[quote]Oleh Sammy Khalifa[/quote]
[dropcap]S[/dropcap]
eluruh siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat di Indonesia sudah mulai menempuh perjuangan akhir mereka. Hal ini dilakukan dalam rangka mendapatkan ‘akreditasi’ selesainya proses belajar mereka di tingkat SMA dalam bentuk pelaksanaan Ujian Nasional (UN) sejak Senin (16/4) lalu.
Kini mereka akan menanti hasil akhir berupa pengumuman kelulusan UN nanti. Berbagai akumulasi perasaan yang bercampur-aduk pun telah dialami. Bukan hanya oleh siswa sebagai peserta didik, namun juga orangtua, guru, stakeholder dan seluruh elemen masyarakat yang masih memiliki kepedulian terhadap nasib masa depan pendidikan kaum remaja generasi penerus cita-cita peradaban bangsa ini.
Ketakutan-ketakutan tersebut bukanlah hal yang tak beralasan. Sejak pertama sekali diterapkan pada periode 1950-an sampai sekarang dan sudah beberapa kali berganti nama, mulai dari Ujian Penghabisan, Ujian Negara, Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), Ujian Akhir Nasional (UAN) hingga sekarang menjadi UN, beragam pro-kontra masih saja menyertainya. Fenomena ini kian rumit pula ketika dihadapkan pada kenyataan kompleksitas yang dimiliki remaja (adolescene) usia sekolah ini.
Putih Abu-abu
Masa SMA dikenal juga sebagai masa ‘putih abu-abu’. Istilah ini mulai dikenal setelah dipopulerkan oleh sebuah sinetron di salah satu stasiun televisi swasta dengan judul yang sama. Putih abu-abu yang dimaksud di sini merujuk pada warna seragam SMA, di mana bajunya berwarna putih dan celana/rok berwarna abu-abu.
Jika ditelaah secara lebih mendalam, pelabelan istilah yang bersumber dari warna seragam ini bukanlah hal yang kebetulan semata. Bila diperhatikan, warna putih pada baju seragam SMA ini berakar dari filosofi tabularasa-nya John Locke, yang menganggap bahwa seorang anak manusia itu masih ‘kosong’, dan pengetahuan diperoleh dari interaksinya dengan dunia luar dalam bentuk pengalaman dan persepsi. Dan hal ini sejalan dengan visi-misi pendidikan di sekolah usia menengah atas itu.
Sementara warna abu-abu pada celana/rok lebih identik dengan hal yang sifatnya samar-samar. Jika dikaitkan dengan status identitas remaja SMA, di sinilah letak kesamaan antara ketidakjelasan (kabur, samar-samar) dengan kelabilan identitas pada remaja usia SMA.
Lebih jauh lagi, Erik Erikson dalam teori tugas psikologi-nya (psychological task) mengkategorikan fase remaja (adolescene) ini, mulai usia 12 – 18/20 tahun dalam masa identitas diri vs kekacauan peran (ego-identity vs role confusion). Fase remaja ini juga disebut sebagai ‘moratorium psikososial’, karena mereka mengisi ‘kekosongan’ fase, antara telah melewati fase anak-anak dan mulai beranjak menuju fase dewasa awal.
Dalam pandangan Erikson, fase remaja ini masih dalam masa pencarian identitas, sehingga terjadi dua kemungkinan; antara mendapatkan identitas idealnya sebagai fondasi awal pembentukan karakter di masa yang akan datang dan terjadinya kekacauan identitas yang mengaburkan peran dan karakternya (krisis identitas).
Realitas ini setidaknya mengindikasikan satu hal; ada yang harus dibenahi terkait dengan pembekalan pendidikan dan ilmu pengetahuan kepada remaja selaku peserta didik, terutama terkait dengan proses evaluasi akhir berbasis nasional, yaitu UN.
Dilema UN
Ada banyak hal yang perlu dikritisi dan dikaji ulang terkait pelaksanaan UN ini. UN yang hadir di akhir masa sekolah dan di tengah realitas pencarian identitas para remaja, seharusnya juga memperhatikan sisi fisik, psikis dan juga latar belakang lingkungan peserta didik itu sendiri. Sebagaimana yang telah penulis uraikan di atas terkait hubungan antara eksistensi UN dan realitas diri remaja SMA, setidaknya ada dua hal yang perlu digarisbawahi dalam konteks ini.
