Persolaan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT Putro Bumoe Aceh (PBA) makin berlarut-larut. Diskeswannak Aceh belum membayarkan ganti rugi HGU tersebut, sementara proses hukum terkesan mandeg di Polda Aceh.
Hampir lima bulan berlalu, proses hukum terkait keabsahan kepemilikan tanah di lokasi pembangunan Balai Inseminasi Buatan (BIB) di Desa Ie Suum, Aceh Besar, masih menggantung. Dalam kasus ini, tentu berbagai pihak ikut dirugikan. Mulai pemilik HGU, pihak Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan (Dinkeswannak) hingga rekanan yang mengerjakan proyek tersebut.
Namun, yang paling dirugikan atas molornya penyelesaian kasus ini adalah masyarakat. Uang milik rakyat Aceh yang berseumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) digelontorkan belasan miliar dalam proyek ini. Mutlak, keberadaan proyek pengembangbiakan sapi tersebut sangat mendesak untuk segera difungsikan.
Kasus ini muncul ke permukaan setelah Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dit Reskrimum) Polda Aceh menyegel proyek pembangunan proyek BIB milik Dinkeswannak Aceh di Desa Ie Suem, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Penyegelan proyek ini dipimpin langsung Direktur Reserse Kriminal Umum Kombes Pol Nurfallah pada Rabu 10 Februari 2016.
Baca: Penyidik Masih Bekerja, Masyarakat Diminta Bersabar
Sebenarnya, di atas tanah yang kini masih menjadi polemik keabsahan kepemilikannya itu, Pemerintah Aceh sedang membangun proyek pembibitan sapi yang didanai APBA 2015 dengan pagu Rp19 miliar. Pembangunannya dikerjakan h PT Andesmont Sakti dengan nilai kontrak Rp18.286.590,000. Namun, pengerjaan proyek itu kini harus terhenti karena dibangun di atas lahan HGU PT Putra Bumoe Aceh yang belum dibayarkan ganti rugi.
Polisi menyegel lahan tersebut setelah Direktur PT Putra Bumoe Aceh, Surya Noernikmat melaporkan pihak Dinkeswannak Aceh ke Polda Aceh, 2 Desember 2015. Dalam laporan No.LP229/XII/2015/SPKT disebutkan, perusahan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) lahan itu belum menerima ganti rugi dari pihak Dinkeswannak meski di lokasi tersebut telah didirikan bangunan.
Setelah mengumpulkan barang bukti salama dua bulan, polisi menyegel lahan itu. Penyegelan itu didasari bukti-bukti yang sudah dikantongi penyidik, bahwa pihak dinas telah melakukan tindak pidana dengan melakukan penyerobotan lahan.
Hasil penyelidikan polisi, PT Putro Bumoe Aceh mengantongi dua sertifikat HGU atas lahan tersebut. Masing-masing setifikat Nomor 3 Tahun 2009 dengan luas tanah 178 hektar dan sertifikat Nomor 4 Tahun 2010 dengan luas lahan 188 hektar. Untuk ganti rugi HGU itu, pihak dinas sebelumnya sudah mengalokasikan anggaran senilai Rp7 miliar. Namun, proses pembayaran kepada PT PBA urung dilaksanakan.
“Penyegelan kita lakukan karena telah terjadi penyerobotan lahan oleh pihak Dinkeswannak. Sedangkan pihak penggugat yakni PT Putra Bumoe Aceh dapat membuktikan bahwa mereka memiliki sertifikat HGU atas tanah tersebut,” ujar Dir Reskrimum Kombes Pol Nurfallah kala itu.
Bahkan, dalam keterangan sebelumnya, Kombes Nufallah menyatakan akan ada dua orang akan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Namun, hingga akhir Juni, penyidik belum mengantongi calon tersangka.
Baca: Mempertanyakan Proses Hukum HGU PBA di Polda Aceh
Menurut Nurfallah, kala itu, pihaknya akan kembali melakukan gelar perkara lalu selanjutnya baru ditetapkan tersangka. Dalam mengusut kasus itu, polisi telah memeriksa 20 lebih saksi. Dari pihak pelapor, di antaranya memintai keterangan Direktur PT Putra Bumoe Aceh, Surya Noernikmat. Sementara dari pihak tergugat, antara lain penyidik sudah memeriksa Kadiskeswanak Aceh, M Yunus. Selain itu, penyidik juga telah meminta keterangan pihak Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Aceh dan Kepala BPN Aceh Besar.
