Jalan Terjal Konflik Agraria di Aceh

Jalan Terjal Konflik Agraria di Aceh
Jalan Terjal Konflik Agraria di Aceh

Dari berbagai kasus konflik agraria di Aceh, terdapat kasus-kasus yang sudah terjadi puluhan tahun tanpa penyelesaian. Masyarakat yang dirampas haknya masih berjuang untuk keadilan.

Kasus konflik lahan di dua wilayah, Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, hanya sekelumit dari puluhan kasus agraria yang tak kunjung selesai di Aceh. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh sebagai salah satu lembaga yang konsen pada advokasi masyarakat korban konflik mencatat sekitar 70 kasus pelanggaran hak atas tanah yang terjadi di Aceh sejak perjanjian damai MoU Helsinki terjalin 2005 silam.

Chandra Darusman dalam tulisannya di buku ‘Potret Konflik Agraria: Studi Kasus-Kasus Agraria di Aceh’ (2015) telah merangkum sederet kasus pertanahan yang tersebar di sejumlah kabupaten di Aceh. Wilayah tersebut antara lain di Nagan Raya terjadi konflik tanah antara PT Surya Panen Subur, PT Kalista Alam, PT Agro Sinergi Nusantara, PT Fajar Baizury & Brothers dan PT Wiratako Meulaboh dengan masyarakat di Kecamatan Darul Makmur, Tadu Raya, dan Kuala Pesisir.

Di Aceh Barat terjadi konflik antara PT Agro Sinergi Nusantara dengan masyarakat Gampong Teumarom, Gampong Jawi Kecamatan Woyla dan Gampong Lung Baro Kecamatan Sungaimas. Sedangkan di Aceh Singkil ada konflik PT Ubertraco atau Nafasindo dengan masyarakat setempat terhadap penguasaan tanah Hak Guna Usaha.

Kemudian, Chandra dalam buku tersebut turut merincikan kasus lainnya, seperti konflik antara masyarakat Kecamatan Lhoong Kabupaten Aceh Besar dengan perusahaan penambangan biji besi PT Lhoong Setia Mining, dan kasus penyerobotan tanah adat Batu Beudulang oleh PTPN I di Tamiang.

Dari berbagai kasus konflik agraria tersebut, papar pengacara LBH Banda Aceh ini, terdapat kasus-kasus yang sudah terjadi puluhan tahun tanpa penyelesaian. Di antaranya sengketa lahan yang terjadi sejak tahun 1999 antara PT Kalista Alam dengan masyarakat Dusun Melati Gampong Krueng Seumanyam. Kemudian, sengketa tanah garapan yang digarap sejak tahun 1990 oleh Kelompok Tani Makmue Mulia Gampong Geulanggang Gajah dan Kaye Unoe dengan PT Surya Panen Subur. Sengketa ini muncul kembali ke permukaan dan dilakukan aksi protes oleh warga sejak Tahun 2008, dan kasus PT Nafasindo di Singkil yang muncul sejak tahun 1998.

Pada beberapa kasus konflik agraria berakhir dengan kriminalisasi, seperti di Aceh Singkil, 15 orang ditahan. Di Aceh Timur, konflik lahan antara masyarakat dan PT Bumi Flora selain petani yang mengalami kriminalisasi, aktivis LBH Banda Aceh yang melakukan pembelaan terhadap korban konflik lahan justru ikut dikriminalisasi. “Pengacara LBH dikenai delik pidana penghasutan melawan pemerintah,” kata Chandra kepada Pikiran Merdeka, beberapa pekan lalu.

Sementara, kasus lainnya adalah kriminalisasi 11 orang petani yang bersengketa dengan PT Rapala dan penangkapan empat orang warga desa Cot Mee yang berkonflik dengan PT Fajar Baizury di Nagan Raya. Seperti maraknya kasus agraria, penyelesaiannya selalu disertai dengan intimidasi dan kriminalisasi.

DIMULAI MASA DOM

Meningkatnya ragam konflik agraria khusus di sektor perkebunan yang saat ini terjadi di Aceh, ujar Chandra, sebagian besar didominasi oleh konflik agraria yang banyak terjadi pada saat konflik politik berkecamuk di bawah payung rezim orde baru. Ideologisasi program pembangunan orde baru yang sangat kapitalistik, menurutnya, telah melahirkan ragam ketimpangan tata kuasa agraria dan menimbulkan masalah struktural di Aceh.

