PM, Sagaing – Khine Thu meninggalkan rumahnya di wilayah Sagaing barat laut Myanmar untuk pertama kalinya pada bulan Juni, berlari ke hutan saat tentara menyerbu desanya. Dia tidak ingat berapa kali telah melarikan diri sejak itu, tetapi dia menduga sekitar 15 kali kejadian tersebut berlangsung.
“Setiap kali kami mendengar tentara datang, kami lari,” katanya. “Kami melarikan diri ke hutan, dan kami kembali ke desa ketika para prajurit pergi.” Kata Khine Thu seperti dilansir Al Jazeera, Senin, 27 September 2021.
Pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan kudeta telah membuat militer meningkatkan tindakan keras di seluruh desa. Militer juga menerapkan strategi “four-cuts” yang telah diberlakukan selama 60 tahun lebih di perbatasan negara konflik tersebut.
Sejak April, wilayah Sagaing telah menjadi benteng perlawanan, dan juga merupakan titik serangan militer yang mematikan.
Pemerintah Myanmar’s National Unity Government (NUG) melaporkan kepada Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB pada 19 September 2021, sebanyak 109 orang telah tewas di wilayah tersebut. Sebanyak 73 korban diantaranya berasal dari kota Depayin dan Kani. Pembunuhan massal tersebut berhasil didokumentasikan oleh kelompok HAM dan media lokal pada Juli lalu.
Mereka yang tewas termasuk pejuang dan warga sipil. Semua korban adalah laki-laki, tetapi karena militer negara kerap hadir ke lokasi tersebut, membuat kaum perempuan menerima konsekuensi konflik tiap harinya.
Militer turut memblokir internet di 10 kotapraja di wilayah Sagaing dan Kani, serta melancarkan serangan secara intensif.
Kematian dua putri pejabat militer di desa dekat Satpyarkyin Khine menjadi pemicu konflik bersenjata di desa tersebut.
Dari laporan NUG disebutkan, tentara telah melepaskan tembakan tak terarah pada 2 Juli lalu. Tembakan tersebut mengakibatkan 32 orang penduduk setempat tewas. Akan tetapi, media Myanmar Now juga melaporkan bahwa 10 ribu warga dari 11 desa meninggalkan rumah mereka.
The People’s Defence Force atau Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) di Depayin dalam akun Facebook resminya menyebutkan sebanyak 26 anggota mereka tewas dalam serangan itu. Militer juga dilaporkan turut menembak penduduk desa yang melarikan diri dengan senjata berat.
Sementara media massa pro pemerintah, Global New Light of Myanmar, justru menyebutkan teroris bersenjata yang menyergap pasukan keamanan di daerah tersebut. Serangan itu mengakibatkan satu tentara tewas dan enam lainnya luka-luka.
Khine Thu seperti halnya wanita lain ketika berbicara kepada Al Jazeera, meminta agar namanya disamarkan. Dia khawatir dengan tindakan yang akan dilakukan militer terhadapnya. Apalagi militer kerap kali keluar masuk perkampungan sekitar yang membuat penduduk kabur. Kondisi pasar dan toko-toko pun tutup pasca kejadian tersebut.
Warga desa lebih memilih untuk bersembunyi di hutan hinga sampai beberapa pekan. Para pengungsi menjadi kesulitan memenuhi kebutuhan dasar. “Kami tidak bisa mendapatkan air minum di beberapa tempat,” jelasnya.
“Beberapa hari, kami hanya makan sekali dan terkadang hanya nasi dengan garam dan minyak atau pasta ikan. Saya merasa sangat tertekan, dan terkadang saya bahkan tidak ingin hidup lagi.”
Sementara Aye Chan, penduduk lokal lainnya mengaku mereka tidak memiliki akses obat-obatan dan sangat bergantung pada tanaman herbal untuk mengatasi penyakit selama mengungsi. Dia dan Khine Thu juga telah berhenti bekerja sebagai buruh tani upahan karena kondisi tidak aman.
“Kita tidak bisa hidup damai. Kami tidak bisa bekerja. Kami hanya bergantung pada sumbangan orang lain dan berlarian mencari keselamatan setiap kali (tentara) datang,” kata Aye Chan. “Kehadiran tentara di desa kami mempengaruhi kami secara fisik dan mental. Kami tidak bisa makan atau tidur nyenyak.”[]
Belum ada komentar