Pertama, pelaksanaan UN saat ini masih mengabaikan kondisi mental para peserta didik. Penyeragaman konteks yang diejawantahkan dalam bentuk ujian secara nasional berpotensi besar mengaburkan identitas peserta didiknya. Peserta didik tidak diberikan ruang untuk mendefinisikan dirinya sendiri dalam proses pendidikan, kemana ia akan melangkah, apa perannya saat ini serta penanaman nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam dirinya sebagai cikal-bakal identitasnya di masa yang akan datang.
Jika hal ini terus berlangsung, besar kemungkinan anak didik tak bisa menempa identitas yang ideal sesuai dengan latar belakang lingkungannya. Sehingga ia akan merasa inferior atau minder dengan identitas lingkungannya, dan dipaksa untuk seragam dan menjadi superior dengan standar nasional.
Kedua, akibat penyeragaman ini, maka secara otomatis UN juga telah menafikan unsur kearifan lokal dan nilai-nilai kedaerahan yang merupakan identitas kolektif suatu daerah. Hegemoni nasional ini telah mengangkangi prinsip-prinsip lokalisme yang seyogyanya juga memberikan andil bagi peradaban bangsa di masa yang akan datang.
Nasionalisme yang hendak dicapai UN seperti ini sama sekali tidak memiliki kepedulian dan apresiasi terhadap perbedaan dan keberagaman di tengah kehidupan masyarakat. Karena walau bagaimana pun, penerapan standar UN yang sama antara sekolah yang berada di Jakarta dengan sekolah-sekolah yang ada di pedalaman masing-masing provinsi di negeri ini tak akan pernah mencapai target yang optimal.
Sebagaimana yang ditulis J. Sumardianta dalam opininya, “Fenomena Kodok Rebus Ujian Nasional”, UN berseberangan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP memberikan kewenangan kepada guru untuk mengkreasikan kurikulum agar selaras dengan konteks sosial, ekonomi dan lingkungan tempat sekolah berada. Spirit KTSP adalah multikultural, demokratis dan desentralisasi. Semangat UN sentralistik dan monokultural. (Tempo, 13/04/2012).
Menyikapi Keberagaman
‘Kegalauan’ kaum putih abu-abu ini haruslah dipahami secara utuh-menyeluruh, terutama sekali terkait kondisi internal dan eksternal para peserta didik. Dari kondisi internal, kelabilan identitas yang mereka alami tidaklah harus disikapi dengan memaksakan penyeragaman dengan standar yang bersifat tunggal.
Alangkah lebih baik jika standar UN dipertimbangkan lagi oleh para stakeholder pendidikan untuk dikembangkan sesuai dengan konteks masing-masing daerah sehingga lebih ‘membumi’, mengingat Indonesia sebagai negara yang aktivitas berkehidupan-
Menolak semangat nasionalisme-penyeragaman yang diusung UN ini bukan berarti tidak sepakat dengan prinsip nasionalisme, karena nasionalisme yang tidak memberikan apresiasi kepada perbedaan dan keberagaman juga pemikiran yang salah kaprah. Intinya, harus ada konsep keseimbangan antara nasionalisme dan lokalisme sehingga keduanya bisa berjalan beriringan dalam keharmonisan.
Semua hal di atas juga harus dibarengi dengan partisipasi aktif semua pihak untuk memberikan dukungan psikologis (psychological support) bagi remaja peserta didik dalam pelaksanaan UN sehingga membuat mereka merasa nyaman dan termotivasi untuk memberikan kontribusi terbaik dalam bidang pendidikan. Akhiru kalam, semoga pelaksanaan UN tahun ini mampu mencapai target yang diharapkan. Amien![*]
*Penulis adalah mahasiswa Prodi Psikologi Unsyiah, alumni SMA Harapan Persada, Aceh Barat Daya.
Sekolah adalah sumber penyakit.