Rencana Pemerintah Aceh berubah seratus delapan puluh derajat. Kebijakan Irwandi memperlambat pergantian pejabat eselon II dan mempertahankan kepala SKPA di luar prediksi berbagai pihak.
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf memutuskan akan mengganti kepala SKPA secara bertahap. Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani menilai kondisi ini berbeda dan kurang sesuai dengan proses seleksi SKPA yang telah dilakukan.
“Saya melihat, jika itu diganti terburu-buru, misalnya ada orang daerah yang tiba-tiba diberi kewenangan untuk mengatur anggaran yang besar, ini memang akan sangat riskan. Kemungkinan saya berasumsi seperti ini, gubernur melakukan mekanisme tersendiri saat ini,” ujar Askhalani kepada Pikiran Merdeka, Sabtu, 7 April pekan lalu.
Terkait: Tarik-Ulur Kabinet Irwandi
Diakui Askhalani, betul memang orang yang terpilih kali ini adalah yang sudah masuk namanya dalam tiga besar, tapi gubernur tidak melantiknya secara serentak sekaligus. “Kalau dilihat dari alasan yang Irwandi sampaikan tampak bahwa ia tak ingin mengganggu proses tender yang sedang berjalan. Saya rasa tak ada salahnya pemikiran tersebut,” katanya.
Menurut Askhalani, hal itu bisa saja orang yang diberikan amanah sebagai kepala SKPA baru adalah orang dari daerah yang sebelumnya tidak pernah memegang kuasa pada jumlah anggaran yang besar di tingkat provinsi. “Atau juga ada dari mereka yang terpilih merupakan orang-orang yang sebelumnya belum pernah menduduki jabatan strategis setingkat kepala SKPA, yang sebelumnya masih berada di golongan rendah dan tiba-tiba menduduki jabatan tinggi,” bebernya.
Dia menuturkan, pergantian pejabat memang perlu kehati-hatian. Karena posisi pimpinan seperti itu tugasnya tidak hanya mengubah orang, tapi ia perlu mengubah sistem yang ada di dalamnya.
Terlebih, korupsi yang terjadi di lingkungan SKPA selama ini bukan hanya oleh personal orang, tapi juga mengikat pada sistem lama yang dijalankan sebelumnya. “Jadi bahaya juga kalau misalnya tiba-tiba diberi mandat kepada pejabat yang belum berpengalaman,” katanya.
Disebut Askhal, hal ini berbeda jika APBA tidak dilakukan melalui Pergub. “Apabila melalui APBA yang diqanunkan mungkin akan linear, misalnya disahkan di bulan Maret jadi ada waktu mereka yang terpilih itu dalam satu bulan untuk mempelajari proses implementasi anggaran ini. Tapi ini kan tidak demikian,” kata dia lagii.
Selain itu, sebut Askhal, jika tiba-tiba diganti orang baru maka akan terjadi ketidakharmonisan di internal masing-masing SKPA. “Ini akan memicu orang-orang yang selama ini jadi perantara untuk kepentingan tertentu, untuk melakukan manuver menjatuhkan orang-orang yang baru masuk,” katanya.
“Jadi, mau tidak mau sepertinya memang harus dilakukan secara bertahap,” tambahnya.
Soal mekanisme yang tidak serentak tapi melihat momentum, menurut Askhalani, ini sudah menjadi analisa tersendiri oleh Pemerintah Aceh untuk menjaga agar ritme di roda pemerintahan tidak bermasalah. “Saya pikir, Irwandi telah melakukan analisis secara bertahap terkait situasi internal di Pemerintah Aceh,” katanya.
Penundaan ini, menurut Askhal sebagai upaya Irwandi untuk menjaga suasana di internal Pemerintah Aceh tetap terkendali. Sebab, isu yang merebak akan ada pergantian kepala SKPA dalam waktu dekat di saat ada tender proyek yang begitu banyak.
“Kalau itu digantinya sekaligus, para pejabat yang ada ini mungkin jadinya malas bekerja. Ya, mau tidak mau gubernur harus melakukan semacam komunikasi yang menurut saya terkesan ada semacam skenario. Makanya menyatakan tidak akan mengganti serta merta, tapi melihat kinerja dan mengevaluasinya terlebih dahulu. Seandainya ia bilang ini akan diganti dalam waktu dekat, orang yang tengah menjabat sekarang ini pasti berpikir untuk apa bekerja maksimal karena kita pasti diganti,” ungkapnya.
Skenario tersebut, menurut dia dilakukan Irwandi dengan sejumlah pertimbangan. Tentunya, keputusan itu menunjukkan skenario pemerintah Aceh ini berubah 180 derajat. “Salah satunya soal skema melakukan fit job serta fit and proper test, tapi tiba-tiba anggarannya diputuskan dengan Pergub. Ada limit waktu yang panjang yang kemudian terbuang begitu saja,” katanya.
“Hal lainnya, meski kita belum mendapat informasi update mengenai apakah kemudian hasil dari kerja tim pansel itu sesuai dengan fakta, atau ada sesuatu yang terjadi, itu kita tidak tahu,” katanya.
Sejauh ini memang tidak terdengar ada pihak yang merasa dirugikan dan mempertanyakan hasil tersebut. “Jadi, menurut saya skenario-skenario ini memang berubah total dari yang telah direncanakan. Jadi abnormal, salah satunya kebijakan anggaran melalui Pergub. Yang mau tidak mau harus melibatkan para pihak yang lama. Kalau sejak awal diganti, mungkin ada problem baru juga nanti bagi pemerintah,” tutur Askhal.
Jika memang skenarionya Pemerintah menggantikan SKPA secara bertahap, dia harap prosesnya jangan mengulur waktu lagi. Ia mendorong, apabila dilakukan bertahap maka dari sekarang diganti di posisi yang strategis saja.
Ia mencontohkan, seperti kepala ULP bila dianggap tidak cakap bekerja dan ada indikasi lainnya, maka diganti dengan yang baru. “Hal ini salah satu cara untuk mendorong supaya mekanisme tender bisa berjalan lancar sesuai keinginan gubernur,” katanya.
GeRAK juga mengharapkan Pemerintah Aceh bersedia masuk dalam intervensi kordinasi dan supervisi KPK. Nantinya pejabat yang dilantik itu perlu didorong untuk menyepakati pakta integritas yang mendapat asistensi langsung dari KPK.
Pakta ini dilai penting, karena diakui Askhal bisa membantu mengukur kinerja, apakah dalam kurun waktu beberapa bulan ia bagus atau tidak? “Kalau tidak bagus, ia bisa direkomendasikan untuk diresufle. Karena memang dalam UU ASN terbaru, orang yang dilantik sekarang tidak bisa diganti dalam kurun waktu dua tahun berikutnya. Jadi dengan adanya pakta integritas, ada indikator-indikator yang bisa jadi amatan publik untuk mengukur kinerja SKPA itu, ini penting sekali,” tandasnya.
REKAM JEJAK
Jauh sebelum rencana psikotes para calon kepala SKPA bergulir, di awal Maret lalu, GeRAK Aceh telah merilis rekam jejak para calon pejabat ini. Hasil penelurusan ini kemudian diketahui menjadi data pembanding terhadap hasil seleksi tim pansel JPT Pratama sebelumnya.
Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani saat ditemui Pikiran Merdeka, Sabtu (24/3) menyampaikan, Pemerintah Aceh telah memperlihatkan itikad baiknya dengan mengakomodir masukan dari unsur masyarakat sipil mengenai calon pejabat SKPA ini.
“Kabar yang kami terima, Pemerintah Aceh memakai hasil output ini sebagai alternatif untuk melihat tiga besar nama calon SKPA. Adanya psikotes, ini menujukkan bahwa Pemerintah Aceh tidak mengabaikan penilaian GeRAK sebagai bagian dari unsur sipil, selain juga menunjukkan bahwa ada indikator-indikator lain yang tak boleh dilewatkan pemerintah,” kata Askhalani.
Menurutnya, jika pemerintah hanya mengambil keputusan bermodal asumsi dari data tim pansel sendiri, kemungkinan besar hasilnya akan timpang. Karena ia yakin, proses fit and proper test hanya manakar sisi kompetensi jabatan dari sudut pandang orang-orang yang dipilih pemerintah sendiri. Karena itu GeRAK merasa perlu menyajikan asumsi yang berasal dari masyarakat.
“Sementara rekam jejak saya yakin belum ada (di tim pansel), dan itu hanya bisa dilakukan oleh kelompok independen yang bukan berasal dari panitia seleksi. Karena rekam jejak ini adalah bagian dari proses yang menurut kami bisa melihat secara utuh dan general terkait orang-orang yang akan ditempatkan,” jelasnya.
Berdasarkan hasil penelurusan rekam jejak, GeRAK telah mengklasifikasikan nama-nama tiga besar calon pejabat tersebut dalam tiga kategori warna, yaitu merah, kuning, hijau dan putih. Klasifikasi ini didasari pada lima indikator.
Pertama, tim dari GeRAK menilai rekam jejak berdasarkan pemberitaan mengenai sosok para calon di media massa. Kedua, penilaian diambil dari hasil wawancara terhadap orang-orang yang dekat dengan individu tersebut, termasuk para bawahan dari lembaga yang pernah dipimpinnya.
“Ke tiga, indikator yang kita lihat adalah sisi penanganan perkara yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian, yang kita telusuri dari Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidika (SPDP), dari sini kita dapatkan beberapa orang yang terkait dengan hal ini,” jelas Askhalani.
Indikator berikutnya adalah nilai sosial. GeRAK menelusuri rekam jejak para calon terkait kehidupan sosial masyarakatnya. “Bagaimana dia hidup di lingkungannya, bahkan dalam satu kasus yang kita temukan, ada yang diketahui pernah melakukan penyerobotan terhadap tanah masyarakat, ini penting untuk dicatat,” paparnya.
Indikator terakhir, yakni pengaruh si calon dan interaksinya di ruang publik. “Bagaimana dia bersikap di facebook, twitter, relasinya dengan siapa, tahu dia sering duduk dengan siapa itu bisa menjadi daya tracking,” tandasnya.
KATEGORI MERAH
Bermodal indikator tadi, tim dari GeRAK menyusuri rekam jejak mereka yang namanya masuk dalam tiga besar calon pejabat eselon II itu. Untuk kategori warna merah, ini diklasifikasikan bagi mereka yang pernah tersandung kasus korupsi. Selain itu, pejabat tersebut juga berpotensi mempergunakan jabatannya untuk memperkaya orang lain. Hal lain, seperti rendahnya daya leadership (kepemimpinan) dan kuatnya sisi temperamental, turut mencantumkan sosok calon pejabat tersebut dalam kategori merah.
Sementara itu, kategori kuning adalah bagi mereka yang dalam rekam jejaknya diketahui tidak mampu memimpin instansinya. “Lead management, bagaimana dia ketika memimpin sebuah instansi tapi tak punya leadership, dikontrol oleh orang-orang dari luar, menggunakan jabatan yang ia miliki, tapi dipakai untuk memberi proyek pada orang-orang tertentu. Banyak yang kita dapatkan yang seperti ini. Selain itu, kunging adalah mereka yang tak punya inovasi,” papar Askhalani.
Dikatakannya, warna kuning menjadi kategori yang perlu diwanti-wanti oleh pemerintah, karena rentan untuk masuk dalam kategori merah. “Contohnya, bagaimana pejabat tersebut gagal mengembangkan inovasi terkait penggunaan dana desa. Selain itu juga lambannya arahan kerja pada Badan Penanggulangan Bencana, misalnya, ini masuk dalam indikator kita,” kata dia.
Sementara kategori hijau diberikan kepada orang-orang terbaik yang menurut GeRAK telah layak memimpin SKPA. “Pertama, dia paham aturan, leadershipnya bagus, kemampuan manajerialnya baik, dan progresif. Beberapa orang yang lolos dalam kategori ini sebagian anak muda yang masih memiliki nilai integritas yang baik,” kata Askhalani.
Menurutnya, orang seperti ini harus diperhatikan komponen sipil, karena tidak tergolong dalam tipe pelobi. “Mereka ini tidak ada relasi politik, bukan juga bagian dari parpol, sehingga masuk aktegori hijau,” ujarnya lagi.
Dari penelusurannya, GeRAK mendapati ada 19 orang dari seluruh calon kepala SKPA itu yang masuk dalam kategori merah. Sedangkan yang masuk dalam kategori kuning ada sekitar 20 orang. “Pemerintah harus memperhatikan ini, jika tidak ingin kabinetnya bermasalah ke depan,” imbuh Askhalani.
Sementara itu, ada 33 orang yang masuk dalam kategori hijau. GeRAK berharap gubernur ‘menyelamatkan’ orang-orang ini. “Mereka tidak banyak. Kemapuan leadershipnya di atas rata-rata, mampu secara manajerial, muda, dan punya koneksi internal dan eksternal yang baik, karena beberapa memang pernah kuliah di luar negeri,” pungkas Askhalani.
Sisanya, GeRAK masih melakukan verifikasi. Askhalani mengatakan pihaknya tengah merampungkan hasil rekam jejak itu dalam dua hari ke depan. “Sementara masih ada waktu sebelum tes psikologi dimulai, kita berharap mereka yang masuk kategori hijau ini bisa sampai 50-an orang,” tandasnya.[]
Belum ada komentar