Kecap Lokal Rambahi Pasar Regional

Kecap Cap Siwah Produksi Bireuen (Foto Joniful Bahri)
Kecap Cap Siwah Produksi Bireuen (Foto Joniful Bahri)

Sempat jatuh-bangun, industri kecap lokal ini mampu bersaing dengan kecap buatan produsen nasional. 

Ruslan Kasem (50) mengakhiri masa kerja 16 tahun sebagai tenaga pemasaran di PT Kertas Kraft Aceh (KKA), untuk membuka usaha sendiri.

Dengan modal Rp100 juta, ia merintis bisnis rumah tangga memproduksi saos dan kecap asin. Dia bangun pabrik di halaman rumahnya, di Dusun Mutiara, Bireuen Meunasah Dayah, Kota Juang, Kabupaten Bireuen.

Seiring waktu, produksi saos terpaksa dihentikan pada tahun 2004. Penyebabnya, pasokan bahan baku tidak stabil, modal produksi yang tinggi, dan pemasukannya tak sesuai dengan hasil penjualan di pasaran.   

“Saat ini  saya putuskan untuk memproduksi kecap asin dan kecap manis saja,” kata Ruslan Kasem, kepada Pikiran Merdeka, Kamis (14/06/16).     

Perlahan namun pasti, kecap produksi putra Bireuen itu merambah ke berbagai pasar di seluruh Aceh, tak kecuali ke sejumlah supermarket.

Selain di Kabupaten Bireuen sendiri, Kecap Cap Siwah juga dipasarkan ke Pidie Jaya, Sigli, Banda Aceh, Sabang, Meulaboh, Aceh Selatan. Begitu juga ke Takengon, Gayo Lues, Lhokseumawe hingga ke Panton Labu.  

Ruslan saat ini dibantu 17 karyawannya yang direkrut dari masyarakat sekitar tempat tinggalnya, kecuali bidang pemasaran yang ditanganinya sendiri. Mereka sama-sama memproduksi kecap di pabrik industri rumah tangga Kecap Cap Siwah, yang terdiri atas satu ruang seluas 10×40 m untuk memasak dan packaging dan satu lagi ruang seluas 10×17 m untuk penjemuran dan penyimpanan. Seakan-akan pabrik industri berskala besar.

“Untuk saat ini  permintaan kecap manis  di pasaran meningkat secara senifikan, untuk satu hari kami memproduksi 200 hingga 3000 lusin atau sekitar 300 kilo gram perhari,” jelas Ruslan. 

Omsetnya kini berkisar Rp30 juta setiap bulan. Selain dipasarkan sendiri, produknya juga diambil oleh para agen untuk dipasarkan ke sejumlah daerah seperti Bener Meriah dan Takengon, Gayo Lues, dan Meulaboh.

Namun bukan tanpa persaingan. Munculnya merek-merek kecap nasional membuat ia harus berinovasi. Salah satunya, Kecap Siwah terus mengikuti perkembangan masyarakat. Misalnya, menjual kecap secara kiloan untuk pengelola rumah makan dan masyarakat yang akan gelar suatu acara pesta.

“Peningkatan permintaan sangat besar saat menjelang puasa Ramadan serta lebaran di samping permintaan khusus oleh masyarakat yang ingin melakukan hajatan di rumahnya,” kata Ruslan. 

SERIUS MENJAGA KUALITAS

Kecap Siwah Bireuen kental dengan rasa kedelainya dan itu menjadi ciri khas. Sebab itu, Ruslan Kasem tidak main-main soal rasa. Kecapnya berbahan baku kedelai asli dan gula merah atau gula aren yang berkualitas tinggi.

Sementara untuk produksi kecap asin, Ruslan dengan bangga menampung garam lokal yakni garam dari Tanoh Anoe, Jangka, Bireuen, sebanyak setengah ton per hari, sehingga pengusaha kecil di pesisir Jangka itu bisa ikut berkembang.

Selain rasa, kualitas produk yang ditawarkannya juga benar-benar dijaga, di samping memanfaatkan bahan produk lokal seperti gula merah dari Takengon, sementara untuk kedelai dipesan khusus dari Medan. 

Seiring berjalan usahanya, Ruslan telah mendaftarkan produknya ke Departemen Kesehatan, mendapatkan sertifikat halal, dan mendaftarkan hak cipta dan merek dagangnya ke Kemenkumham RI.

Menurutnya, meskipun UKM, perusahaannya harus mengikuti apa yang menjadi perhatian masyarakat, seperti perlindungan hukum terhadap produk dan packaging (kemasan) produk.

Ruslan menceritakan, proses produksi diawali dengan penjemuran bahan baku kedelai, disusul proses rebusan awal, penjemuran kedua, rendaman dengan bahan baku lain, hingga memasuki tahap penggilingan dengan mesin untuk menghasilkan kecap dalam durasi waktu hingga 16 jam.

“Setelah proses itu, maka hasilnya kembali dilakukan uji coba untuk rasa, proses pengisian ke botol, pemasangan label dan packaging hingga ke proses akhir penyimpanan khusus untuk pemasaran,” katanya.       

Sementara itu,  Ruslan mengatakan, seluruh limbah hasil produksi kecap di pabriknya ditampung, terutama ampas kedelai, untuk diolah menjadi pakan ternak oleh pengusaha dan petani ternak.

Disinggung bantuan pemerintah daerah, Ruslan Kasem mengaku, sejauh ini segi bantuan selaku pengusaha UKM belum sempurna, kecuali bantuan dari provinsi pascatsunami berupa satu unit mesin dan kuali masak.    

Diakuinya, kehadiran produk UKM seperti Kecap Cap Siwah, bisa menjadi ikon daerah, sehingga daerah Bireuen ikut terkenal dengan semakin bertambahnya berbagai industri  rumah tangga.

Dia juga merasa bangga ketika setiap tahunnya, banyak mahasiswa dari luar Aceh melakukan praktek dan penilitian di pabrik industrinya, seperti siswa SMK Bireuen, mahasiswa Unsyiah, Unimal, USU Medan, bahkan dari Solo.

Beranjak dari keberhasilan yang dicapai saat ini, usaha Ruslan Kasem patut mendapat perhatian serius pemerintah daerah, sehingga perjalanan industri kecap penyedap makanan khas dari Bireuen menjadi terkemuka di Aceh. []

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Siswa SD Bersaing di Lomba Bercerita
Siswa SD saat tampil pada lomba bercerita anak di Aula Lama Sekdakab Bireuen. [Pikiran Merdeka | Joniful Bahri]

Siswa SD Bersaing di Lomba Bercerita