Direktur Utama PT PBA Surya Noernikmat mempertanyakan proses hukum kasus ganti rugi HGU yang belum dibayarkan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan (Diskeswannak) Aceh ke pihaknya. “Kami sudah sekian lama melaporkan kasus ini ke Polda Aceh, namun dalam penanganannya belum ada titik terang hingga sekarang,” sebut Surya.
Padahal, kata dia, HGU itu diperoleh perusahaannya secara sah sehingga harus dibayarkan ganti rugi sesuai kesepatan oleh Diskeswannak Aceh selaku pihak yang kini menggunakan lahan tersebut. “Kalau tetap tidak dibayarkan, ini penyerobotan atas lahan HGU kami. Ini harus diproses tuntas oleh polisi, demi tegaknya supremasi hukum,” sebutnya.
Surya menegaskan, pihaknya sangat mendukung program Pemerintah Aceh dalam mengembangkan budidaya peternakan. Namun sangat disesalkan sikap oknum pejabat yang mengenyampingkan hak-hak masyarakat dalam mengeksekusi kebijakan pemerintah daerah.
Sementara itu, terkait legalitas formal HGU milik PT PBA, pihak BPN Aceh mengakui sudah sah dan tak ada kesalahan dalam prosedur penerbitannya. “HGU Putra Bumoe Aceh sudah sesuai prosedur,” tegas Kepala BPN Aceh Mursil SH saat ditemui Pikiran Merdeka, beberapa waktu lalu.
Sebelum HGU dikeluarkan, papar dia, sudah ada izin lokasi dari Bupati Aceh Besar dan izin peternakan dari Gubernur Aceh. Setelah itu, BPN juga mengukur tanah tersebut. Diceritakan Mursil, kala itu pihaknya telah mendapat informasi bahwa areal tersebut masuk dalam aset Dirjen Peternakan Kementrian Pertanian.
Karenanya, BPN Aceh menyurati Dirjen Peternakan untuk mengklarifikasi perihal tersebut. Namun, surat BPN tak dijawab pihak Dirjen. “Mereka baru menjawabnya setelah HGU itu kami keluarkan. Namun, hingga hari ini tak pernah ada bukti yang menyatakan lahan tersebut milik Dirjen Peternakan,” ujar Mursil yang ditemani Akhyar Tasfi, Kabid Pengukuran Tanah BPN Aceh.
Dengan demikian, BPN menganggap Dirjen Peternakan memang tidak memiliki bukti kepemilikan itu. “Ketika diminta buktinya, Dirjen Peternakan tak bisa memberikan. Mereka menyatakan hanya tertulis saja di aplikasi Simak BMN (Barang Milik Negara) Dirjen Peternakan,” sebut Mursil.
Karena itu, pihak BPN menekankan, pemerintah tetap harus membayarkan investasi yang dikeluarkan oleh perusahaan pemilik HGU. Hal itu adalah bentuk perlindungan negara yang diatur dalam undang-undang.
“Apabila pemerintah berkepentingan di atas tanah HGU yang dikuasai perusahaan, maka harus dilakukan ganti rugi atau tukar menukar. Sesuai amanah UU No.2/2012, bisa ganti rugi, tukar menukar tanah, tergantung kesepakatan awal,” sambung Akhyar, Kabid Pengukuran BPN Aceh.
Penyelesaian kasus ini sendiri sebenarnya sudah pernah diselesaikan secara musyawarah oleh Asisten 1 Pemerintah Aceh, Muzakar A Gani. Para pihak yang bersengketa duduk berembuk mencari solusi terbaik penyelesaian kasus tersebut. namun, sejak tim bekerja selama tiga bulan lamanya, belum ada kejelasan terkait penyelesaian kasus itu.
Tentu kita tak ingin kasus ini terhenti di meja penyidik. Hal ini dikarenakan pembibitan sapi tersebut sangat dibutuhkan oleh Dinkeswannak untuk bisa difungsikan segera. Pegiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat juga mengharapkan agar kasus ini tak menguap begitu saja. Masih kita tunggu keseriusan Dir Reskrimum Polda Aceh, Kombes Pol Nurfallah untuk segera menuntaskan kasus tersebut.[]
Belum ada komentar