PM, JAKARTA— Sejumlah elite PDI-P mulai mempermasalahkan motif Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, yang merekam perbincangannya dengan Ketua DPR Setya Novanto dan pengusaha minyak Riza Chalid, 8 Juni 2015.
Dalam pertemuan itu, Setya dan Riza diduga meminta sejumlah saham PT Freeport dan saham proyek listrik kepada Maroef, dengan mencatut nama Joko Widodo-Jusuf Kalla.
“Ketika direktur perusahaan asing merekam secara sepihak, itu harus dilihat sebagai sebuah preseden. Motif penegakan hukum atau motif kepentingan bisnis itu sendiri harus dilihat betul,” kata Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto di Jakarta, Minggu (6/12/2015) lalu.
Hasto mengatakan, Badan Intelijen Negara saja mempunyai aturan yang ketat mengenai perekaman secara diam-diam ini. Maroef yang merupakan mantan Wakil Kepala BIN harusnya menyadari hal itu.
Hasto pun meminta masyarakat jangan hanya melihat masalah ini di permukaan, tetapi secara mendalam terhadap adanya konflik kepentingan untuk menguasai kekayaan alam Indonesia.
“Sejak dulu kita lihat bagaimana Bung Karno dilengserkan ketika ada proses-proses untuk menguasai sumber kekayaan alam bangsa. Sejarah itu bisa terulang. Kita harus melihat kemungkinan ada kepentingan asing,” ucap Hasto.
Sikap Hasto berlanjut ke elite PDI-P yang ada di parlemen. Sekretaris Fraksi PDI-P Bambang Wuryanto juga ikut mempertanyakan motif Maroef yang merekam pertemuannya dengan Novanto dan Riza.
Dia mempertanyakan langkah Sudirman yang kemudian melaporkan rekaman itu ke MKD. Menurut Bambang, seluruh proses ini akhirnya membuat gaduh kancah perpolitikan nasional. “Kalau kayak begini kan bikin gaduh. Apa enggak bisa dirembuk?” ucap Bambang.
Wakil Ketua Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno pun meminta agar masyarakat tidak melihat kasus yang menjerat Setya Novanto ini dari satu sisi saja.
Ketua DPP PDI-P bidang ekonomi ini meminta agar masyarakat melihat secara jernih bahwa ada bos perusahaan asing yang berinisiatif bertemu pimpinan lembaga tinggi negara.
Lalu, pada kesempatan selanjutnya, bos perusahaan asing itu merekam pembicaraan secara diam-diam.
“Kemudian hasil rekamannya membuat konflik antar-lembaga negara. Jangan sampai sisi lain poin ini dilupakan,” kata Hendrawan.
PDI-P balik badan
Secara terpisah, anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dari Fraksi Partai Hanura Sarifudin Sudding menyebut, dalam sepekan, jumlah anggota MKD yang membela Novanto bertambah.
Keenam anggota tersebut adalah Kahar Muzakir, Ridwan Bae, dan Adies Kadir dari Fraksi Golkar; Sufmi Dasco Ahmad dan Supratman Andi Agtas dari Fraksi Gerindra; serta Zainut Tauhid dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Namun, seusai pemeriksaan tertutup terhadap Setya Novanto pada Senin (7/12/2015), jumlah anggota yang hendak menghentikan kasus ini bertambah.
Mereka hendak menghentikan kasus ini karena mempertimbangkan nota pembelaan pengadu yang menyebut pelapor tak punya ketetapan hukum atau legal standing dan menganggap alat bukti rekaman ilegal.
Akhirnya, jalan tengah diambil. Bukti asli rekaman percakapan diuji terlebih dahulu di Laboratorium Forensik Mabes Polri.
Sidang kasus ini pun harus tertunda untuk sementara waktu selama proses uji forensik dilakukan.
Sudding enggan menyebut siapa saja anggota yang berbalik badan membela Novanto. Namun, saat ditanya apakah anggota MKD dari PDI-P salah satunya, Sudding menjawab, “Nah itu kamu sudah tahu. Tidak perlu dari saya kan.”
Jokowi marah
Sikap sejumlah elite PDI-P itu jelas bertolak belakang dengan kegusaran yang diluapkan Presiden Joko Widodo dan juga Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kedua pimpinan ini sebelumnya diusung oleh sejumlah partai koalisi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat, dengan PDI-P masuk di dalamnya.
Jokowi marah seusai memberikan pernyataan soal pilkada serentak. Dia tidak terima namanya dicatut untuk meminta saham ke PT Freeport Indonesia.
“Saya tidak apa-apa dibilang presiden gila, sarap, koppig tidak apa. Akan tetapi, kalau sudah dibilang mencatut, meminta saham, itu yang tidak bisa,” ungkap Jokowi dengan nada tinggi di Istana Merdeka, Senin (7/12/2015).
Sementara itu, Kalla, meski dengan nada yang lebih tenang dan rileks, mengeluarkan pernyataan yang cukup keras kepada Setya Novanto. Bagi Kalla, dengan situasi saat ini, Setya sebaiknya mundur dari jabatannya sebagai Ketua DPR.
Kalla menantikan hasil sidang MKD. Namun, menurut dia, MKD juga harus membandingkan kasus etika sebelumnya yang juga menjerat Setya saat hadir dalam kampanye bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Belum ada komentar