Selain menunda anggaran untuk KIP, DPRA juga mengintervensi KPU untuk tidak mengimplementasikan UU Pemilu di Aceh sebelum gugatan di MK inkrah.
Iskandar Usman memperlihatkan dua lembar surat kepada wartawan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Selasa sore pekan lalu. Surat berlogo garuda diketahui berasal dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Surat bertanggal 3 Oktober 2017 itu ditujukan kepada Ketua DPR Aceh dan berisi rasionalisasi alasan Pemerintah Pusat mencabut dua pasal UUPA yakni pasal 57 dan 60 yang terkait dengan pemilu.
Sore itu, Ketua Fraksi Partai Aceh ini tak sendiri. Iskandar didampingi Ketua Fraksi Gerindra-PKS Abdurrahman Ahmad dan Ketua Fraksi PPP Murdani Yusuf.
Dalam suratnya, Kemendagri menyampaikan permintaan maaf kepada DPR Aceh terkait pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi pada 25 September lalu. Pernyataan maaf itu terkait kesaksian Tjahyo dalam persidangan polemik pencabutan dua pasal Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dalam Undang-Undang Pemilu yang baru.
“Dalam hal penyampaian pernyataan Mendagri pada sidang di MK tanggal 25 September sebagai hal yang dianggap keliru. Kami menyampaikan permohonan maaf dan diharapkan kepada Pemerintah Aceh bersama-sama dengan Pemerintah Pusat dapat bersinergi dalam menjaga ketentraman stabilitas pemerintah yang kondusif,” bunyi surat tersebut.
Ada empat poin yang disampaikan dalam surat nomor 480/4627/SJ dan diteken oleh Plt Sekretaris Jenderal Kemendagri Hadi Prabowo itu. Disebutkan, pencabutan dua pasal UUPA dilakukan untuk mencegah terjadinya dualisme dalam mekanisme kelembagaan penyelenggaraan Pemilu di Aceh. Hal itu sebagai konsekuensi logis pembaharuan hukum berkenaan dengan pelaksanaan Pemilu secara serentak, termasuk pada UUPA khusus pengaturan terkait kelembagaan penyelenggaraan Pemilu.
Disebutkan pula, terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berdampak pada peraturan yang ada sebelumnya, termasuk Undang-Undang Pemerintahan Aceh. “Yakni berdampak pada sejumlah pasal Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 Pemerintahan Aceh dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi,” tulis Kemendagri.
Selanjutnya disebutkan, pencabutan pasal-pasal UUPA itu tanpa bermaksud mengurangi kewenangan dan kekhususan Aceh. Melainkan untuk penguatan kelembagaan yang berdampak pada KIP Aceh dan Panwaslih tingkat provinsi, kabupaten dan kota di Aceh.
Pada sidang ke empat gugatan Kautsar dan Samsul Bahri, pada 25 September lalu, Tjahjo Kumolo memang hadir menyampaikan penjelasan mengapa pencabutan dua pasal UUPA dilakukan. Tjahjo juga menyampaikan telah berkonsultasi dengan perwakilan Aceh, sebagaimana diatur dalam UUPA yang menyebutkan perubahan atas undang-undang tersebut harus atas konsultasi dengan Pemerintahan Aceh yakni gubernur dan Parlemen Aceh. Namun, hal ini inilah yang kemudian menimbulkan polemik dan memantik kemarahan DPR Aceh.
DPR Aceh sebagai pihak yang berkepentingan beraksi paling keras. Melalui Iskandar Usman, anggota Komisi I DPR Aceh, menyatakan tak pernah ada konsultasi sebagaimana diakui Mendagri. Bahkan ia menantang akan mempidanakan Mendagri terkait kesaksian di persidangan tersebut.
BEKUKAN ANGGARAN KIP
Dalam kesempatan itu, Ketua Fraksi PA itu juga menegaskan pihaknya bersikukuh menahan seluruh anggaran KIP Aceh untuk kebutuhan verifikasi partai lokal dalam Pemilihan Umum 2019 di Aceh. Hal itu akan dilakukan sampai Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan tetap (inkrah) terkait gugatan DPR Aceh terhadap pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Pagu anggarannya untuk itu (Pileg 2019) kita tahan. Tidak boleh dicairkan. Kita bintangkan. Ketika putusan MK sudah ada (inkrah) kembali menggunakan dua pasal dalam UUPA, bintang itu kita buka. Silakan KIP Aceh bekerja,” kata Iskandar Usman Al-Farlaky, Selasa, 10 Oktober 2017.
Iskandar menuturkan, DPRA menilai UU Pemilu cacat hukum, sebab proses pembuatan undang-undang itu tidak melewati prosedur yang sah sehingga melahirkan produk yang tidak sah.
Sebenarnya, sejak awal Komisi I dalam rapat bersama KIP Aceh, Rabu (27/9), saat membahas Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) KUA-PPAS APBA-P 2017 menyatakan bakal menahan anggaran untuk KIP Aceh.
Saat itu, KIP mengusulkan dana untuk kegiatan verifikasi Parlok sebesar Rp3,7 miliar. Dari semua item dana verifikasi Parpol yang diajukan, Komisi I hanya menyetujui honorarium pegawai honorer yang totalnya mencapai Rp357.000.000.
DPR Aceh juga mengirimkan surat kepada KPU dan KIP Aceh. Surat bernomor 161/2611 tertanggal 5 Oktober 2017 dan bersifat penting itu berisi intervensi penudaan pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Aceh. Surat ini ditandatangani langsung oleh Ketua DPRA Tgk Muharuddin.
Dalam surat tersebut, DPR Aceh menyampaikan secara institusional, mereka sedang melakukan judicial review terhadap UU Pemilu ke MK karena dengan ditetapkan undang-undang itu telah mencabut pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), (2), dan (4) UUPA. Gugatan tersebut bernomor 66/PUU-XV/2017.
“Bahwa berhubung persidangan terhadap gugatan tersebut di MK masih berproses, maka kami minta kepada KPU RI dan KIP Aceh untuk tidak mengimplementasikan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dimaksud pada seluruh tahapan pemilihan umum termasuk rekrutmen Panitia Pengawas Pemilihan di Aceh sampai adanya suatu keputusan dari majelis hakim MK yang bersifat final dan binding,” bunyi surat tersebut di poin kedua.
Surat itu juga ditembuskan ke Gubernur Aceh, Pimpinan DPRA, Ketua Komisi I DPRA, dan Ketua KIP Aceh.
Pengamat politik Aceh, Aryos Nivada menilai, apa yang dikeluarkan oleh DPRA menjadi indikasi dari darurat demokrasi di Aceh. Sebab, surat yang dikeluarkan oleh DPRA pada 5 Oktober 2017 itu merupakan bentuk intervensi sekaligus ancaman DPRA terhadap kemandirian penyelenggaraan Pemilu di Aceh.
“Demokrasi di Aceh kini berada dalam posisi darurat, sebab sudah dibayang-bayangi oleh teror yang dilakukan oleh DPRA, dengan berupaya mengontrol jalannya penyelenggaraan Pemilu 2019 di Aceh,” ujar Aryos.
Langkah yang dilakukan DPRA tersebut, menurut Aryos, merupakan indikasi ancaman sekaligus bentuk intervensi parlemen lokal yang saat ini didomonasi partai lokal, dalam mempengaruhi kemandirian dan independensi penyelenggara Pemilu di Aceh.
“Hal ini sangat mengkhawatirkan. Ini semakin menegaskan bahwa adanya upaya yang dilakukan DPRA dalam mengontrol kebijakan penyelenggaraan Pemilu di Aceh. Surat tersebut terkesan memerintahkan agar KPU RI dan KIP Aceh untuk tidak mengimplementasikan UU Pemilu di Aceh, hanya karena sedang dalam proses sengketa di MK. Padahal, DPRA sama sekali tidak berwenang untuk mengintervensi penyelenggaraan Pemilu,” kata Aryos.
Dalam UUPA, sambung dia, kewenangan DPRA dalam kelembagaan penyelenggara Pemilu di Aceh terbatas pada rekrutmen penyelenggara. Sedangkan mekanisme teknis penyelenggaraan tersebut merupakan ranah KIP sebagai penyelenggara Pemilu.
“Dengan demikian, DPRA dalam hal ini telah melakukan tindakan Abuse of Power (penyalah gunaan kekuasaan), karena sudah menggunakan kekuasaan di luar kewenangannya,” tegas dosen Ilmu Politik Unsyiah ini.
Aryos juga menambahkan, berkaca dari situasi darurat demokrasi di Aceh saat ini, maka patut dipertimbangkan kembali untuk mendukung agar proses seleksi tidak lagi melibatkan unsur parlemen lokal, baik DPRA maupun DPRK.
“Karena proses rekrutmen satu pintu via DPRA/DPRK rentan dengan ancaman dan intervensi terhadap kemandirian penyelenggaraan Pemilu. Parlemen lokal merasa berhak untuk mengontrol jalannya Pemilu. Ini dikarenakan penyelenggara dipilih oleh mereka,” pungkas Aryos.
