Penculikan anak dinyatakan polisi sebagai kabar hoax semata. Apa daya, isu ini terlanjur menyulut emosi warga yang berujung salah tangkap dan main hakim sendiri.
Rabu siang pekan lalu, Rizal, 18 tahun, bergegas ke Sekolah Dasar Muhammadiyah di kawasan Merduati, Banda Aceh. Ia diminta menjemput adik sepupunya yang belajar di sekolah tersebut. Tiba di sekolah, kepada seorang guru piket, Rizal mengemukakan maksudnya. “Bu, saya mau jemput Teteh,” kata Rizal.
Saat menelusuri daftar siswa, guru tersebut tak kunjung menemukan nama murid bernama Teteh. Ia sempat menanyakan kembali kepada Rizal siapa siswi yang dimaksud. Namun, Rizal tetap menyebut Teteh.
Sejurus kemudian, ada murid datang menghampiri Rizal. Kepada guru, Rizal menyebut itulah Teteh yang dia maksud. Penuturan Rizal juga diiyakan siswa sembilan tahun tersebut. “Dia juga sudah bilang kalau saya memang abang sepupunya,” ungkap Rizal kepada Pikiran Merdeka, Kamis, pekan lalu.
Namun, pengakuan keduanya tak mampu meyakinkan guru piket. Pasalnya, nama Teteh tidak dikenal oleh guru. Selain itu, penjemputnya juga di luar kebiasaan, bukan orang tua siswa tersebut.
Pihak sekolah bersikukuh tak membolehkan Rizal membawa pulang Teteh. Mereka juga mulai curiga kepada Rizal. Bahkan, beberapa wali murid lain yang saat itu tengah menjemput anaknya, mengerumuni Rizal.
Dirubung orang-orang tak dikenalinya, Rizal panik. Keringat dingin mengalir dari sela pori-porinya. Kakinya gemetaran. Hampir saja ia tak dapat berkata-kata. “Yang saya pikir saat itu, saya dianggap penculik anak yang sedang heboh saat ini,” ujar Rizal.
Di tengah kepanikan, Rizal sempat meminta guru piket menelepon ibu si Teteh. Barulah si guru percaya bahwa keterangan Rizal benar adanya. Siswa yang dimaksud Rizal ternyata bernama lengkap Dhia Afra Atiyah. Siswa kelas tiga ini sehari-hari kerap dipanggil Teteh oleh keluarganya. “Setelah itu baru dibolehkan bawa pulang. Untung saya tidak digebuki. Saya beneran tidak tahu nama lengkapnya. Yang saya tau sedari kecil dia dipanggil Teteh,” ungkap Rizal.
Kejadian yang menimpa Rizal salah satu efek dari beredarnya kabar penculikan anak. Di beberapa tempat, efek dari isu ini berujung kepada salah tangkap dan main hakim sendiri. Bahkan, kejadiannya terjadi beruntun di hari sama dengan lokasi berbeda. Misalnya, pada Senin, 20 Maret 2017, sejumlah warga Pintu Makmu, Aceh Utara, menangkap wanita yang diduga hendak menculik anak.
Video penangkapan ini kemudian diunggah ke jejaring YouTube. Di dalam video terlihat, setelah ditangkap, si wanita tersebut dibawa warga ke sebuah balai. Ia sempat beberapa kali ditampar warga yang emosinya tersulut.
Ternyata, setelah diusut lebih lanjut oleh polisi yang bekerjasama dengan dinas sosial setempat, wanita itu tidak waras. Ia kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa di Banda Aceh untuk direhabilitasi.
Di hari yang sama, warga Gampong Blang Mee, Kutablang, Bireuen, menangkap pemuda yang dicurigai sebagai penculik anak. Namun, hasil penyelidikan Kepolisian Sektor Kutablang, pemuda itu juga diduga mengidap keterbelakangan mental.
Keesokannya, kejadian serupa terjadi di Teunom, Aceh Jaya. Warga Gampong Alue Ambang dihebohkan dengan penangkapan dua wanita asal Sulawesi Selatan. Kedua perempuan itu, Sumarni DG Sunggu, 34 tahun, warga Dusun Balang, Desa Bontomarannu, Kecamatan Galesong Selatan, Kabupaten Takalar, dan Kurniati, 38 tahun, warga Dusun Bontolongkasa Utara, Kecamatan Bontonompo, Kabupaten Gowa, hampir digebuk warga.
Keduanya berusaha melarikan diri saat dipanggil beberapa warga yang menduga mereka penculik anak. Setelah diintegorasi di rumah geuchik, kedua wanita tersebut merupakan penjual obat herbal. Keduanya kemudian diserahkan ke kepolisian setempat.
Masih di hari yang sama, warga Kampung Pondok Baru, Kecamatan Bandar, Bener Meriah, menangkap Hendra, 21 tahun. Warga Kampung Paya Bening ini ditangkap saat menggendong seorang anak di pasar. Warga yang curiga segera menangkap Hendra dan menyerahkannya ke polisi.
Setelah diteliti, ternyata Hendra bukan penculik. Anak yang digendongnya merupakan anak abang kandungnya, Marwan, 32 tahun. Saat itu, Marwan sedang menjual gula aren kepada pengepul di pasar tersebut. Sembari menunggu abangnya, Hendra mengajak keponakannya jalan-jalan ke sekitar pasar. Hendra sendiri juga menderita gangguan jiwa.
Insiden yang dikaitkan dengan penculikan anak juga terjadi dengan cerita sedikit berbeda di Pidie. Nurhayati, ibu di Gampong Geunteng, Kecamatan Batee mengatakan bayinya yang berumur empat bulan hampir diculik orang tak dikenal. Saat itu, bayi Nurhayati sedang terlelap di ayunan. Penculikan tersebut digagalkan Nurhayati, setelah melempari punggung pelaku menggunakan batu. Pelaku pun kabur tak sempat membawa pergi anaknya. Kasus tersebut masih diselidiki polisi.
Selain di Aceh, kabar penculikan anak terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia. Di Sumatera Selatan, Kus, 56 tahun, perempuan asal Aceh, menjadi korban. Seperti dilansir viva.co.id, ia ditangkap warga Desa Taba, Kabupaten Empat Lawang dan dipukuli lantaran dicurigai sebagai penculik anak.
Laporan warga, saat kejadian Kus sedang membawa karung. Ketika ditegur Kus malah lari. Warga pun curiga. Perempuan itu ditangkap dan digelandang ke kantor polisi.
Di kantor polisi, perempuan yang diduga menderita gangguan jiwa tersebut justru membuat kepolisian repot. “Saat diperiksa, jawabnya juga ngelantur dan sulit untuk diinterogasi,” kata Kapolres Empat Lawang AKBP Bayu Dewantoro, Jumat, 24 Maret 2017.
Bahkan, kata Bayu, kerepotan lain justru muncul di kantor polisi ketika perempuan itu mulai berulah. “Bau badannya minta ampun, mana mereka asal-asalan mau kencing sembarangan di tempat penyidik.”
HOAX DI MEDIA SOSIAL
Kepala Bidang Humas Polda Aceh Kombes Pol Goenawan memastikan kabar penculikan anak belum terbukti kebenarannya atau hoax. Hingga kini, kata Goenawan, masyarakat sudah terlanjur percaya terhadap isu tersebut.
“Akibatnya, masyarakat sudah over protective terhadap orang-orang asing yang dianggap sebagai sindikat penculik anak-anak di bawah umur. Di beberapa tempat bahkan ada yang melakukan aksi main hakim sendiri,” ujar Goenawan kepada Pikiran Merdeka, Kamis pekan lalu.
Ia tak sepenuhnya menyalahkan respons masyarakat terhadap isu tersebut. Pasalnya, di beberapa daerah, ada beberapa orang yang memang memiliki gerak-gerik mencurigakan. Sehingga, kata Goenawan, tak jarang masyarakat yang terlanjur percaya isu tersebut segera mencurigai mereka sebagai sindikat penculik anak. “Kalau tujuan mereka untuk melindungi anak-anaknya itu sangat kita dukung. Namun, jangan main hakim sendiri,” imbuhnya.
Menangkis insiden main hakim sendiri, kata Goenawan, Polda Aceh mengantisipasi dengan patroli keliling untuk mengingatkan kepada masyarakat agar tidak terlalu gegabah jika menemukan orang yang dicurigai.
Kepala Polres di seluruh Aceh, kata Goenawan, juga telah mendatangi sekolah dasar dan taman kanak-kanak untuk mengimbau warga agar tidak perlu resah atau curiga berlebihan. “Kalau dia tidak bawa identitas, segera bawa ke polisi. Nanti polisi yang akan menelusuri siapa dia sebenarnya. Kalau dia patut diduga jaringan tertentu, itu akan ditelusuri terus,” ujar Goenawan.
Polda Aceh juga akan terus melakukan patroli, pembinaan, dan penyuluhan, baik terbuka maupun tertutup. “Jadi ketika ada orang yang mencurigakan, atau berpura-pura berkeliaran di suatu pemukiman, polisi akan langsung menelusuri lebih lanjut.”
ASAL-USUL ISU
Penelusuran Pikiran Merdeka, isu penculikan anak setidaknya mulai gencar sejak awal Maret. Mulanya, diduga akibat selebaran palsu berlogo Polda Jawa Barat yang kemudian menjadi viral di media sosial. Di dalam selebaran palsu itu diterangkan pelaku penculikan anak menyamar sebagai pengemis, gelandangan, orang sakit jiwa, penjual makanan anak-anak dan lain-lain.
Walaupun kemudian polisi membantah selebaran itu hanya hoax, informasi tersebut kadung beredar luas. Di sejumlah daerah di Jawa, kabar penangkapan orang yang diduga menculik anak mulai terdengar. Pelakunya, persis seperti yang digambarkan selebaran hoax tersebut. Namun, seperti di Aceh, tidak satu pun ditemukan kasus adanya orang yang terbukti menculik anak. Selain itu, tidak ada satu pun laporan masuk ke polisi terkait penculikan anak.
Seiring isu penculikan yang mewabah, di media sosial terutama Facebook, beredar postingan-postingan yang mencantumkan foto-foto anak korban penculikan dan dibedah organnya untuk dijual. Postingan itu menyebutkan, harga anak korban penculikan mencapai Rp1 miliar. Jumlah ini akan berlipat mencapai Rp5 miliar bila dihitung secara terperinci setiap potongan tubuh yang dijual.
Informasi mengenai kabar mengerikan ini juga dialami warga di Malaysia. Bahkan sempat termuat dalam iklan imbauan di sebuah koran di Malaysia. Sebagian netizen percaya isu tersebut dan menyebarkan kembali postingan tanpa memverifikasi kebenarannya.
Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian menegaskan, kabar tersebut hoax alias palsu. Ia memastikan hal ini setelah berkomunikasi dengan Kapolda di beberapa daerah. “Saya cek ke Manado, cek juga ke Polda Metro Jaya, karena ini berkembang di Jakarta. Itu kita cek ternyata hoax,” kata Tito di Gedung MUI, Jakarta, Selasa 21 Maret 2017, seperti dikutip viva.co.id.
Sementara di Aceh, Biro Multimedia Polda Aceh tengah mengidentifikasi penyebar isu hoax tersebut. Kabid Humas Polda Aceh Kombes Goenawan menjelaskan, ketika isu penculikan muncul di media sosial, cyber patrol Polda akan langsung bergerak. Tak sampai di situ saja, mereka juga akan segera memberikan peringatan hoax atau tidaknya berita tersebut.
PAGEU GAMPONG
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, Nevi Ariyani memandang kemunculan isu penculikan anak juga menimbulkan dampak positif. Salah satunya, menambah kewaspadaan dan perhatian orang tua terhadap anak-anak.
“Wasapada tersebut bisa saja dengan memantau mereka atau mengajarkan anak agar lebih hati-hati dengan kehadiran orang asing di sekeliling mereka,” ujar Nevi, Kamis pekan lalu.
Saat perhatian kepada anak bertambah, kata Nevi, orang tua juga akan terdorong untuk memantau pergaulan sang anak agar terhindar dari hal-hal negatif seperti pornografi, pergaulan bebas, dan penggunaan obat-obat terlarang.
Dampak positif lainnya, kata dia, memupuk kembali tanggung jawab dan peran masyarakat dalam melindungi anak-anak di lingkungan mereka. “Ini kan akan memicu kembali keberadaan pageu (pagar) gampong yang akan saling melindungi setiap anak dari hal buruk yang akan menimpa mereka,” tutur Nevi.
Sementara, efek negatif yang bakal muncul dari isu penculikan, dapat menyebabkan depresi pada anak. Selain itu, sambung Nevi, menimbulkan waswas berlebihan pada orang tua. “Lebih-lebih kalau orang tuanya kerja. Pasti kepikiran terus kondisi anaknya, baik di sekolah maupun saat jam belajar berakhir,” ujar Nevi.
Ia menyarankan orang tua segera tanggap terhadap tindakan preventif untuk mencegah kasus penculikan anak. Salah satunya lewat komunikasi secara teratur dengan para guru di sekolah.
Orang tua juga dapat menyarankan anak-anak agar di luar waktu sekolah hanya bermain di tempat tidak terlalu sepi dan tak jauh dari jangkauan mereka. Selain itu, kata Nevi, dinas juga telah menyosialisasikan hal itu ke beberapa sekolah agar anak-anak tidak perlu mencemaskan isu tersebut.
“Kalau terjadi sesuatu, kita sarankan agar guru atau wali murid dapat segera melaporkan ke kita atau polisi agar segera ditindaklanjuti,” imbaunya.[]
Belum ada komentar