“Munculnya ketidakadilan sosial dan ekonomi yang menjadi dampak dari penerapan kebijakan pembangunan itu setidaknya telah memicu masalah politik dan keamanan yang berujung pada konflik bersenjata (1976-2005). Pemberlakuan status Daerah Operasi Militer (DOM) merupakan jawaban dari pemerintah pusat untuk meredam gejolak keamanan yang terjadi,” paparnya.

Parahnya, di sela-sela pemberlakuan DOM itu pemerintah pusat bak sambil menyelam minum air, dengan membuka ruang bagi korporasi rezim untuk memuluskan peralihan tata kuasa tanah demi kepentingan kelompok bisnisnya di Aceh.

Berdasarkan data, sepanjang tahun 1961 hingga tahun 2014, terdapat penerbitan 197 izin HGU. Dari sekian kasus yang terjadi, beberapa di antaranya kembali mencuat usai penandatangan nota damai di Aceh tahun 2005.

Menurut catatan LBH Banda Aceh, beberapa kasus yang mencuat yaitu konflik tanah yang dilakukan oleh PT Bumi Flora. Pada tahun 1990, melalui izin Hak Guna Usaha (HGU) yang dikeluarkan oleh Menteri Agraria, yang juga secara politik mendapat dukungan dari Pemda Aceh Timur serta TNI, telah terjadi penyerabotan tanah rakyat yang tersebar di sembilan desa dalam lima kecamatan dengan total luasan areal tanah sekitar 3.400 hektar.

“Dalam praktiknya, aksi perampasan tanah yang dilakukan oleh PT Bumi Flora ini juga disertai dengan tindakan intimidasi dan pembunuhan yang diduga dilakukan oleh aparat TNI yang bertujuan untuk meredam aksi perlawanan rakyat untuk menuntut haknya,” kata Chandra.

Kemudian, kasus serupa yang terjadi di Aceh Tamiang, juga ikut mencuat. Konflik tanah ini dialami oleh masyarakat Kecamatan Banda Mulia dan Bendahara di Kabupaten Aceh Tamiang yang berhadapan dengan PT Parasawita, yang kini beralih menjadi milik PT Rapala. Kasus yang bermula sejak tahun 80-an itu proses penyelesaiannya sendiri masih berlangsung hingga kini.

Selain itu, ada juga kasus yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil. Konflik itu dialami oleh masyarakat 22 desa di lima kecamatan dengan PT Nafasindo. Konflik tanah ini kemudian berujung dengan dikriminalisasi 18 orang warga akibat melakukan aksi pengrusakan Kantor Bupati Aceh Singkil pada 30 Mei 2011. Proses hukumnya ketika itu dibela oleh pengacara publik LBH Banda Aceh.

Sementara itu, di sektor pertambangan, sejauh data yang terangkum oleh LBH Banda Aceh, terhitung sampai Februari 2014, Pemerintah Aceh telah mengeluarkan sebanyak 134 izin pertambangan kepada perusahaan tambang lokal maupun nasional yang tersebar di seluruh Aceh.

“Dalam kurun waktu itu pula, pemberian izin-izin usaha pertambangan ini telah memicu meningkatnya eskalasi konflik agraria yang berkelindan dengan konflik sosial serta kerusakan lingkungan yang meluas,” tulis Chandra dalam buku ‘Potret Konflik Agraria: Studi Kasus-Kasus Agraria di Aceh’.

Seperti konflik antara masyarakat Lhoong Kabupaten Aceh Besar dengan PT Lhoong Setia Mining (LSM) pada tahun 2010. Kegiatan penambangan bijih besi oleh perusahaan ini telah menimbulkan sejumlah kerusakan lingkungan dan pencemaran. Tindakan perampasan tanah juga terjadi di Desa Geunteut dan Jantang. Perusahaan melakukan sejumlah modus perampasan dengan cara peminjaman uang kepada masyarakat dengan syarat menyerahkan sertifikat tanah. Pihak perusahaan juga mengerahkan calo-calo dari mukim dan warga untuk menjual tanah dengan harga murah.

Konflik juga dialami oleh masyarakat di Desa Koto Menggamat, Kecamatan Kluet Tengah, Kabupaten Aceh Selatan dengan PT Pinang Sejahtera Utama yang bergerak di bidang eksploitasi bijih besi. Kegiatan penambangan telah merusak sebagian besar infrastruktur jalan desa dan meningkatkan polusi udara akibat operasional angkutan material PT PSU. Kasus-kasus pengambilan lahan masyarakat yang modusnya sama dengan yang dialami oleh masyarakat Kecamatan Lhoong, Aceh Besar juga terjadi di sana.

Dampak penambangan dialami masyarakat Desa Panton Luas, Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Selatan akibat dari pengelolaan emas tradisional. Pencemaran limbah merkuri (air raksa) yang bersumber dari residu (ampas) pengolahan emas tradisional di desa tersebut sudah sampai pada ambang batas yang mencemaskan. Kini ribuan warga yang bermukim di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Sawang itu terancam cacat fisik dan mental akibat terkontaminasi oleh limbah kimia berbahaya itu.

Izin Berbaur Deal Politik

Ditengarai, ada sejumlah izin yang diterbitkan itu adalah hasil deal konsesi politik menjelang pelaksanaan pemilukada di Aceh.

Mengutip catatan GeRAK pada tahun 2014, Chandra menuturkan bahwa pemerintah di tahun tersebut telah menerbitkan IUP/Kontrak Karya/IPR mineral logam dan batubara dengan jumlah total 134 izin. Ditengarai, ada sejumlah izin yang diterbitkan itu adalah hasil deal konsesi politik menjelang pelaksanaan pemilukada di Aceh.

“Tentunya kondisi ini berimplikasi pada kondisi keagrarian dan meningkatnya potensi korupsi serta semakin tingginya eskalasi konflik agraria di Aceh. Potensi korupsi di sektor pertambangan di Aceh terbuka mulai dari tahapan pelaksanaan pengurusan perizinan sampai dengan operasi produksi,” papar Chandra.

Dalam tahapan Pengurusan Perizinan IUP Ekplorasi oleh perusahaan dan gabungan SKPD (Distamben, KPTSP, Kehutanan, Bapedalda, Perkebunan), terendus potensi korupsi dalam bentuk penyalahgunaan izin kawasan hutan lindung dan hutan konservasi, over lapping kepemilikan lahan (tumpang tindih dengan izin lain), serta tidak transparannya mekanisme pengurusan izin oleh tim gabungan dan besarnya potensi pemalsuan dokumen AMDAL serta pembahasannya yang tidak melibatkan partisipasi publik.

Pada tahapan rekomendasi izin tim khusus ke Bupati dan Gubernur (penandatanganan IUP dan Izin Pencadangan Wilayah), lanjutnya lagi, juga kerap terjadi intervensi kepada tim pemberi izin untuk mempercepat proses dan mekanisme tahapan izin tambang. Chandra mencatat, Intervensi tersebut bisa berasal dari Tim Asistensi Pemerintah, keluarga kepala daerah, partai politik pengusung kepala daerah dalam proses pemilukada, dan Intervensi/tekanan dari para pimpinan KPA (panglima Sagoe)/eks Kombatan GAM/ Petinggi TNI/Petinggi POLRI atau pimpinan organisasi massa).

Selain itu, potensi korupsi juga terbuka melalui adanya penawaran saham 25 persen atau 35 persen kepada Bupati atau Gubernur oleh perusahaan untuk mendapatkan IUP.
Secara terpisah, paralegal LBH di Meulaboh, Safpuriyadi juga mengutarakan hal yang kurang lebih sama. Menurutnya, tahun ini yang sudah melalui sebuah pesta demokrasi, banyak perusahaan yang ikut mendukung kandidat tertentu.

“Dan ini memang sering kali terjadi. Konon lagi tahun 2019 nanti. Fakta memang bahwa perusahaan menjalin kerjasama penguasa, salah satunya beberapa partai politik untuk mendapat dukungan memenangkan Pilkada, masyarakat bisa melihat itu,” ujarnya.

Keterlibatan banyak aktor dalam konflik agraria ini, menambah rumit dan nyaris memupus optimisme masyarakat korban terhadap penyelesaian serangkaian kasus yang telah mengendap lama tanpa jalan keluar. Lantas, bagaimana posisi Qanun Pertanahan sebagai salah satu amanah Undang-Undang Pemerintah Aceh bakal diwujudkan?[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait