Rekam jejak perdamaian Aceh mulai terpenggal pada fase-pase penting. Konflik berakhir, Aceh kehilangan nilai tawar?
Devin Ghufran Fahrezi (15), berdiri di depan sebuah potret yang difreming dalam dinding triplek. Ada enam potret di dalam sana. Semuanya bercerita tentang proses perundingan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Republik Indonesia. Pada masing-masing foto tertera tahun pengambilan gambar, mulai 2000 hingga 2002. Enam foto itu dinauingi sebuah judul besar; Rintisan Perdamaian Aceh.
Siswa kelas X IPA 1, SMAN 3 Banda Aceh itu, mendapat undangan dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) untuk menyaksikan Pameran Foto bertema ‘Refleksi 12 Tahun Perdamaian Aceh’. Didampingi guru sejarah, Devin bersama 20 teman sekelasnya mengganti jam pelajaran sejarah mereka dengan menyaksikan pameran foto yang digelar bertepatan peringatan Hari Perdamaian Aceh ke-12, 15 Agustus 2017.
Ruang pameran foto bersebelahan dengan kantor PDIA, hanya tersesekat lemari dan dinding triplek bertempel foto-foto yang dipamerkan. Pameran foto PDIA yang berada di lantai dua Gedung Serbaguna, Komplek Museum Aceh, pukul 9.30 WIB, sudah dipadati para pelajar dan mahasiswa.
Rombongan siswa tersebut dipandu seorang staf PDIA, Tuti Malasari. Ia bergerak cepat dan sistematis menjelaskan enam fase yang dibingkai apik, guna memudahkan para pengunjung memahami proses Perdamaian Aceh hingga penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia.
Rombongan Devin pertama kali memasuki fase awal koflik Gerakan Aceh Merdeka. Staf PDIA menjelaskan dengan gamblang penyebab konflik tersebut, lewat fakta yang tersajikan pada gambar di depannya.
Berikutnya, mereka dibawa memasuki fase jeda kemanusiaan pada frame berjudul Rintisan Ingin Berdamai. Hingga melewati empat fase berikutnya, darurat militer, gempa tsunami, penandatanganan MoU Helsinki, dan Aceh pasca-damai, para siswa tersebut mendengarkan dengan seksama penjelasan Tuti.
Tak sampai 30 menit Tuti memandu rombongan SMAN 3 Banda Aceh itu, selanjutnya para siswa diizinkan mengabadikan prosesi tersebut. Tak lantas mengikuti teman-temanya turun, Devin memilih bertahan di ruangan bersama Dani Herdian Syahputra. Keduanya memegang buku dan pulpen, siap untuk mencatat sesuatu dari pameran perdamaian Aceh itu.
Devin dan Dani lahir pada akhir 2002. Seolah memiliki kedekatan dengan tahun kelahiran mereka, keduanya memilih bertahan pada ‘Jeda Kemanusian’ yang berada pada fase ‘Rintisan Perdamaian Aceh’. Keduanya lalu menyimak penjelasan Muhammad Ikhwanuddin Uzair, ketua panitia pameran foto.
Menurut Ikhwan, melalui pameran foto itu pihaknya menyampaikan kepada generasi muda gambaran hidup masyarakat Aceh masa konflik yang sempit sekali ruang geraknya. “Generasi yang lahir pada awal Darurat Militer atau masa Jeda Kemanusian, kita harapkan dapat memaknai perdamaian lewat perbandingan antara kehidupan masyarakat Aceh tempo dulu yang berperang, dengan masa masyarakat Aceh setelah MoU Helsinki,” jelas Ikhwan kepada siswa SMA itu.
Kabid Informasi PDIA itu melanjutkan, melalui penandatanganan MoU Helsinki pula, akhirnya Aceh mendapatkan hak otonomi daerah, sehingga melahirkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang hanya ada di Aceh.
“Jadi Aceh punya peraturan sendiri, meski masih diawasi oleh NKRI. Lewat keistimewaan pula, alam demokrasi di Aceh dierkuat dengan kehadiran partai lokal,” terang Ikhwan.
Usai mendengarkan penjelasan itu, Devin dan Dani sempat berkomentar, “ternyata proses damai itu panjang, ya? Aceh sudah mengalami banyak kejadian, perundingan, tsunami lalu MoU Helsinki.”
Keduanya mengaku, ketika sampai di sekolah akan membuat laporan proses perdamaian Aceh dengan runut. Mereka juga berharap konflik-konflik yang mereka lihat lewat kisah dalam pameran foto itu, jangan terulang lagi di Aceh.
NASKAH ASLI RAIB?
Peringatan perdamaian Aceh yang ditandai dengan penandatanganan naskah kesepakatan MoU di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005, antara RI dan GAM masih terus digemakan hingga memasuki usia 12 tahun, pada Selasa, pekan lalu. Namun, satu dari tiga naskah asli perdamaian tersebut, yang dipegang oleh pihak Aceh, hingga saat ini masih belum berada di Badan Arsip Daerah Aceh.
Kepala Dinas Arsip Aceh, Zulkifli mengatakan hingga saat ini naskah asli MoU Helsinki itu belum berada di Badan Arsip Daerah Aceh. Upaya melakukan pelacakan dengan mewawancarai pihak Gerakan Aceh Merdeka, termasuk Gubernur Aceh Irwandi Yusuf telah mereka lakukan sejak 2010 hingga 2014. Namun upaya tersebut belum membuahkan hasil.
“Baru-baru ini, Deputi Pembinaan Bidang Kearsipan, Arsip Nasional RI (ANRI), Andi Kasman menginformasikan bahwa naskah asli yang dipegang oleh RI, baru dua bulan lalu diserahkan ke Arsip Nasional,” terang Zulkifli, didampingi Kabid Pengolahan, Ikhsan, dan Kabid Jasa Layanan Arsip, Faisal.
Berdasarkan informasi dari Andi Kasman, lanjut dia, naskah asli MoU Helsinki milik RI, yang saat penandatanganan itu diwakilkan oleh Hamid Awaludin, langsung kepada Jusuf Kalla, selaku Wakil Presiden RI waktu itu. “Dari tangan Jusuf Kalla, dokumen tersebut selanjutnya diserahkan ke Sekretaris Negara, saat itu dijabat Hatta Radjasa,” katanya.
Setelah sekian lama, naskah asli MoU Helsiki milik RI baru diserahkan ke ANRI Juni 2017. “Jadi kami sudah lega sekarang. Naskah MoU Helsinki milik RI sudah berada di ANRI. Kami akan datang ke sana untuk melihat langsung,” ucap Zulkifli.
Naskah milik RI tentunya tidak diberikan yang asli kepada Kearsipan Daerah Aceh. Karena itu, kata Zulkifli, pihaknya akan terus mencari keberadaan naskah MoU asli milik Aceh. “Kabarnya naskah milik Aceh itu masih berada di Swedia. Jadi, kami akan berusaha untuk mendapatkan naskah asli itu. Paling tidak, tahun depan sudah berada di sini,” katanya.
Hal itu diakui Wali Nanggroe Aceh, Malik Makmud Al Haytar. Menurut dia, pihaknya masih meyimpan naskah asli kesepakatan damai tersebut. “Ada itu, tapi masih di Swedia. Saya ikut menandatangani, mewakili Gerakan Aceh Merdeka. Jumlahnya hanya satu saja,” ucap Wali Nanggroe, dikutip dari kba.one.
Ia mengatakan naskah asli itu disimpan dalam brangkas arsip almarhum Teungku Hasan Tiro. Setelah penandatanganan, Malik selaku perwakilan GAM menyerahkan naskah tersebut kepada Hasan Tiro. “Itu waktu almarhum Wali Nanggroe masih hidup. Semua disimpan dalam arsipnya dan banyak sekali. Nantilah kita bawa pulang, semoga menjadi history,” katanya.
Sementara mantan anggota perundingan GAM, M Nur Djuli yang kini berbasis di Kuala Lumpur mengatakan semua dokumen penting saat itu dipegang oleh Muzakir Hamid selaku asisten pribadi almarhum Teungku Hasan Tiro. “Naskah asli MoU itu naskah penting. Dulu biasanya, dokumen penting macam itu dipegang asisten Tengku Hasan Tiro, Muzakir Hamid,” kata Nur Djuli saat dihubungi Pikiran Merdeka via telopon WhatsApp.
Menurut Nur Djuli, selain Teungku Malik Mahmud dan Zaini Abdullah mantan petinggi GAM yang mengetahui keberadaan naskah asli MoU Helsinki adalah Bakhtiar Abdullah. Ia merupakan juru bicara ASNF yang berbasis Stockholm, Swedia.
“Yang pasti ada sama CMI (Crisis Management Initiative) yang berpusat di Finlandia. Naskah asli 3 lembar, satu untuk Indonesia, satu untuk Aceh, dan satu lagi untuk CMI,” tegas Nur Djuli.
Tim perundingan lainnya, Munawar Liza Zainal menyebutkan, naskah tersebut ada dua. “Satu depan pak Hamid dan satu depan Teungku Malik Mahmud. Setelah ditandatangani oleh salah satu, kemudian ditukar untuk tanda tangan satunya lagi,” sebut Munawar Liza.
Mengenai keberadaan naskah, menurut Munawar, untuk GAM dipegang semula oleh Mahmud yang saat itu menjadi kepala pengawalan pendamping Teungku Malik Mahmud. Kemudian diserahkan kembali kepada Teungku Malik Mahmud.
“Selain naskah asli, delegasi RI juga menyerahkan peta perbatasan Aceh yang sesuai dengan MoU Helsinki kepada Teungku Malik Mahmud di kesempatan yang berbeda. Dan, naskah asli kemudian digandakan. Itu sudah kita periksa, yang digandakan dan tersebar saat ini sesuai dengan aslinya,” tandas mantan anggota tim perunding GAM di Helsinki ini.[]
Belum ada komentar