Simpati untuk Rohingya mengalir deras dari Aceh. Gubernur Irwandi menyebutkan, Aceh bersedia berbagi pengalaman untuk mewujudkan perdamaian di Rakhine.
KONFLIK di Myanmar yang berujung kepada pembantaian dan terusirnya etnis Rohingya menyita perhatian dunia termasuk Aceh. Provinsi ini pada 2015 lalu pernah menerima ratusan pengungsi Rohingya. Mereka diperlakukan secara baik dan ditampung di lokasi pengungsian.
Hingga pekan lalu, Lembaga Migrasi Internasional atau IOM mencatat sekitar 18 ribu warga Rohingya mengungsi ke negara tetangga mereka, Bangladesh. Mereka harus pergi demi menyelamatkan masa depan. Di Rakhine, kawasan yang didiami sekitar 1,1 juta etnis Rohingya, militer meluncurkan “operasi pembersihan” sebagai tanggapan atas serangan militan Rohingya pada Jumat, 25 Agustus lalu. Operasi militer yang dinilai sebagai tindakan balasan disetujui Pemerintah Myanmar.
Militer menempatkan seluruh Distrik Maungdaw di wilayah utara Rakhine sebagai wilayah operasi. “Kantor Panglima Tertinggi meminta untuk menunjuk Distrik Maungdaw sebagai wilayah operasi dan Kantor Presiden telah memberikan persetujuan,” ujar Juru Bicara Kantor Presiden Myanmar, U Zaw Htay, seperti dilansir The Irrawaddy, Selasa pekan lalu.
Keterangan dari Mayor Polisi Ko Ko Soe di markas polisi penjaga perbatasan di Kyee Kan Pyin di Maungdaw, lima wilayah di kota utara Rakhine yakni Buthidaung, Maungdaw, Rathedaung, Taungpyoletwe, dan sub kota Myinlut, telah ditunjuk sebagai wilayah operasional sejak terjadi rusuh pada 25 Agustus lalu. “Seluruh Maungdaw ditetapkan sebagai daerah operasional. Jadi, ini adalah persetujuan bahwa tindakan tegas dapat diambil terhadap organisasi teroris dalam operasi pembersihan,” ujar Ko Ko Soe.
Baca: Balada Ucok, Nelayan Gampong Jawa
Senada dengan hal itu, Panglima Angkatan Darat Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing juga mengatakan penetapan wilayah operasional ini untuk memastikan efektivitas dari operasi pembersihan. Menurutnya, serangan awal yang dilakukan militan Arakan Rohingya Salvation Army atau ARSA, sebagai balasan terhadap proses verifikasi kewarganegaraan, terkait Undang Undang Kewarganegaraan tahun 1982.
Regulasi tersebut membuat perbedaan antara tiga jenis kewarganegaraan yakni penuh, berasosiasi, dan dinaturalisasi. Hal ini telah dikritik karena penentuan kewarganegaraan ditentukan menurut garis etnis. Sementara itu, orang Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan dan tidak diklasifikasikan ke dalam satu dari 135 “national races” Myanmar.
Hanya saja, dalam operasi militer itu serdadu-serdadu Myanmar tak hanya memburu militan. Seorang saksi mata kepada Al Jazeera mengatakan tentara membunuh “siapapun yang bergerak”, baik perempuan, anak-anak, bahkan bayi.
Tentara Myanmar dilaporkan kerap membakar jasad orang Rohingya untuk menutupi pembunuhan massal tersebut. Hal ini terungkap dalam laporan Proyek Arakan, lembaga yang memantau kekerasan di Rakhine. Lembaga ini mengklaim sudah menemukan setidaknya 130 kasus.
Direktur Proyek Arakan Chris Lewa mengatakan awalnya tentara mengepung desa-desa Rohingya dan menembak mereka secara membabi buta. “Yang kami temukan sekarang ini, setelah pembunuhan itu, militer dan warga sipil lain mengumpulkan dan membakar jasad-jasad itu agar tidak ada bukti,” ujar Lewa kepada Independent. Ia memastikan praktik ini masih terus terjadi di Myanmar, meskipun mereka belum mewawancarai korban selamat yang diduga sudah kabur ke perbatasan Bangladesh.
Ironisnya, setelah sampai di perbatasan, tentara-tentara Bangladesh tak mengizinkan pengungsi Rohingya masuk ke negara itu. Bangladesh beralasan, mereka telah menampung lebih dari 400 ribu warga Rohingya sejak konflik terjadi pada 1990-an. Kepada AFP, seorang anak perempuan bernama Marium bercerita bahwa ia terpisah dari orangtuanya saat petugas mengusir mereka. Diperlakukan demikian, orang-orang Rohingya terpaksa bersembunyi di hutan dan terdampar di perbukitan sekitar perbatasan.
SIMPATI DARI ACEH
Berbeda dengan Bangladesh, simpati deras mengalir dari masyarakat Aceh walaupun tidak ada lagi gelombang pengungsi yang terdampar seperti dulu. Simpati diwujudkan dengan aksi solidaritas para aktivis yang menamakan diri Masyarakat Peduli Rohingya pada Senin pekan lalu. Mereka mendatangi Vihara di Jalan Panglima Polem, Peunayong, Banda Aceh. Di sini, umat Buddha bergabung bersama para pendukung aksi untuk mengutuk kekejaman junta militer Myanmar.
Ketua HAKKA Aceh–perkumpulan masyarakat Aceh etnis Tionghoa–Kho Khie Siong mengutuk keras kekejaman yang menimpa muslim Rohingya di Rakhine. “Kami turut prihatin terhadap kekerasan yang terjadi pada etnis Rohingya yang dilakukan oleh sekelompok Buddha di sana. Saya rasa mereka bukanlah orang Buddha yang sesungguhnya karena setiap agama manapun melarang keras hal ini terjadi,” ujar pria yang kerap disapa Aki ini, Selasa pekan lalu.
Aki menilai, dunia termasuk Myanmar perlu melihat bagaimana Aceh menjalankan syariat Islam tanpa menindas kaum minoritas. “Saya rasa orang-orang perlu melihat bagaimana Aceh bisa menjalankan syariat Islam secara baik dan umat selain Islam dapat menjalankan ibadahnya secara aman sampai hari ini,” ujar Aki.
Pergolakan antara umat Buddha dan Islam di Rakhine, kata dia, tidak memberikan dampak negatif untuk keberagaman beragama di Aceh sendiri. Kehidupan umat beragama di Aceh masih berjalan aman tanpa dipengaruhi ketakutan terhadap permasalahan tersebut. Hanya saja, kata Aki, beberapa orang yang belum mengerti permasalahan ini merasa takut atas dampak yang terjadi pada kondisi peribadatan umat beragama di Aceh. “Apa yang dilakukan oleh biksu-biksu Buddha di sana otomatis membawa perubahan stigma masyarakat terhadap umat Buddha sendiri. Hal ini memberi ketakutan kepada sebagian umat Buddha yang belum memahami permasalahan tersebut,” tuturnya.
Tak hanya mengutuk saja. Hakka Aceh, kata Aki, akan menggalang dana untuk muslim Rohingya secepatnya. “Kami akan mencoba membantu muslim Rohingya dengan melakukan penggalangan dana untuk mereka. Pada kesempatan itu kami melibatkan seluruh tokoh-tokoh agama baik Islam, Kristen, Buddha dan Konghucu untuk turun ke jalan dalam melakukan penggalangan dana tersebut.”
Wakil Ketua II MPU Aceh Teungku Faisal Ali juga mengatakan hal yang sama. Konflik antara Buddha dan Islam di Rohingya tidak memberi pergesekan kerukunan umat beragama di Aceh. “Masyarakat Aceh sendiri sangat toleran terhadap apa yang harus dilakukannya, karena mereka tahu bahwa apa yang dilakukan Buddha radikal di sana tidak sama seperti Buddha yang ada di Aceh,” ujar pria yang akrab disapa Lem Faisal ini saat ditemui seusai rapat konsolidasi peduli Rohingya, Jumat pekan lalu.
Di dalam rapat yang juga dihadiri jajaran pemerintah itu, kata Lem Faisal, disimpulkan beberapa langkah jangka pendek dan panjang. Untuk jangka pendek misalnya, imbauan kepada para khatib Jumat agar mendoakan Rohingya setiap salat. Langkah lainnya, menyediakan transportasi dan tempat bagi pengungsi Rohingya di Aceh, membuat konferensi internasional Aceh untuk Rohingya, terus menggalang dana, dan terakhir membentuk kolom khusus informasi rangkaian kegiatan peduli Rohingya.
MPU sendiri melalui Lem Faisal juga mengusulkan agar masyarakat berjihad untuk muslim Rohingya. Jihad yang dimaksud artinya berbeda. “Yang diusulkan MPU bukan jihad dalam artian berperang langsung ke sana, tapi jihad di sini (Aceh) dalam artian pengorbanan harta dan kesempatan agar kita peduli terhadap muslim Rohingya,” ujar Lem Faisal.
Jihad yang diusulkan Faisal setidaknya ditanggapi langsung oleh Anggota DPR Aceh Ghufran Zainal Abidin. Tak hanya ikut dalam aksi peduli Rohingya pada Senin pekan lalu, Ghufran juga menyumbangkan gajinya untuk muslim Rohingya. “Saya akan tunaikan komitmen dengan menyumbangkan sepuluh persen gaji untuk muslim di sana,” ujarnya Kamis pekan lalu.
Ghufran berharap aksi yang dilakukan bersama teman-teman lainnya dapat menggugah semangat rakyat Aceh untuk mempunyai kepedulian terhadap orang Rohingya. “Saya berharap dengan aksi ini orang Rohingya tahu bahwa mereka tidak berjuang sendirian, mereka masih punya kami di sini,” ujar legislator PKS ini.
Sebagai wakil rakyat Zainal telah menyampaikan kepada Ketua Fraksi PKS di DPRA agar mendesak Pemerintah Aceh bersikap lebih aktif dalam melihat permasalahan Rohingya. “Dari DPR Aceh sendiri sudah melakukan pengumpulan dana bantuan untuk Rohingya.”
LANGKAH PEMERINTAH ACEH
Kekerabatan yang terjalin antara Aceh dan Rohingya pada 2015 lalu membuat Pemerintah Aceh mengambil langkah nyata untuk konflik di Rakhine. Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh Mulyadi Nurdin mengatakan pihaknya telah mengirim beberapa bantuan dari Aceh untuk Rohingya melalui pemerintah pusat. “Karena ini hubungan luar negeri maka kita sebagai pemerintah daerah hanya dapat mendukung apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Sudah banyak elemen-elemen sipil dan ormas yang telah kita dukung dan bergerak langsung ke Myanmar,” ujar Mulyadi di ruang kerjanya Rabu pekan lalu.
Dia juga menyatakan, Aceh akan kembali membuka pintu untuk pengungsi Rohingya jika pemerintah pusat mengizinkannya. “Sesama muslim kita harus saling membantu, maka dari itu Pemerintah Aceh jika diizinkan akan menerima para pengungsi Rohingya seperti dulu lagi.”
Sementara Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dalam beberapa pernyataan sikapnya mengatakan Aceh sebagai provinsi yang pernah mengalami konflik bersenjata selama 30 tahun dan berada di bawah status daerah operasi militer selama kurang lebih 15 Tahun, sangat menyesalkan tindakan Pemerintah Myanmar yang memberlakukan operasi militer di Rakhine. “Pengalaman konflik bersenjata di Aceh justru hanya membawa kemudaratan dan kemunduran yang besar terhadap kebudayaan, sosial, dan ekonomi. Dan memberikan luka mendalam bagi para korban yang kebanyakan merupakan masyarakat sipil,” ujar Irwandi, Kamis pekan lalu.
Aceh, kata Irwandi, memohon kepada Pemerintah Myanmar menahan diri secara maksimal dengan tidak menggunakan cara-cara kekerasan dan segera menghentikan operasi militer di Rakhine. “Dan memulai proses stabilisasi politik dan peace building antara warga Rakhine dan muslim Rohingya.”
Operasi militer, lanjut Irwandi, hanya memperpanjang siklus kekerasan dan memunculkan radikalisme. Bahkan dapat mengarah kepada perang sipil yang lebih luas. Segala upaya mencegah konflik harus dilakukan untuk menjaga kestabilan politik di regional ASEAN. “Mengingat beberapa negara ASEAN dan komunitas masyarakat muslim sudah bereaksi keras terkait kekerasan bersenjata di wilayah Rakhine.”
Irwandi menilai Pemerintah Myanmar perlu menggandeng PBB, ASEAN, dan organisasi internasional lainnya dalam memulai proses pembangunan perdamaian dan membuka diri sebagai wujud komitmen dalam penegakan hak asasi manusia dan demokrasi. Pemerintah Indonesia, kata Irwandi, sebagai sahabat sekawasan ASEAN perlu secara intens membantu Pemerintah Myanmar dalam mewujudkan perdamaian di Rakhine.
Selain itu, Indonesia juga harus mendorong terbukanya akses bantuan kemanusiaan untuk para korban dan membangun payung hukum demi melindungi setiap orang tanpa membedakan ras, suku, serta agama terutama perlindungan terhadap kelompok rentan. “Aceh bersedia berbagi pengalaman dengan Pemerintah Myanmar dan membantu mewujudkan perdamaian di Rakhine.”[]
Belum ada komentar