Telah diterbitkan cetak Edisi II (86) Pikiran Merdeka 18-23 Agustus 2015.
Walaupun kanot bu merupakan dua kata dalam bahasa Aceh yang secara harfiah berarti periuk nasi, namun Komunitas Kanot Bu tidak ada hubungannya dengan acara masak memasak.
Komunitas Kanot Bu merupakan sebuah organisasi yang beranggotakan anak muda kreatif, sudah terkenal di Banda Aceh dan sekitarnya. Komunitas ini telah menerbitkan banyak karya.
Dalam bidang tulisan, tujuh judul buku sastra telah dilahirkan. Empat judul film dokumentasi pun sudah dihasilkan. Dan masih banyak lagi karya lainnya dari Komunitas Kanot Bu.
Dalam sebuah wawancara di Banda Aceh pada 15 Agustus 2015, Ketua Komunitas Kanot Bu, Idrus bin Harun, mengatakan, dari sekian karya Komunitas Kanot Bu, hanya kaos Geulanceng yang dipasarkan secara komersial. Itupun setelah menekan harga se-ci’ep (serendah) mungkin.
Kaos Geulanceng merupakan karya Komunitas Kanot Bu yang paling terkenal dan terbanyak jumlahnya. Kaos yang bertuliskan kalimat menggelitik dari bahasa Aceh ini dihasilkan secara rutin dalam setiap sebulan atau dua bulan sekali.
Idrus mengatakan, peminat karya Komunitas Kanot Bu datang dari berbagai tempat. Tidak saja dari dalam, ada juga dari luar Aceh. Bahkan ada yang dari luar negeri.
“Itu merupakan hal biasa. Kami mempromosikan karya melalui media sosial sehingga terjangkau ke wilayah negara manapun yang menggunakan internet. Saya tidak bisa memastikan peminat karya Komunitas Kanot Bu datang dari mana saja. Belum pernah dibuat survei untuk itu,” kata Idrus.
Ia menjelaskan, Komunitas Kanot Bu berfokus pada menghasilkan karya. Dengan menghasilkan karya secara terus menerus, Idrus menyakini peminat akan muncul sendiri tanpa diundang.
Walaupun anggotanya datang dan pergi silih berganti, ada sekira sepuluh orang selalu berkerasi di Komunitas Kanot Bu. Mereka saling berbagi untuk berkarya. Kemudian mengumpulkan uang secara patungan untuk mengenalkan karya itu kepada masyarakat.
Saat ini, selain Idrus bin Harun, di dalam Komunitas Kanot Bu ada Reza Mustafa, Fuady Keulayu, Deddy Firtana Iman, Fajri Ben Ishak, Zamroe, Fajri Castro, Cut Dini Desita, Meyna, Edi M Mustafa, dan Fira.
“Baru-baru ini hadir pula Muhadzir Maop, Mansyah, dan T Fajriman di dalam kegiatan Komunitas Kanot Bu. Zulham Yusuf pun merupakan seorang yang berperan di Komunitas Kanot Bu akhir-akhir ini,” kata Idrus yang dilahirkan di Meureudu pada 11 Oktober 1981 ini.
Sejarah Lahirnya Komunitas Kanot Bu
Idrus mengatakan, lahirnya Komunitas Kanot Bu berawal dari selembar spanduk yang dibuat oleh dirinya dan kawan-kawan.
Pada pertengahan 2008, ada peristiwa unik di Aceh. Perang yang baru saja berakhir membuka kesempatan bagi siapa saja untuk masuk ke dunia politik. Orang-orang pun berebutan mencalonkan diri menjadi anggota legislatif seraya membanggakan partai masing-masing.
Sebagian partai itu bahkan baru lahir. Orang-orang itu berkampanye dengan menempelkan gambar wajah di berbagai baliho, spanduk, dan bentuk iklan lainnya.
Idrus dan kawan-kawan yang merupakan sekumpulan anak muda kreatif dan peka pun tergerak hatinya untuk menyikapi keadaan saat itu. Lalu mereka membuat sebuah spanduk.
“Meunyoe Jabatan Ka Di Bloe, ‘Oh Hajat Sampoe Di Tarek Laba” Partai Kanot Bu. Begitulah tertulis di spanduk bersejarah tersebut.
Itu sebuah sindiran untuk calon legislatif dari partai politik yang dinilai mencalonkan dirinya sebagai anggota legislatif dengan tujuan mencari pekerjaan, mengisi periuk nasi.
Spanduk tersebut dinaikkan di salah satu sudut pasar Meureudu, Pidie Jaya. Namun, setelah beberapa hari, spanduk itu menghilang, menurut kabar angin, diturunkan oleh aparat kepolisian setempat.
Setelahnya, kegiatan memasang spanduk sindiran tersebut didiskusikan di beberapa warung kopi. Akhirnya Idrus dan kawan-kawan sepakat membentuk sebuah komunitas dengan nama “Kanot Bu” seperti yang telah dituliskan dalam spanduk tersebut. Komunitas Kanot Bu.
Tidak sebagaimana isi spanduk pertama mereka berisi kalimat politis, Komunitas Kanot Bu mengambil tema kebudayaan sebagai landasan utama pergerakannya.
Kini, Komunitas Kanot Bu telah membentuk empat Lini Aksi sebagai wadah pengekspresian para anggotanya sesuai selera seninya masing-masing.
Lini Aksi tersebut terdiri dari lini desain grafis yang mengkhususkan diri mendesain dan mencetak kaos-kaos khas Aceh bernama Geulanceng, lini perfilman dan fotografi bernama LensaKiri, lini penerbitan buku-buku indie bernama Tansopako Press, serta lini hikayat dan musik etnik bernama Seungkak Malam Seulanyan.
“Beberapa bulan terakhir Komunitas Kanot Bu mengadakan diskusi rutin tentang seni yang diberi nama Terassore. Diskusi ini menghadirkan pembicara yang bergelut di dunia seni, baik praktisi maupun akademisi. Terassore masih berlansung hingga sekarang,” kata Idrus.
Idrus yang pernah mengajar di SD 48 Banda Aceh dari tahun 2004 sampai 2012 ini mengatakan, dalam perjalanannya, Komunitas Kanot Bu sering berkomunikasi dengan Qiu manejemen yang membawahi Amroe and Pane Band.
“Kami ingin terus melahirkan karya. Sejauh ini komunitas ini tidak menerima anggota baru karena siapa saja yang datang dan bergabung, asal sesuai dan seide dipersilakan,” kata lulusan DII PGSD Unsyiah ini.
Apabila ingin memiliki kaos Geulanceng, silakan kirim pesan ke inbox akun facebook.com Geulanceng Trademark. Atau, kunjungi Bivak Emperom di Simpang Dodik, Banda Aceh. Boleh juga berkomunikasi melalui E-Mail: [email protected].
Belum ada komentar