Pemenuhan energi listrik menjadi program utama Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Irwandi Yusuf. Pemanfaatan potensi energi terbarukan menjadi jurus jitu mengatasi persoalan tersebut.
Potensi energi terbarukan di Aceh, baik dari pembangkit tenaga air maupun panas bumi, mencapai 3.978 MW. Potensi itu hingga sekarang belum dipergunakan secara maksimal untuk mengatasi krisis energi listrik selama ini di Aceh.
Potensi hydropower di Aceh mencapai 2.863 MW, lebih besar dibandingkan potensi geothermal yang diperkirakan 1.115 MW. Padahal, kebutuhan energi listrik Aceh sekarang ini hanya 450 MW, ditambah cadangan 50 persen menjadi 675 MW.
Bila potensi energi geothermal saja dimaksimalkan, maka kebutuhan energi listrik di Aceh berlebihan. “Potensi 10 kali lipat dari kebutuhan, tetapi untuk membangun energi terbarukan butuh modal besar dan waktu yang lama,” kata Kepala Bidang Energi dan Ketenagalistrikan Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh, Dedi M Roza.
Saat ini, ada dua pembangkit hydropower besar yang sedang dalam pengerjaan, baik eksplorasi maupun pembangunan fisik. Demikian juga dengan potensi geothermal, ada dua lokasi yang sedang dilakukan pengerjaan dan lainnya baru dikerjakan September 2017.
“Semua energi terbarukan di Aceh sekarang masih sedang dalam pengerjaan. Belum ada satu pun yang sudah bisa beroperasi untuk menyuplai kebutuhan listrik di Aceh,” tuturnya.
Hydropower yang memiliki potensi besar di Aceh saat ini hanya baru dilakukan pembangunan fisik di Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Peusangan. PLTA ini seharusnya sudah bisa beroperasi saat ini. Namun, karena faktor terjadinya gempa besar 2014 lalu, sehingga terjadi perubahan struktur di lokasi pembangunan, dan terjadi keterlambatan.
“PLTA Peusangan punya potensi 88 MW yang diperkirakan selesai 2019 mendatang. Ini terjadi pelambatan karena ada terjadi gempa 2014 lalu di Aceh,” jelas Dedi M Roza.
Selain itu, hydropower juga sedang dilakukan eksplorasi di Tampur, antara Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Hydropower tersebut memiliki potensi 240 MW. Direncanakan, akan dilakukan pembangunan fisik pada 2019 mendatang. “Kita harapkan, pada 2024 sudah bisa dimanfaatkan nantinya,” imbuhnya.
Sementara untuk energi terbarukan geothermal, saat ini yang sudah dilakukan penggalian sumur di Jaboi, Sabang. Sedangkan satu lagi baru saja selesai dilakukan kontrak Joint Venture antara Perusahaan Daerah Pembangunan Aceh (PDPA) dan PT Pertamina Geotehrmal Energy menyangkut kerja sama melanjutkan proyek Geotermal Seulawah Agam. Proyek ini sempat tertunda selama hampir 7 tahun, usai lengsernya Gubernur Irwandi Yusuf tahun 2012.
Penandatanganan joint venture antara PDPA dan PT Pertamina Geothermal Energy disaksikan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Kedua perusahaan ini membentuk perusahaan baru sebagai perusahaan patungan yang diberi nama PT Geothermal Energy Seulawah (PT GES), untuk menjalankan proyek.
“Bulan September ini di Seulawah sudah mulai dilakukan eksplorasi, ada potensi di Seulawah itu 165 MW. Gubernur meminta proyek ini harus selesai dalam waktu 4 tahun,” jelas Dedi M Roza.
Sedangkan potensi lainnya yang sudah masuk tahap lelang ada di Gunung Geureudong Kabupaten Bener Meriah. Gunung Geureudong atau lebih dikenal dengan Burnitelong ini memiliki potensi 120 MW. “Segera dilakukan ekplorasi ulang terhadap potensi di Geureudong atau Burnitelong. Termasuk lelang hingga sekarang masih tertunda,” jelasnya.
KOMITMEN PUSAT
Selama ini, pasokan listrik di Aceh masih tergantung dari Sumatra Utara. Karena itu, merampungkan sejumlah pembangkit listrik alternatif menjadi solusi mengatasi dan menyinari seluruh pelosok Aceh.
Pemerintah Pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berkomitmen mengatasi krisis listrik di Aceh secara bertahap. Bahkan, pemerintah telah merencanakan penambahan daya guna memenuhi kebutuhan listrik di Aceh.
“Kami berusaha dan juga telah berkoordinasi dengan PLN ke depan, akan memperbaiki dan menjadi prioritas kami dalam penambahan-penambahan daya listrik. Begitu dengan proyek pembangkit listrik 35000 MW, juga ada penambahkan pembangkit listrik baru dan akan mengcukupi kebutuhan listrik Aceh beberapa tahun ke depan,” kata Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahar, di Banda Aceh, belum lama ini.
Diakuinya, memang perlu waktu untuk merampungkan pembangunan pembangkit listrik yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan listrik di Aceh. “Kan tidak bisa bangun listrik hari ini, perlu waktu dan rencananya. Intinya, penambahan beban di Aceh menjadi salah satu prioritas,” sebutnya.
Meski demikian, krisis listrik di Aceh telah menjadi permasalahan krusial yang terus dirasakan masyarakat Aceh. Bahkan, klaim PLN yang telah menyelesaikan permasalahan listrik tidak berbukti. Pasalnya, kondisi hidup-mati arus listrik masih kerap terjadi hingga sekarang ini.
Arcandra mengatakan penambahan daya listrik telah ditentukan dengan membangun pembangkit listrik baru di kabupaten/kota di Aceh. Di antaranya PLTA Takengon 84 MW, PLTMG Lhokseumawe 250 MW, PLTU 3 dan PLTU 4 200 MW di Nagan Raya, PLTP Jaboi Sabang 80 MW dan PLTH Krueng Raya Aceh Besar 50 MW, serta akan terinterkoneksi sampai ke Lampung.
“Dengan pembangunan itu, semoga dayanya melebihi kebutuhan listrik yang ada di Aceh. Kami terus berupaya, dalam beberapa tahun ke depan sesuai planing begitu juga interkoneksinya sampai ke Lampung,” paparnya.
Wamen ESDM menegaskan, ke depan Aceh tidak lagi ketergantungan listrik dari Sumatra Utara. Namun, lebih kepada mengoptimalkan grid interconnection dalam pembangian daya di Sumatra bagian utara. “Jadi, jika ada kelebihan di Aceh akan disuplai ke Medan dan begitu juga sebaliknya. Karena itu, harus dilakukan dalam listrik modern, sistem interkoneksi dianggap lebih efisien guna mengatasi permasalahan listrik. Sekali lagi bukan ketergantungan,” tegasnya.
Arcandra menambahkan, energi berkeadilan akan diterapkan di Indonesia. Pemerintah akan terus menyinari pelosok tanah air dengan memenuhi kebutuhan listrik.[]
Belum ada komentar