Wanita muda yang menjadi pekerja seks komersial di Aceh lebih disebabkan kebutuhan hidup mewah. Mereka jual diri karena terobsesi gaya hidup kaum borjuis.
Kasubdit IV/Renakta Dit Reskrimum Polda Aceh, Kompol Trisna Safari Yandi SH mengungkapkan, motif wanita-wanita yagn menjajakan dirinya kepada lelaki hidung belang tersebut karena faktor ekonomi dan kebutuhan hidup mewah. Wanita-wanita muda tersebut terobsesi mengikuti standar hidup kelas atas.
“Motifnya gaya hidup tinggi. Para wanita ini biasanya ingin beli HP Android, sedangkan orangtuanya nggak mampu membelinya. Makanya mereka mau melakukan pekerjaan ini,” ujar Trisna.
Saat ini, menurut Trisna, banyak pelakunya dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Mereka ingin mengikuti gaya hidup mewah dan bersenang-senang.
Dia menjelaskan, tempat makal para wanita itu sekarang ini tidak lagi di salon-salon, namun beralih ke café dan karaoke di Banda Aceh. “Mereka tidak tidak lagi kumpul-kumpul di salon karena sering dirazia. Menurut pantauan kami, sudah sangat kecil kemungkina salon-salon itu jadi tempat prostitusi,” katanya.
Wanita-wanita yang menjajakan diri tersebut, kata Trisna, tidak terlihat seperti wanita panggilan. Pakaian yang mereka gunakan lengkap dengan jilbab. Tidak mencolok seperti layaknya wanita yang sering mangkal di salon-salon. “Cara kerja mereka sangat terselubung,” katanya.
Selain itu, kata Trisna, sistem yang dijalankan NA menawarkan wanita-wanita ini kepada para tamu juga sangat rapi. Ia malakukan transaksi via BBM dengan koneksi yang dimilikinya.
NA bertugas mencari koneksi tamu dan menentukan harga. Sementara rekannya AD mengantarkan wanita yang dipesan pelanggan ke hotel yang telah disepakati.
Kepada penyidik, NA mengaku tidak punya target pelanggan. Namun, biasanya hari-hari weekend pasti ada sejumlah tamu yang menghubunginya. Biasanya, pelanggan yang dilayani oleh tersangka lebih banyak tamu dari luar Banda Aceh. “Alasannya, kalau orang Banda Aceh bisa-bisa kenal dengan si cewek ini,” aku tersangka kepada penyidik.
Lokasi pertemuan juga sangat menentukan. Para tersangka hanya bersedia jika pelanggan tersebt menginap di hotel berkelas. Mereka juga menentukan syarat hotel yang jarang dirazia petugas WH.
Sistemnya, NA yang menentukan harga. Setelah pelanggan melihat wanita dan dinilai cocok dengan yang dilihnya difoto, maka tamu tersebut akan menyerahkan uang kepada NA. Lalu NA menelpon AD untuk mengatar wanita tersebut ke kamar hotel. Setelah mengambil komisi atas kerjanya, NA dan AD meninggalkan wanita dan tamu tersebut.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Aceh, Kombes Nurfalah mengingatkan para orangtua untuk selalu menaruh kecurigaan kepada anak perempuannya. “Harus dicurigai jika mereka memiliki berbagai fasilitas mewah yang tidak sanggup dibeli oleh orang tua,” katanya.
Sebab, lanjut dia, bukan tidak mungkin fasilitas tersebut didapatkan dari hasil kerja dengan menjajakan diri kepada lelaki hidung belang. “Orang tua harus memperhatikan kebiasaan anak perempuannya di luar rumah. Bagaimana pergaulannya, apa saja aktivitasnya. Hal ini penting, jika tidak ingin anaknya terjerumus ke praktek-praktek prilaku menyimpang,” ingatnya.
Kombes Nurfalah juga menekankan, agar hotel-hotel lebih ketat dalam mengawasi setiap tamu yang menginap. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan proteksi terhadap praktek prostitusi yang semakin marak di Banda Aceh.
“Pihak hotel harus lebih ketat dalam seleksi tamu. Kalau perlu, setiap yang dicurigai, dimintakan buku nikah bagi yang ingin menginap,” tandas Nurfalah.[]
Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Pikiran Merdeka edisi 103 yang terbit Senin, 21 Desember 2015 lalu.
Belum ada komentar