PM, Jakarta – RP, LS, dan NMB dipanggil menghadap penyidik Kejaksaan Agung RI guna dimintai keterangan terkait dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan dan usaha di Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo) tahun 2016-2019. Ketiganya dimintai keterangan oleh Tim Jaksa Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jam Pidsus) Kejagung, Rabu, 1 September 2021 kemarin.
Menurut keterangan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, RP berprofesi sebagai wiraswasta. Dia diperiksa terkait pengelolaan keuangan perusahaan umum perikanan Indonesia.
Sementara LS diperiksa selaku Direktur PT Kemilau Bintang Timur, dan NMB diperiksa selaku Direktur PT Prima Pangan Madani. Keduanya juga diperiksa terkait pengelolaan keuangan perusahaan umum perikanan Indonesia.
“Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri guna menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi di Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo),” kata Leonard.
Kasus dugaan korupsi di Perum Perindo bermula pada Tahun 2017, saat perusahaan menerbitkan MTN (Medium Tern Notes) atau utang jangka menengah untuk mendapatkan dana dengan cara menjual prospek.
Prospek yang dijual Perum Perindo dalam hal penangkapan ikan. Selanjutnya Perum Perindo mendapatkan dana MTN sebesar Rp200 miliar.
Dana pertama cair pada Agustus 2017 sebesar Rp100 miliar dengan return 9% dibayar per triwulan dalam jangka waktu tiga tahun yang jatuh tempo pada Agustus 2020. Selanjutnya pada Desember 2017, dana MTN sebesar Rp100 miliar kembali cair dengan return 9,5% dibayar per triwulan dalam jangka waktu tiga tahun yang jatuh tempo pada bulan Desember 2020.
MTN atau utang jangka menengah yang diterbitkan pada 2017 sebesar Rp200 miliar itu sebagian besar digunakan untuk modal kerja perdagangan. “Hal ini bisa dilihat dengan meningkatnya pendapatan perusahaan yang di tahun 2016 sebesar kurang lebih dari Rp233 miliar meningkat menjadi kurang lebih Rp603 miliar dan mencapai kurang lebih Rp1 triliun di tahun 2018. Kontribusi terbesar berasal dari pendapatan perdagangan,” terang Leonard.
Karena fokus dengan pencapaian yang dilakukan dengan melibatkan semua unit usaha untuk perdagangan, sehingga menimbulkan permasalahan kontrol transaksi perdagangan menjadi lemah. Transaksi masih terjadi walau mitra terindikasi macet.
“Kontrol yang lemah dan pemilihan mitra kerja yang tidak hati-hati menjadikan perdagangan pada saat itu, perputaran modal kerjanya melambat dan akhirnya sebagian besar menjadi piutang macet sebesar Rp181.196.173.783,” jelas Leonard.[]
Belum ada komentar