Kasus Pelecehan di BRA, SP Aceh Soroti Perlindungan Perempuan di Instansi Pemerintahan

blurry woman hand frosted glass metaphor panic negative dark emotional 34645 4841f0dcbdcd2feaab9 md
Ilustrasi

PM, Banda Aceh – Kasus dugaan pelecehan seksual di lembaga Badan Reintegrasi Aceh (BRA) terus menuai kecaman.

Mengutuk keras kasus pelecehan yang terjadi di BRA, Organisasi Solidaritas Perempuan (SP) Bungong Jeumpa Aceh mengkritik cara pandang birokrasi di Aceh yang masih bias terkait masalah ini.

Dari sikap pimpinan BRA yang memberhentikan terduga pelaku dan juga korban karena dalih mempermalukan instansi, menurutnya jelas keliru dan justru memperlihatkan kegagalan seorang pimpinan.

Lebih jauh, SP menyoroti cara pandang patriarki telah berdampak pada relasi kerja antara pimpinan dan bawahan di satu instansi, dan semakin rentan jika bawahan tersebut merupakan perempuan. Dengan adanya stigma bahwa perempuan sosok yang lemah dan tidak mampu memimpin, maka ia akan terus dipandang sebagai objek, mudah diperdaya dan pada akhirnya menjadi korban kekerasan.

“Jika internal pemerintahan masih terjebak pada cara pandang semacam ini, maka kekerasan akan marak, dan terbukti dalam kasus di BRA, seorang staf ternyata sangat rentan dilecehkan oleh atasannya,” kata Ketua SP Aceh, Elvida, Selasa (12/1/2021) kepada Pikiran Merdeka.

Elvi mengajak publik agar melihat peristiwa ini tak sebatas kasuistik, namun juga sebagai persoalan struktural. Selain harus diusut secara hukum, birokrasi pemerintahan menurutnya wajib berbenah.

“Pemerintahan perlu berhati-hati, karena kasus-kasus seperti ini tidak hanya terjadi di tengah masyarakat, namun sudah merambah di internal mereka,” ujar Elvi.

Jangan Nir Empati

Elvida juga menegaskan, proses pemberhentian terhadap korban menunjukkan lembaga BRA nir-empati. Hal ini ironis mengingat sebagai lembaga yang berperan penting dalam proses perdamaian Aceh dan berpihak pada korban, namun BRA justru ‘tumpul’ ketika menangani persoalan kekerasan terhadap perempuan di internal lembaganya.

Ia juga menekankan bahwa perempuan adalah korban yang tidak dapat diperlakukan sama seperti pelaku. Korban seharusnya dilindungi dan difasilitasi oleh lembaga untuk memperoleh keadilan.

Kasus pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja, lanjut Elvi, salah satunya juga karena relasi kuasa yang timpang antara atasan dan bawahan. Tubuh perempuan dianggap tidak berharga sehingga dapat dipermainkan.

“Tindakan korban untuk melaporkan pelaku sudah tepat karena perempuan berdaulat atas tubuhnya, tidak seorangpun dapat mempermainkan tubuh perempuan,” ujarnya.

Karena itu, SP Aceh mengkritik keras penyelesaian kasus ini secara kekeluargaan. BRA seharusnya memberikan penguatan kepada korban untuk menyelesaikan kasus secara hukum, dan menjamin keadilan bagi korban.

“Kita mempertanyakan, apakah lembaga pemerintah selama ini punya mekanisme yang jelas soal pencegahan dan perlindungan perempuan dari kekerasan seksual?” Jika belum ada mekanisme yang dibangun, sudah saat ya pemerintah menyusun segera mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan yang bekerja di instansi pemerintahan.

Selain itu, SP Aceh meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh untuk lebih pro aktif merespon kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama yang terjadi di lembaga pemerintahan.

“Ini menjadi alarm untuk pemerintah, bahwa kasus pelecehan seksual bisa terjadi di lingkungan kerjanya, dan jika dibiarkan tanpa penindakan hukum, maka ini akan jadi preseden buruk ke depannya,” pungkas Elvi.

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait