Jejak Indrapurwa dari Pulau Tuan Hingga Meunasah Tuha

Pulau Tuan Ujong Pancu
Pulau Tuan di Peukan Bada (Foto: Boy Nashruddin Agus)

Daratan itu mungkin tak seluas lapangan sepak bola Harapan Bangsa yang ada di Lhong Raya, Aceh Besar. Bentang alamnya pun berupa bukit dan bukan dataran rendah, sehingga tidak ada pemukiman penduduk yang dijumpai di sana. Namanya Pulau Tuan.

Pulau ini berjarak sekitar 1,37 Kilometer dari Ujong Pancu, daratan paling ujung Pulau Sumatra yang berada di wilayah administratif Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Sementara jika ditarik garis lurus melalui aplikasi Google Maps, maka jarak Pulau Tuan dengan Ulèe Lheue hanya terpaut 3,84 Kilometer saja. Artinya jika bergerak dari arah Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, jarak tempuh garis lurus ke pulau itu sekitar 7,59 Kilometer.

Sepintas tidak ada hal istimewa di Pulau Tuan yang tak bertuan itu. Namun jika ditilik dari beberapa catatan lawas, maka Pulau Tuan menjadi satu objek penting bagi peneliti sejarah.

Dari penelusuran yang dilakukan penulis diketahui, pulau itu diduga pernah menjadi pusat pemukiman di masa lalu, terutama jika berbicara tentang situs Indrapurwa. Di lokasi antara Pulau Tuan dengan daratan utama Sumatra itu disebut-sebut pernah berdiri satu benteng dan masjid kuno yang dibangun pada awal-awal Islam masuk ke Aceh. Namun struktur bangunan itu kini telah tenggelam.

“Sejak pertama kali saya mengunjungi daerah itu pada tahun 1977, dan diberitahu bahwa struktur masjid kuno Indrapurwa masih terlihat di bawah laut saat air surut,” tulis E. Edwards McKinnon, salah satu sejarawan Inggris yang fokus pada sejarah Aceh dan Sumatra dalam bukunya “A Note of Lamuri“.

Edwards McKinnon dalam buku itu juga menyebutkan pernah menemukan jejak pemukiman kuno yang sudah ditumbuhi cincin karang. Selain itu, dalam penelitiannya pada tahun 1985, Edwards McKinnon juga menemukan bekas sumur, pecahan tembikar dan kaca serta besi berkarat di kawasan dekat Pulau Tuan itu.

Rata-rata artefak yang ditemukan berasal dari abad 15 Masehi. Edwards McKinnon juga pernah menemukan beberapa tembikar serta periuk dari masa dinasti Ming di area tersebut.

Dalam A Note of Lamuri, Edwards McKinnon juga mengaku pernah melihat pemandangan aneh di kawasan itu. “Beberapa kuburan secara bertahap tersapu oleh gelombang, memperlihatkan tengkorak manusia dan tulang, serta papan pemakaman lainnya. Ini, menurut informan saya, mungkin berasal dari abad 18 atau 19 Masehi,” lanjut McKinnon.

McKinnon yang beberapa kali berkunjung ke lokasi tersebut juga pernah menemukan pecahan keramik masa dinasti Sung atau dinasti Yuan yaitu abad 13-14 Masehi. Peneliti asal Inggris itu juga pernah menemukan pelat berbahan perunggu, dan struktur berukuran persegi panjang yang kira-kira luasnya 3×4 meter. Struktur ini ditandai dengan adanya tumpukan batu sungai sehingga diduga sebagai lantai sebuah bangunan kecil.

Jauh setelah kunjungan McKinnon tersebut, tepatnya pada 26 Desember 2004, pesisir pantai Ujong Pancu yang berdekatan dengan Pulau Tuan tak luput dari sapuan gelombang tsunami. Berbagai artefak dan struktur yang sebelumnya menunjukkan keberadaan situs Indrapurwa kian mustahil untuk ditemukan.

Pun begitu, pesona Pulau Tuan yang juga disebut pernah berdiri satu masjid tua di atasnya itu kini berubah dari objek penelitian menjadi objek penting bagi pemancing dan para penyelam untuk snorkeling. “Di sekitar pulau ada semacam sungai di bawah laut. Di situlah orang-orang menyelam (snorkeling),” kata salah seorang warga setempat beberapa waktu lalu.

pulau tuan

Indrapurwa sendiri merupakan salah satu pemukiman yang disebut-sebut memiliki kaitan sejarah dengan situs benteng Indrapuri dan Indrapatra. Keberadaan Indrapurwa tersebutlah yang membuat Aceh pada satu masa dijuluki dengan Lhee Sagoe (Tiga Sagi).

Husaini Ibrahim, salah seorang arkeolog di Aceh menyebutkan, sebelum tsunami menghantam Serambi Mekkah, terdapat sebuah masjid kuno di Aceh Besar. Masjid itu dikenal dengan masjid Indrapurwa yang berdiri di Gampong Lambadeuk, Kecamatan Bada. Kawasan ini berjarak sekitar 10 Kilometer ke arah barat Kota Banda Aceh.

Sebelum tsunami, di kawasan tersebut juga terdapat beberapa bangunan kuno seperti meunasah yang menjadi tembat ibadah. Namun bangunan tersebut tidak berbekas lagi. Husaini Ibrahim dalam artikel “Peninggalan Sejarah dan Kesadaran Sejarah di Aceh: Suatu Tantangan Masa Depan” mengatakan, di kawasan tersebut juga dapat dijumpai Masjid Indrapurwa. “Namun tidak banyak informasi yang dapat diketahui dari masjid ini karena belum ada penelitian mendalam dan pemeliharaan secara rutin dari pemerintah,” tulis Husaini Ibrahim.

Jika ada sejarawan beranggapan Indrapurwa berkaitan dengan kerajaan-kerajaan Hindu di Aceh, Husaini Ibrahim memiliki pendapat lain. Berdasarkan penelitiannya, Masjid Indrapurwa disebutkan berdiri pada abad 17 Masehi. Pada abad tersebut, menurut Husaini, Aceh mencapai puncak kejayaannya sehingga kerajaan yang berada di ujung paling barat pulau Sumatra tersebut banyak sekali mendirikan masjid. Salah satu masjid yang dibangun adalah Masjid Indrapurwa.

“Apabila dilihat dari konstruksinya, masjid Indrapurwa didirikan dengan menggunakan bahan dari batu dan kayu, luas bangunannya 10,60 x 10,60 m didirikan di atas tanah waqaf dengan luas situs 25 x 50 m. Konstruksi masjid Indrapurwa terakhir terdiri dari lantai beton, tiang kayu, dinding beton dan atap seng,” tulis Husaini.

Menurut Husaini, masjid tersebut dirancang dengan atap tumpang yang sudah dimodifikasi sebagai ciri khas “masjid Aceh”. Konstruksi bangunan yaitu semi permanen yang menurut Husaini, “terkesan terpisah dengan bangunan dasar masjid.”

“Apabila diamati dari bagian dalam, bangunan ini dibangun mirip dengan Masjid Indrapuri yang dibangun di dalam tembok seperti benteng pertahanan,” kata Husaini dalam artikel tersebut.

Namun, lanjut Husaini, apabila diamati dari luar, bangunan masjid itu justru mirip dengan Masjid Tgk Di Anjong yang ada di Gampong Peulanggahan.

Dalam penelitiannya, Husaini melihat di luar area bangunan dan dinilai masih utuh dari bawaan masjid asal Indrapurwa adalah guci besar. Wadah tersebut menyimpan air yang berguna untuk mencuci kaki para jamaah sebelum masuk ke dalam masjid.

Sementara mimbar asli masjid Indrapurwa terletak di dalam masjid baru, yang menurut Husaini Ibrahim, dibangun berdampingan dengan masjid kuno yang ada. “Sebelum tsunami masjid tersebut masih dapat disaksikan. Namun sangat disayangkan masjid ini tidak termasuk dalam benda cagar budaya yang dilindungi.”

Tentang Indrapurwa dan jejak sejarahnya juga pernah diungkap oleh salah seorang warga Meunasah Tuha, Aceh Besar. Namanya Fahmi. Menurut pria berusia 35 tahun tersebut, di dekat rumahnya terdapat satu kompleks pemakaman kuno yang disebut-sebut sebagai makam para bentara dari Kerajaan Indrapurwa.

“Pemilik tanah ini menyebutnya demikian ketika saya bertanya, kompleks makam siapa yang ada di samping tanah saya tersebut,” ujar Fahmi beberapa waktu lalu kepada penulis. Tentu saja pernyataan ini butuh penelitian lanjutan lantaran dari amatan penulis, tidak terlihat nisan-nisan berciri khas tertentu di kawasan tersebut.

“Mungkin saja sudah terbenam lumpur ketika tsunami melanda kawasan ini. Kan inoe ulee ie nibak watee tsunami (Daerah ini ‘kan menjadi kawasan terparah masa tsunami melanda Aceh pada 2004 lalu),” katanya. []

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait