Kabar Buram Penanganan Korupsi Kemenag Aceh

Kabar Buram Penanganan Korupsi Kemenag Aceh
Kabar Buram Penanganan Korupsi Kemenag Aceh

Berawal temuan BPK, dugaan korupsi perencanaan gedung Kemenag Aceh mencuat. Setelah dua tersangka ditetapkan, kasus itu kini mangkrak di Kejati Aceh.

Dugaan korupsi di Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Aceh makin tak jelas nasibnya setelah ditangani Kejati Aceh. Kasus itu terkait perencanaan gedung Kanwil Kemenag Aceh senilai Rp1.167.319.000 dengan sumber dana APBN 2015 yang ditengarai sarat penympangan.

Sebelumnya, saat kasus ini masih ditangani Kejaksaan Negeri Banda Aceh, penyidik sudah menetapkan dua tersangka. Satu tahap lagi, kasus ini akan dilimpahkan ke tahap penuntutan. Namun, tiba-tiba perkaranya diambil-alih Kejati Aceh sejak Agustus 2017. Alasannya, untuk mempercepat penanganan karena mendapat sorotan publik.

Semula, banyak kalangan menaruh harapan besar akan tuntasnya kasus ini di tangan Chaerul Amir yang sejak 22 Oktober 2017 menggantikan Raja Nafrizal sebagai Kajati Aceh. Namun, faktanya makin jauh panggang dari api. Pekan lalu, Kajati Aceh Chaerul Amir mengatakan kasus itu mandek lantaran pihaknya belum menerima hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

“Hingga kini kami masih menunggu audit BPK,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Aceh Chaerul Amir dalam konferensi pers, Selasa, 23 Januari 2018.

Chaerul berdalih, hasil audit dari BPK diperlukan untuk mengetahui kerugian negara yang ditimbulkan dari proyek perencanaan. “Perkara ini akan ditingkatkan ke tahap penuntutan setelah ada kerugian negara dari BPK RI. Kita segera berkoordinasi dengan BPK terkait hasil audit,” ujar mantan Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan Agung ini.

Dari penjelasan Chaerul, menunjukkan penanganan kasus ini semakin buram. Padahal, sebelumnya selama 4 bulan bekerja, penyidik Kejari Banda Aceh menunjukkan progres yang menggembirakan.

Aroma korupsi ini tercium penyidik berawal dari LHP BPK RI tahun 2016. Proyek perencanaan Kantor Kanwil Kemenag Aceh senilai Rp1,1 miliar lebih tahun anggaran 2015 tidak diyakini kewajarannya.
Temuan BPK itu diketahui dari surat Sekretaris Jendral (Sekjen) Kementrian Agama Nomor R-5790/SJ/B.IV.4/PS.00/08/2016 yang memerintahkan Kepala Kanwil Kemenag Aceh untuk menindaklanjuti temuan BPK RI No.24B/LHP/XVIII/2016 tanggal 16 Mei 2016.

Surat tersebut seakan memperkuat surat BPK sebelumnya bertanggal 22 Februari 2016, yang menyimpulkan ada tujuh poin ketidakpatuhan intern terhadap peraturan perundang-undangan di Kemenag Aceh. Dari tujuh poin tersebut, salah satunya biaya personil pekerjaan Perencanaan Pembangunan Kantor Kanwil Kemenag Aceh Tahun Anggaran 2015 sebesar Rp739.699.900 tidak dapat diyakini kewajarannya.

Dua surat tersebut mengindikasikan ada yang tidak beres terkait pekerjaan perencanaan Kantor Kanwil Kemenag Aceh yang dilaksankan PT Supernova Jaya Mandiri pada 2015.

Berdasarkan penelusuran Pikiran Merdeka, kuat dugaan sejak proses pengusulan anggaran hingga tender proyek tersebut terjadi kongkalikong pejabat tekait dengan rekanan pemenang lelang.

MASUK ANGIN

Kuat dugaan, penanganan kasus ini memang sudah “masuk angin” sejak ditangani Kejati Aceh. Saat Pikiran Merdeka mewawancarai Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Aceh Teuku Rahmadsyah dan Kepala Seksi Penegakan Hukum dan Hubungan Masyarakat Kejati Aceh, Amir Hamzah pada 11 November 2017, keduanya memberikan keterangan yang bertolak belakang. Jika Rahmadsyah menyatakan sudah banyak saksi yang diperiksa, namun Amir Hamzah menyatakan kasus itu tengah ditelaah, termasuk penetapan dua tersangka yang sudah dilakukan Kejari Banda Aceh.

Kepada Pikiran Merdeka, Rahmadsyah membantah Kejati Aceh tak bekerja serius menangani kasus ini. Ia menjelaskan, tim penyidik masih memberkaskan terhadap dua tersangka. Bahkan, diakuinya, tim penyidik baru selesai memeriksa ahli dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) untuk menambah alat bukti.

“Kita baru panggil saksi ahli dari LKPP Pusat di Jakarta untuk penambahan alat bukti. Minggu depan, rencananya dengan ahli auditor untuk perhitungan kerugian keuangan negara. Saat ini tim masih bekerja,” ujar Rahmadsyah.

Namun, keterangan berbeda disampaikan Amir Hamzah. Di hari yang sama, Amir mengatakan sejauh ini berkas korupsi Kemenag Aceh limpahan dari Kejari Banda Aceh masih ditelaah oleh tim penyidik. “Termasuk menelaah berkas mereka yang sudah ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Amir.

Amir Hamzah

Diakuinya, selama kasus itu diserahkan ke Kejati Aceh memang belum ada pemeriksaan, baik saksi-saksi maupun para tersangka yang ditetapkan. Saat ini, kata Amir, masih pada tahap memeriksa berkas sebagai evaluasi siapa saja nantinya saksi-saksi lain yang harus dimintai keterangan dalam perkara ini.

Dalam penjelasan Amir, Kejari Banda Aceh memang sudah ada saksi-saksi yang dipanggil. Bahkan sudah ada tersangka dan calon tersangka lainnnya. Namun, kata dia, semua itu harus dievaluasi kembali. “Bisa saja saksi yang sudah dimintai keterangan akan dipanggil kembali untuk lebih menguatkan keterangan mereka yang sudah ada,” katanya.

KEJATI TAK SERIUS

Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin menyatakan keprihatinannya atas kinerja Kejati Aceh di bawah kepemimpinan Chaerul Amir. Dia juga merasa heran dengan penjelasan Chaerul yang menyebut bahwa harus menunggu audit BPK untuk melanjutkan kasus tersebut.

Menurut Safar, kasus ini sendiri bermula dari Laporan Hasil Pemeriksaan BPK 2016. Karenanya, tak lagi harus menungu hasil audit BPK untuk melimpahkan kasus ini ke pengadilan. Apalagi dalam perjalannya, penyidik telah menetapkan dua tersangka dan menemukan adanya kerugian negara dalam kasus tersebut.

“Kalau sudah ada dua tersangka, berarti jaksa sudah mendapatkan dua alat bukti. Kalau sekarang mereka bilang sedang menunggu audit BPK untuk mengetahui kerugian negara, ini kah aneh. Kasus ini dimulai dengan LHP BPK, jadi untuk apa lagi diminta audit BPK?” tutur Safaruddin, Sabtu 27 Januari 2018.

“Jaksa ini serius atau ngak dalam bekerja?” tanya dia lagi.
Diakui Safar, saat kasus tersebut masih ditangani oleh Kejari Banda Aceh, perkembangannya cukup terasa. Namun, sejak ditangani Kejati Aceh semakin tak jelas ujungnya.

“Kejati Aceh tak boleh menggantung kasus ini karena sudah jadi perhatian publik. Kajati Aceh yang baru harus memberantas siapa saja yang menghambat kasus ini. Apalagi saat ditangani Kejari Banda Aceh, sudah ada dua tersangka. Kok sejak ditarik (penanganannya) oleh Kejati Aceh malah makin tidak jelas,” ujar Safaruddin dengan nada kesal.

Aktivis antikorupsi juga mempertanyakan kelanjutan kasus ini. Koordinator Bidang Politik dan Hukum Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Baihaqi meyakini dalam kasus tersebut masih ada oknum lain yang diduga terlibat. Karena itu, saran dia, Kejati Aceh perlu menelusuri aliran dana hasil tindak pidana kejahatan tersebut.

Baihaqi

Selain itu, MaTA mendesak Kejati segera melimpahkan kasus ini ke pengadilan karena proses pengusutannya sudah sangat lama. “Kasus ini harus segera diselesaikan dalam masa kepemimpinan Kajati saat ini. Ini tentu menjadi indikator bahwa Kajati Aceh yang baru komit terhadap pemberatasan tindak pidana korupsi,” tutur Baihaqi.

PEMENANG SUDAH DITENTUKAN

Dalam laporan Pikiran Merdeka edisi 141 yang diturunkan pada 10 Oktober 2016 berjudul Gurita Proyek Bermasalah di Kemenag Aceh, secara rinci memeparkan dugaan penyimpangan dalam proyek itu.

Antara lain, indikasi konspirasi proyek sudah tercium sejak munculnya proyek tersebut dalam DIPA 2015. Anggaran pengadaan konsultansi perencanaan sebelumnya tidak masuk DIPA 2015, namun kemudian disisipkan melalui revisi DIPA 2015 yang dilakukan pada akhir tahun. Hal ini menyiasati edaran Menteri Keuangan Nomor S-841/MK.02/2014 tanggal 16 Desember 2014 yang melarang adanya pembangunan gedung negara untuk tahun 2015.

Lalu adanya dugaan pengaturan jadwal pelelangan yang dikondisikan sesingkat mungkin dan tanpa mengikuti ketentuan serta tahapan yang tercantum dalam Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa. Sebut saja penyimpangan terhadap masa tayang jadwal pengumuman lelang. Jadwal pengumuman lelang mulai tanggal 17 November 2015 pukul 22.45 WIB sampai dengan 20 November 2015 pukul 23.59 WIB atau total durasi waktu 3 hari 2 jam.

Dalam laman laman LPSE kemenag.go.id terpampang jelas, pengumuman prakualifikasi perencanaan gedung Kemenag Aceh pada 17 November 2015, penetapan pemenang 2 Desember 2015, serta penandatanganan kontrak pada 4 Desember 2015.

Selanjutnya, masa penayangan pengumuman lelang untuk seleksi umum yang telah dilakukan pada paket tersebut, juga tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah beserta dengan perubahannya dan Perka LKPP No.1 Tahun 2015 tentang e-Tendering.

“Lelang dibuka di akhir tahun untuk membendung perusahaan lain agar tidak bisa ikut. Tidak wajar sebuah perencanaan yang nilainya di atas Rp1 miliar bisa dikerjakan tidak sampai sebulan,” kata seorang sumber yang minta namanya dirahasiakan.

Selain itu, masa kerja yang singkat dari selesai pelelangan sampai dengan pencairan anggaran hanya 14 hari kerja juga dinilai janggal untuk pekerjaan senilai Rp1,1 miliar. Selanjutnya, dalam pelaksanaannya diduga banyak kegiatan fiktif yang dilakukan rekanan.

Sementara pencairan dana tidak dilakukan bertahap, melainkan dilakukan 100 persen. Hal itu terlihat dalam laporan dana monitoring SP2D-Bank KPPN Banda Aceh yang diperoleh Pikiran Merdeka. Pembayaran lunas pekerjaan perencanaan ke PT Supernova Jaya Mandiri dilakukan pada 29 Desember 2015 dengan nomor SP2D 150011301042691 dan nomor invoice 00449T/298362/2015. Transfer tersebut dari Bank BRI ke rekening perusahaan rekanan di Bank Bukopin.

Rentetan kejanggalan ini mengindikasilkan adanya campur tangan orang kuat di internal Kemenag Aceh. Mengingat proses pelelangan jasa konsultan perencanaan itu bisa dilakukan pada akhir tahun dan mampu diselesaikan dalam waktu yang sesingkat mungkin.

DARI POLISI KE JAKSA

Kasus ini sempat ditangani polisi. Unit Tindak Pidana Khusus Korupsi (Tipikor) Polresta Banda Aceh sudah pernah menyelidiki dugaan penyimpangan proyek perencanaan gedung kantor Kanwil Kemenag Aceh pada pertengahan 2016. Tidak diketahui pasti alasan kasus korupsi tersebut belakangan ditangani tim Kejari Banda Aceh.

Polisi bahkan sudah memeriksa sejumlah pejabat di Kemenag Aceh dalam status sebagai saksi, salah satunya Kakanwil Kemenag Aceh Daud Pakeh. Hal itu dikuatkan dengan surat panggilan Polresta Banda Aceh terhadap Daud Pakeh pada 31 Mei 2016. Dalam surat tersebut, Daud Pakeh sebagai pejabat yang menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM) diminta menjumpai penyidik Tipikor Satreskrim di Polresta Banda Aceh pada awal Juni 2016.

Sebelumnya, penyidik juga pernah menyurati Daud Pakeh untuk menghadirkan Hasan Basri sebagai panitia penerima barang (PHO) ke Polresta Banda Aceh pada Senin, 30 April 2016, guna menghadap Kanit II Ipda Rajabul Asra HM SH.

Kasus ini mulai ditangani Kejaksaan Negeri Banda Aceh diketahui setelah tujuh penyidik dari Kejari Banda Aceh menggeledah kantor Kanwil Kemenag Aceh pada Selasa, 18 April 2017. Tim yang dipimpin Kasi Pidsus Muhammad Zulfan didampingi Kasi Intel Himawan dan lima penyidik langsung masuk ke ruangan Kakanwil Kemenag Aceh Daud Pakeh. Saat digeledah, Daud Pakeh tidak berada di tempat.

Penggeledahan kemudian dilanjutkan ke ruangan Unit Layanan Pengadaan (ULP) hingga pukul 11.30 WIB. Dari ruang itu, penyidik menyita sejumlah dokumen menyangkut perencanaan pembangunan Kantor Kemenag Aceh pada 2015.

Hanya dalam tiga minggu, pihak Kejari sudah menetapkan dua tersangka. Penyidik menetapkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Yuliardi dan Direktur PT Supernova Jaya Mandiri Hendra Saputra sebagai tersangka dalam proyek ini.

Keduanya sudah diperiksa sebagai tersangka pada awal Mei 2017. Pemeriksaan tersebut berlangsung selama tujuh jam, mulai pukul 15.00 WIB hingga pukul 22.00 WIB. Saat menjalani pemeriksaan, baik Hendra maupun Yuliardi, ikut didampingi kuasa hukum masing-masing. Hendra, Dirut Supernova ini menyewa tiga pengacara dari Jakarta, sementara Yuliardi didampingi pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan.

Dirunut ke belakang lagi, dalam proses penyidikan, Kajari Banda Aceh Husni Thamrin melalui Kasi Pidsus Muhammad Zulfan menyatakan, penyidik telah menemukan beberapa kegiatan fiktif yang dilakukan oleh PT Supernova seperti sondir tanah. Meski tidak dikerjakan, pekerjaan ini tertera di kontrak dan tetap dicairkan anggarannya.

Namun, untuk berjaga-jaga agar tidak menjadi masalah di kemudian hari, Hendra Saputra dan Yuliardi membuat surat pernyataan bahwa dalam pekerjaan sondir tidak pernah dilakukan dalam tahapan proyek ini.

Yuliardi dan Hendra Saputra sempat berkelit soal tidak dilakukannya proses sondir. Bahkan belakangan, PT Supernova sempat mengupayakan keluarnya hasil pekerjaan sondir tanah dari laboratorium Teknik Sipil Universitas Syiah Kuala dan Universitas Muhammadiyah. Namun, karena proses pemeriksaan tengah berlangsung, pihak dari kedua kampus tersebut tak berani lagi mengeluarkan dokumen yang diminta oleh Supernova.

Atas dasar surat tersebut, penyidik akhirnya menetapkan keduanya sebagai tersangka. Bahkan, kata Kasi Pidsus Kejari Banda Aceh Mughammad Zulfan, jika saja lebih dari dua orang yang ikut menandatangani surat tersebut, maka dipastikan juga langsung ditetapkan sebagai tersangka. “Meski nilainya kecil, ini menjadi pintu masuk kami untuk membongkar perbuatan jahat yang mereka lakukan,” jelas Zulfan.

Dari penelusuran Pikiran Merdeka, pihak Kejari Banda Aceh sudah melakukan tiga kali ekspose perkara di Kejati Aceh. Dalam pemeriksaan saksi, diketahui keterlibatan Saiful Husin dalam proyek perencanaan gedung tersebut. Namun namanya tak tertera dalam susunan yang tertera di kontrak. Dari pengakuan Hendra, proyek ini dikerjakan empat orang tenaga ahli dari Bandung.

Penyidik sudah memanggil salah satu dari empat orang tersebut untuk dimintai keterangan. Menurut sumber Pikiran Merdeka, saksi tersebut mengakui bahwa mereka yang mengerjakan proyek itu. “Namun kata penyidik dalam ekspose tersebut, saksi mengaku tak mengenal Dirut Supernova, Hendra Saputra. Mereka yang kenal hanya Saiful Husin. Inilah yang membuat dugaan keterlibatan dia (Saiful Husin) dalam kasus ini,” aku sumber yang minta namanya dirahasiakan. Saiful Husin sendiri adalah dosen di Fakultas Teknik Unsyiah yang diduga sebagai pemilik PT Supernova sebenarnya.

Selain sondir tanah, salah satu pekerjaan fiktif yang pernah didalami penyidik Kejari Banda Aceh kala itu adalah adanya kecurangan yang dilakukan PT Supernova dalam pelaksanaan proyek. Yakni pengerjaan proyek tersebut bukan dilaksanakan oleh ahli yang memiliki Surat Keterangan Ahli (SKA) seperti yang mereka daftarkan dalam dokumen penawaran. Padahal, dalam proses kualifikasi lelang, hal tersebut disyaratkan dan wajib dipenuhi.

Kebutuhan para ahli memang dipenuhi dan tertera dalam dokumen lelang, namun dalam pelaksanaannya tidak diikutsertakan. Pekerjaan itu diduga hanya dikerjakan tenaga biasa yang tidak mempunyai sertifikat ahli. Tujuannya, honor sebagaimana tertera di kontrak kerja tak perlu diberikan kepada tenaga ahli. Hal inilah yang dinilai penyidik terjadinya kerugian negara akibat adanya manipulasi yang dilakukan rekanan.

Kepada penyidik, Hendra Saputra sudah mengakui bahwa pekerjaan itu tak seluruhnya dikerjakan oleh personil ahli sebagaimana dinyatakan dalam dokumen. Namun, ia berdalih, produk yang mereka kerjakan sudah sesuai spesifikasi kontrak dan bisa dipertanggungjawabkan. Soal itu, Zulfan menjelaskan, penyidik tak hanya melihat produk namun prosesnya, sejak pelelangan hingga selesai pengerjaan.

Diakui penyidik, dalam pemeriksaan terhadap personil PT Supernova yang tertera dalam kontrak, hampir seluruhnya mengaku tak pernah bekerja dengan PT Supernova. Bahkan, di antaranya mengaku ada yang belum pernah bertugas di Banda Aceh. “Para tenaga ahli yang tersebar di Aceh, Medan, Jambi, Bandung dan Jakarta ini sudah kami periksa. Mereka semua kooperatif. Ada yang datang ke Banda Aceh, dan ada pula yang kami periksa di luar kota karena mereka tak bisa meninggalkan tugas,” jelasnya.

Dalam perjalanan kasus ini, nama Daud Pakeh dan Saiful Husin mulai disebut-sebut sebagi calon tersangka. Daud Pakeh adalah Kakanwil Kemenag Aceh, sedangkan Saiful Husin adalah dosen di Faktultas Teknik Universitas Syiah Kuala yang ditangarai sebagai pemilik sebenarnya PT Supernova, perusahaan pemenang tender proyek tersebut. Keduanya sejak awal diduga sebagai aktor intelektual dalam dugaan korupsi ini.

Sumber Pikiran Merdeka di lingkungan Kejari Banda Aceh pada medio Oktober 2017 menyebutkan, kasus ini ditarik penanganannya ke Kejati menjelang penetapan tersangka baru, yakni Daud Pakeh. Kala itu, penyidik hampir merampungkan berkas pemeriksaan saksi-saksi yang berjumlah puluhan orang.

Namun, lobi-lobi yang dilakukan untuk menghambat penyidikan terus dilakukan. Puncaknya, kasus ini ditarik ke Kejati. Usai pemeriksaan Saiful Husin dan anaknya Khairunnisa selaku komisari PT Supernova, upaya menghambat kasus ini semakin kuat.

Terlebih setelah Daud Pakeh diperiksa kedua kalinya dalam kapasitasnya sebagai pejabat yang menandatangani Surat Perintah Membayar (SPM). Pakeh disebut mengetahui adanya surat yang ditandatangani oleh PPK Yuliardi dan Dirut Supernova, Hendra Saputra. Surat tersebut berisi pengakuan bahwa tak pernah dilakukan pekerjaan sondir dalam proyek tersebut.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait