Jembatan Virtual Zaman Now

Jembatan Virtual Zaman Now
Jembatan Virtual Zaman Now

Oleh: Muazzinah Yacob
Manajer Kemitraan The Aceh Institute

Muazzinah Yacob

Komunikasi dua arah sangat diperlukan. Oleh karenanya, kehadiran media sosial adalah proses memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah yang nyata walaupun hanya terjadi di dunia maya. Pada “zaman now” media sosial menjadi salah satu tempat untuk berinteraksi, membangun jaringan dan berbagi informasi, baik perihal personal maupun perihal publik. Media sosial juga dapat memberi pengaruh dan menentukan perilaku sehingga membentuk opini publik. Melalui sosial media, dapat dilakukan berbagai aktifitas komunikasi dua arah dalam berbagai bentuk pertukaran informasi, kolaborasi, dan saling berkenalan dalam bentuk tulisan, visual maupun audiovisual.

Sosial media pada dasarnya diawali dari tiga hal, yaitu Sharing, Collaborating dan Connecting (Puntoadi, 2011). Sharing menjadi sesuatu yang penting, di mana media sosial menjadi tempat berbagi apa saja, dengan catatan hal-hal yang dibagikan adalah positif. Sementara itu, collaborating dapat melakukan kegiatan kerjasama tanpa harus bertatap muka. Connecting yang menghubungkan dengan banyak orang (pengguna media sosial), baik yang dikenal maupun tidak dikenal secara “nyata” tanpa batasan waktu dan geografis. Bagi pejabat publik, tentunya mereka bisa melayani dan mendekatkan diri dengan masyarakat.

Banyaknya pengguna media sosial kemudian memunculkan pertanyaan, bagaimana penggunaan media sosial bisa mengefektifkan cara berkomunikasi di dalam masyarakat, baik dalam ruang internal atau eksternal yang dilakukan oleh pejabat publik?

Penggunaan media sosial menjadi penting untuk mengeratkan hubungan antara publik dan pejabatnya, terutama sebagai wadah menyampaikan substansi “pesan-pesan” dan aspirasi atau evaluasi kinerja yang merupakan feedback dari publik sebagai proses untuk “menginput” apa yang diinginkan atau diharapkan publik terhadap kinerja mereka selaku pejabat publik. Hal ini dapat membentuk citra positif dan menciptakan opini publik secara baik.

Penggunaan media sosial oleh pejabat publik juga dapat menimbulkan persepsi negatif atau positif. Salah satu perihal negatif yaitu menjadikan media sosial sebagai wadah “pencitraan” yang berlebihan atau menjadikan wahana penetrasi isu yang bisa berkembang liar di masyarakat. Namun demikian, penggunaan media sosial oleh pejabat publik juga bisa menjadi sesuatu yang positif. Beberapa contoh di antaranya sebagai berikut.

Pertama, dalam konteks sharing, pejabat publik bisa berbagi berbagai informasi tentang kinerjanya termasuk program atau laporan kegiatan. Ini dimaksudkan untuk menjaga eksistensi atau memperlihatkan kepada publik apakah pejabat tersebut sudah melakukan pekerjaannya dengan benar sehingga mendapatkan feedback dari publik yaitu berupa balasan komentar pada sharing informasi tersebut. Saling berbagi informasi tentu juga akan menambah khazanah ilmu dan wawasan berfikir. Kedua, pejabat publik dapat berkolaborasi dengan netizen dan pertukaran informasi akan menjadi lebih cepat, khususnya di antara publik dan pejabat sehingga group-group yang ada di media sosial juga menjadi jembatan bagi publik untuk menyampaikan aspirasinya.

Ketiga, dalam konteks connecting yaitu pejabat publik yang menggunakan media sosial dapat langsung terhubungkan dengan seluruh masyarakat yang membutuhkan informasi tentang aktivitas pejabat tersebut termasuk ke pelosok pedesaan. Apalagi di zaman ini, lebih dari setengah penduduk Indonesia telah terhubung ke internet. Sepanjang 2016 ditemukan 132,7 juta orang Indonesia telah terhubung ke internet. Sedangkan total penduduk Indonesia sendiri yaitu sebanyak 256,2 juta orang (Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia, 2016). Tidak menutup kemungkinan bahwa pengguna internet ini memiliki akun media sosial untuk mengamati kinerja pejabat.

Sebagai contoh penggunaan media sosial secara langsung yang memberi pengaruh positif oleh pejabat publik di Indonesia yaitu media sosial twitter yang digunakan oleh Gubernur Jawa Tengah (Ganjar Pranowo) adalah wadah untuk menyebarkan dan mendapatkan informasi dari/ke publik, sehingga akses pelayanan pemerintah kepada khalayak ramai akan tertangani dengan cepat demi menunjang pembangunan Jawa Tengah. Jika ada bencana alam, kerusakan jalan, dan sebaigainya maka masyarakat yang memiliki akun twitter hanya membagikan foto dan lokasi jalan yang rusak tersebut kepada akun resmi gubernur dan gubernur dapat merespon secara langsung.

Bahkan, Walikota Bandung Ridwan Kamil berhasil meraih penghargaan Social Media Award. Ia dinilai memiliki peran mempengaruhi warga jejaring sosial untuk “menyaksikan” berbagai informasi kinerja yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung demi mendapatkan feedback dari publik (Social Media Award, 2016).

Dengan contoh demikian, maka ‘kehadiran” media sosial merupakan wadah penjaringan informasi terkini dari publik yang dapat dimanfaatkan oleh pejabat. Bukan sebaliknya, media sosial dijadikan ajang “membalas pantun” dengan rivalnya atau bahkan menjadi wahana ujaran kebencian bagi masyarakat yang dianggap selalu mengkritisi pemerintah melalui akun media sosial. Maka sangat naif jika terdapat pejabat yang menggunakan media sosialnya untuk “mempermalukan” masyarakatnya jika masyarakat tersebut mengkritisi kinerja.

Perlu kita pahami bahwa ketika publik mengkritisi pejabatnya dalam konteks keterlibatan partisipasi publik demi menunjang tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), maka semestinya adalah pejabat tersebut merespon apa yang akan atau sudah dikerjakan pemerintah berkaitan dengan apa yang dikritisi tersebut bukan “melawan” masyarakatnya. Jadi, media sosial bisa menjadi sarana yang efektif dan efisien dalam menjembatani aspirasi masyarakat dengan para pejabat publik. Dengan harapan, ”jembatan virtual“ tersebut lama kelamaan akan menjadi jembatan komunikasi yang berujung kepada realisasi nyata di lapangan. Semoga![]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait