[quote]Oleh: Banu Prasetyo[/quote]
[dropcap]P[/dropcap]engaruh agama, terutama sosiologis, dalam kehidupan manusia sangatlah besar. Tak jarang interaksi sosiologis antarumat beragama berujung pada friksi. Hal itu terjadi karena persoalan sekitar eksistensi kebenaran yang dangkal. Fenomena itulah yang terjadi ketika film ”Innocence of Muslims” menuai kecaman.
Bukan kali pertama penghujatan agama dalam bentuk visual terjadi. Dulu ada kartun yang dinilai menghina umat Islam, ada pula film ”Da Vinci Code” yang dianggap melecehkan umat Kristiani, menambah daftar panjang kontroversi seputar agama. Semenjak kemunculan agama samawi (Islam, Kristen, dan Katolik) kontroversi antaragama justru sering terjadi. Penyebabnya jelas, persoalan wahyu karena tiap agama mengklaim ketuhanan dan kebenaran adalah paling benar.
Klaim kebenaran itu bersifat absolut, tidak dapat dipertanyakan apalagi digunjingkan karena inilah fondasi dasar dalam agama samawi. Bila persoalan wahyu diangkat ke publik hasilnya sudah dapat ditebak: friksi. Wahyu melibatkan masalah seputar eksistensi tiap komponen agama, baik Tuhan, pembawa firman, maupun firman itu sendiri. Inilah persoalannya, tiap agama sering terjebak dalam persoalan siapa yang lebih unggul eksistensi wahyunya ketika dihadapkan pada agama lain.
Ketika itu terjadi maka bermunculan olok-olok antaragama; penghinaan agama, dengan media apa pun, termasuk visual; dari yang tersurat hingga tersirat. Semua itu dilakukan hanya untuk mendapat pengakuan bahwa eksistensi agamanya lebih bermartabat dari agama yang lain.
Tak perlu menyebut contoh karena sudah ratusan atau bahkan ribuan peristiwa semacam itu. Rangkaian persoalan ini menunjukkan ada disorientasi pemeluk agama. Hukum kasih dalam Kristiani atau konsep hablum minallah dan hablum minannas dalam Islam seolah-olah dilupakan. Agama menjadi sekat-sekat pemisah. Yang tidak seiman dianggap lagi bukan sesamanya. Klaim kafir pun enteng meluncur dari setiap mulut yang merasa dirinya paling benar.
[pullquote_left]”Tiap agama terjebak dalam persoalan siapa lebih unggul eksistensi wahyunya ketika dihadapkan pada agama lain”[/pullquote_left]
Manifestasi liberalisme adalah sekularisme. Sekularisme berpendirian memisahkan agama dan pemerintahan. Tujuannya pun toleransi antarumat beragama. Logikanya, ketiadaan campur tangan pemerintah diharapkan tidak menimbulkan keterpihakan pada salah satu agama. Namun toleransi tidak hadir semudah diharapkan.
Sekularisme melupakan hukum alam, hukum tentang mayoritas dan minoritas. Ketika ada mayoritas, minoritas pun terdesak. Akibatnya bukan toleransi namun intoleransi. Konflik akibat film ”Innocence of Muslims”, contohnya. Kebebasan berekspresi tidak dibarengi dengan sikap pemahaman antarindividu.
Padahal, spirit sekularisme yang diadopsi dari eksistensialisme mengajarkan bahwa batas kebebasan individu adalah individu lain. Artinya, tiap individu bebas berbuat asal tidak merugikan individu lain.
Fenomena ini menunjukkan kegagalan sistem sekularisme Barat. Pendekatan dengan mengedepankan kebebasan gagal karena ketiadaan otoritas. Kehidupan beragama berjalan tanpa rel sehingga gesekan antarumat beragama tak dapat dihindari. Karena itu, dibutuhkan konsep yang mengatasi perbedaaan agama. Konsep ini bukan untuk menyatukan agama atau menghakimi kebenaran satu agama dengan yang lain.
Kesamaan Substansi
Yang pertama mesti dipahami bahwa semua agama memiliki identitas khas, baik dari tata cara beribadah, bahasa, hingga sisi dogmatis. Akibatnya, agama secara empiris saling menentang, terkesan tidak memberi ruang dialogis.
Jika persoalan bentuk itu terus-menerus diangkat maka toleransi menjadi tidak mungkin. Dalam hal ini, perennial memberikan pemahaman baru. Agama meski dipahami dalam dua bentuk: substansi (esoteris) dan bentuk (eksoteris).[]
Belum ada komentar