimbulkan empati, malah berpotensi mengundang kejahatan baru.
Di tengah kondisi yang serba tidak mendukung, ada kelompok yang peduli terhadap nasib korban. Berbagai kalangan terus menyuarakan kampanye perlawanan terhadap kejahatan seksual, termasuk mendorong lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak yang memberi kewenangan pengebirian terhadap pelaku. Di tengah pro dan kontra, kampanye perlindungan anak terus disuarakan meski belum terlalu efektif mengurangi tingkat kekerasan terhadap anak.
Sepertinya tidak ada tempat lagi yang aman bagi anak. Rumah sebagai benteng utama perlindungan anak, dalam beberapa kasu malah menjadi neraka. Orang tua yang diharapkan sebagai pelindung utama, terkadang menjadi predator anak, termasuk anak sendiri. Ini sungguh menjadi ujian paling berat untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap anak.
Kyoiku mama
Meski potensi kekerasan terhadap anak bisa terjadi di tengah keluarga sendiri, tak bisa dimungkiri keluarga merupakan tameng pertama dan utama. Kekerasan terhadap anak di tengah keluarga sendiri bisa disebabkan berbagai hal, mulai dari masalah ekonomi dan sosial, tingkat pendidikan, sampai alkohol dan narkotika.
Baik anak sebagai korban tindak kejahatan maupun anak sebagai pelaku, keluarga merupakan benteng pertama untuk membangun kesadaran bagi anak. Anak-anak sejak dini harus mendapatkan pendidikan yang benar dari orang tua, terutama ibu. Pembentukan karakter, mengembangtumbuhkan rasa kasih sayang terhadap sesama, kejujuran, toleransi, harus dimulai dari keluarga. Peran ibu dalam hal ini sangat besar sehingga ibu juga harus mendapatkan pendidikan yang benar dalam mendidik anak.
Pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya harus memulai dengan membangun pendidikan yang benar kepada ibu rumah tangga dalam mendidik anak. Ibu rumah tangga harus mendapatkan edukasi yang benar, seperti budaya kyoiku mama (pendidikan ibu) yang terjadi di Jepang. Ibu harus memberikan pendidikan yang benar di usia emas anak, terutama pembentukan karakter yang anti-kekerasan dan menumbuhkan budi pekerti yang luhur. Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, dalam satu tulisannya menyebutkan kyoiku mama merupakan salah satu faktor yang membuat Jepang tumbuh menjadi raksasa ekonomi dunia.
![Ilustrasi pencabulan anak. (Img: Internet)](https://www.pikiranmerdeka.co/wp-content/uploads/2016/04/anak-korban-aniaya-1-300x166.jpg)
Pendidikan bagi ibu dalam membentuk karakter anak harus menjadi program pemerintah secara berkelanjutan, bukan hanya semacam imbauan tatkala kasus kekerasan terhadap anak meningkat. Seetiap ibu mendapatkan pendidikan tersebut dan kemudian menjadi tutor bagi ibu lainnya sehingga dalam sebuah desa, semua ibu mendapatkan pendidikan yang sama. Wadah organisasi ibu-ibu di desa, organisasi profesi, dan komunitas ibu-ibu di perkotaan, harus menjadi sasaran pelaksanaan program ini secara berkelanjutan.
Anak-anak yang mendapatkan surga di rumahnya, memiliki kecenderungan untuk membawa surga tersebut ke sekolah dan lingkungan. Pertemanan dengan anak yang belum mendapatkan pendidikan yang baik dalam keluarganya merupakan pertarungan pengaruh baik dan buruk. Jika belum tertanam pondasi yang kuat, anak-anak yang mendapatkan pendidikan baik terpengaruh untuk mengikuti temannya yang berperilaku buruk. Ketika sudah mendapatkan pondasi yang benar dari ibunya, seorang anak tidak akan dengan mudah terpengaruh. Apalagi jika mendapatkan dukungan dari teman-temannya yang mendapatkan bekal sama dari ibu mereka.
Kearifaan lokal
Selama ini, masyarakat kita belum memiliki patron dalam membangun kesadaran anak dalam mengantisipasi kasus kekerasan, baik sebagai pelaku maupun korban. Di tengah kungkungan nilai pragmatisme, orang tua belum memiliki konsep yang jelas untuk mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak, baik di dalam keluarga sendiri maupun lingkungan sekolah dan masyarakat. Aksi pencegahan masih lemah, demikian juga setelah anak mengalami dan atau melakukan kekerasan.
Keluarga tertentu barangkali memiliki metode pendidikan yang bisa menangkal kekerasan, tapi itu bukan sebuah gerakan masif dalam seluruh keluarga besar Indonesia. Konsep ini yang harus diformulasikan oleh pemerintah dan kemudian menjadi gerakan bersama di seluruh Tanah Air.
Indonesia memiliki banyak kearifan lokal (local wisdom) dalam membangun pendidikan nilai dan budi pekerti yang luhur. Warisan leluhur ini belum optimal digali untuk menangkal pengaruh negatif gempuran globalisasi. Di beberapa daerah, kearifan lokal menempatkan keluarga sebagai pilar utama pendidikan karakter anak. Selayaknya kearifan lokal tersebut kekayaan bangsa dalam pengaturan konsep pendidikan nilai kepada anak-anak. Warisan ini tidak hanya bisa dilakukan di daerah tertentu, tetapi bisa menjadi gerakan nasional, apalagi beberapa kearifan lokal di Indonesia nyaris serupa. Misalnya, budaya peuratep aneuk atau meninabobokan anak di Aceh, tak jauh berbeda dengan tradisi manjujai masyarakat Minangkabau, atau nyanyian mbue-bue di Muna, Sulawesi Tenggara. Kemiripan ini bila disatukan menjadi kekuatan bangsa dalam membangun pendidikan anak berbasis keluarga Indonesia.[]
Ayi Jufridar, bekerja sebagai jurnalis dan penulis. Menetap di Lhokseumawe, Aceh.
![Ayi Jufridar](https://www.pikiranmerdeka.co/wp-content/uploads/2016/06/Ayi-Jufridar-150x150.jpg)
Belum ada komentar