PERKARA DI MK BERLANJUT
Sidang ke empat uji materi pencabutan dua pasal UUPA dalam UU Pemilu yang diajukan oleh dua anggota DPR Aceh yakni Kautsar Muhammad Yus dan Samsul Bahri alias Tiong, kembali digelar Kamis, 5 Oktober lalu.
Persidangan kali ini mendengarkan keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) selaku pihak yang menggodok Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Dari DPR RI hadir Lukman Edi (Ketua Pansus UU Pemilu) dan Asrul Sani dari Komisi III.
Dilansir dari parlemen.co, sidang kali ini juga digelar berbarengan dengan sejumlah penggugat lain terkait uji materi UU Pemilu. Sidang dipimpin oleh Hakim Ketua Anwar Usman dan hakim anggota Saldi Isra, Maria Farida Indrati, Manahan MP Sitompul, Anwar Usman, I Dewa Gede Palguna, Aswanto, Wahduddin Adams, dan Suhartoyo.
Dari materi gugatan, ada beberapa poin yang ditanggapi oleh perwakilan dari DPR RI. Dalam penjelasan yang dibacakan bergantian oleh Lukman Edi dan Asrul Sani disebutkan bahwa pemberlakukan dua pasal yang dipersoalkan yakni pasal 557 dann 571 UU Pemilu tidaklah menghilangkan hak penggugat dan juga tidak bertentangan dengan kekhususan yang dimiliki oleh Aceh.
“Terhadap dalil pemohon, DPR RI berpandangan bahwa hal tersebut merupakan asumsi pemohon saja,” kata Lukman Edi.
Disebutkan, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah tindak lanjut dari keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU/XI/2013 untuk memperbaiki peraturan tentang Pemilu. “Beberapa hal baru adalah seperti pengawas Pemilu di kabupaten/kota diberikan status yang baru yakni permanen. Penyelenggara Pemilu yang tadinya disebut Panwaslu kabupaten/kota, sekarang menjadi Bawaslu kabupaten/kota.”
“Sekarang Bawaslu sangat kuat sebagai sebuah lembaga penyelengara pemilu sehingga bisa mengimbangi kekuatan KPU terutama dalam hal kebijakan hukum,” jelas Lukman Edi.
Lukman juga menolak disebut mengabaikan kehususan Aceh. “Karena pengaturan UUPA telah tertinggal jauh. Bagimana pun para pemohon perlu memahami bahwa hukum selalu berkembang, tidak statis. Karena norma yang ada di UU Pemilu yang baru tidak sinkron dengan yang ada di Undang-Undang Pemerintahan Aceh,” tambah Lukman.
Oleh karena itu, lanjut dia, demi menjamin kepastian hukum dan mencegah dualisme peraturan yang saling tumpang tindih, maka dirumuskan norma pengaturan pasal yang dipersoalkan. “Sebelumnya di Aceh itu ada Panwaslu, ada Panwaslih. Panwaslu itu adalah hirarki dari Bawaslu Pusat, sementara Panwaslih dengan fungsi yang hampir sama itu ada di Aceh. Jadi ada dua lembaga pengawas Pemilu di sana,” katanya.
Lukman juga membantah jika penggugat merasa hak konstitusionalnya hilang. Pencabutan pasal 57 dan 60 (kecuali ayat 3), kata dia, tidak menghilangkan hak penggugat selaku anggota DPR Aceh untuk memilih anggota Komisi Independen Pemilihan atau KIP Aceh (di provinsi lain disebut KPU Provinsi) dan Panwaslih. Hal ini lantaran ayat 4 pasal 60 UUPA tidak dicabut.
“Sehingga jelas DPR Aceh masih berwenang memilih KIP dan Panwaslih di Aceh. Dengan demikian adalah tidak benar apa yang didalilkan oleh pemohon. Masih tetap KIP Provinsi Aceh yang setara dengan KPU Provinsi di provinsi lainnya. DPR RI sama sekali tidak mengabaikan kekhususan Aceh karena KIP dan Panwaslih tetap ada di Aceh,” tegasnya.
Lukman Edi sepakat bahwa Undang-Undang Pemerintahan Aceh harus dipahami sebagai sebuah konsensus besar dalam perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia. Namun, kata dia, perubahan-perubahan dalam rangka penyesuaian dengan berkembangnya hukum termasuk soal kepemiluan, tidak dapat dihindari.[]
Belum ada komentar