Bukannya semakin terang, penyelsaian kisruh di MPu Banda Aceh semakin tak menentu. Ombudsman Aceh meminta pembatalan plt dan melantik pengurus hasil Musda yang dinyatakan MPU Aceh cacat dan harus diulang. Sejumlah poin rekomendasi lainnya juga melanggar aturan Qanun Aceh No 2 tahun 2009 tentang MPU.
KISRUH di MPU Banda Aceh ini dimulai saat musyawarah dihelat di lantai empat Balai Kota Banda Aceh pada 16 dan 17 Mei 2017, berakhir dengan kabar tak mengenakkan. Walaupun Ketua MPU Kota Banda Aceh yang baru telah terpilih yakni Teungku Abdul Karim Syeikh, belasan peserta memprotes pemilihan tersebut.
Dari hasil pemilihan itu, sebagai ketua terpilih Teungku Abdul Karim Syeikh mendapatkan 52 suara. Di urutan kedua, ada DR Samsul Bahri yang mendapatkan 50 suara. Seterusnya Teungku Burhanuddin Abd Gani dengan 44 suara.
Terkait: Kisruh MPU Banda Aceh Semakin Kusut
Protes itu lalu dituangkan dalam selembar surat yang dikirimkan kepada Teungku Asnawi, ketua panitia musyawarah, pada 23 Mei. Di dalam kopian surat yang juga diterima Pikiran Merdeka, para pemrotes menilai ada beberapa aturan diterabas panitia. Aturan-aturan itu merujuk kepada Qanun Nomor 2 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama.
Ada dua poin penting yang dikritisi. Pertama, dugaan rekayasa pada undangan Musyawarah MPU Kota Banda Aceh. Lalu, ada ketidaksesuaian jumlah suara hitungan akhir sebanyak 68 kertas suara. Padahal, dari 74 peserta aktif musyawarah, 12 berhalangan, sehingga seharusnya peserta berjumlah 62 orang. Enam lembar kertas suara inilah diklaim tidak sesuai dengan jumlah peserta yang hadir.
Poin kedua, dugaan penggelembungan suara. Indikasinya, jadwal perhitungan suara meleset dari waktu yang ditetapkan dalam tata tertib sehingga menimbulkan kecurigaan karena semua unsur panitia juga menjadi peserta musyawarah. Indikasi lain, kotak suara dijaga oleh peserta aktif saat jeda dan hanya disimpan dalam kotak mie instan bekas.
Kala itu, kejanggalan lain yang diungkapkan Imum Masjid Al-Anshar Kampung Mulia, Teungku Syibral, yang ikut membubuhkan tanda tangan dalam surat tersebut. Ia mengatakan selama musyawarah berlangsung tak seorang pun anggota MPU Aceh hadir. Padahal, kata dia, ketika musyawarah serupa dilakukan di kabupaten dan kota lainnya, anggota MPU utusan provinsi selalu hadir.
Selain itu, pasal 17 ayat 1 Qanun Nomor 2 mensyaratkan calon anggota MPU kabupaten dan kota ditetapkan oleh MPU kabupaten dan kota dengan mempertimbangkan kualifikasi dan domisili. Faktanya, musyawarah MPU Kota Banda Aceh juga dihadiri peserta dari Aceh Besar. Ditambah lagi, kata Teungku Syibral, panitia mengundang 74 peserta aktif. Terdiri dari hasil paripurna 56 orang dan anggota MPU lama 18 orang. Hal ini melebihi calon anggota MPU yang hanya berjumlah 27 orang.
Penggugat mempersoalkan persyaratan umum peserta yang diperbolehkan untuk memilih dan dipilih sebagai pimpinan MPU, berusia minimal 40 tahun. Hal ini merujuk pada pasal 30 Qanun MPU tersebut. Ternyata, kata Teungku Syibral, ada peserta berusia di bawah 40 tahun juga diundang panitia.
“Seingat saya di dalam catatan, ada delapan orang. Jadi, undangan yang disampaikan kepada kami selaku imam masjid dan kalangan dayah berarti hanya rekayasa saja,” keluhnya.
Beberapa peserta yang berdomisili di luar Banda Aceh yang menjadi peserta musyawarah. Diantaranya calon anggota terpilih Dr Agusni Yahya yang beralamat di Tanjung Selamat dan Masrul Aidi yang tinggal di Cot Keueng, Aceh Besar. Selanjutnya, dalam mubes kemarin tidak dilakukan uji coba baca kitab kuning sehingga MPU Aceh menilai perlu dilakukan Mubes ulang.
Imbauan Memilih Kandidat Tertentu
Indikasi kecurangan pemilihan juga diungkapkan seorang sumber Pikiran Merdeka yang juga peserta musyawarah. Menurutnya, dalam surat undangan kepada peserta banyak berisi imbauan agar memilih kandidat tertentu. Ia sendiri mengetahuinya dari surat undangan peserta lain.
Ditambah lagi, ia punya hitungan berbeda soal jumlah peserta berusia di bawah 40 tahun. “Sudah kami hitung ada 11 orang yang nggak cukup umur. Padahal undangan untuk peserta yang bisa memilih dan dipilih itu harus 40 tahun,” ujarnya.
Ia menyayangkan kejadian tersebut karena terjadi secara terorganisir dan dilakukan oleh panitia musyawarah yang seharusnya netral. Namun, soal netral atau tidak, si sumber tak mau menyimpulkan hal tersebut dilakukan hanya untuk memenangkan kandidat tunggal.
“Jadi bukan cuma untuk satu calon saja. Dalam undangan resmi itu ada sembilan nama calon yang dituliskan. Jadi mereka ini sudah terlalu nampak sekali bermainnya,” keluh dia.
Sumber tersebut juga menyoroti peran ketua panitia musyawarah, Teungku Asnawi yang dinilai lepas tangan dan bertanggung jawab terhadap permasalahan yang terjadi saat ini.
Saat dikonfirmasi saat itu, Ketua panitia musyawarah ulama MPU Kota Banda Aceh, Teungku Asnawi membantah ada yang janggal dalam pemilihan tersebut. Ia menyatakan tak ada peraturan yang dilanggar. “Semua sudah kita upayakan penyelenggaraannya sesuai aturan, baik dari qanun maupun tata tertib yang kita buat,” ujar Teungku Asnawi, Sabtu pekan lalu.
Terkait surat protes, Asnawi mengaku belum mengetahui duduk masalahnya. Ia berencana mendiskusikan hal tersebut dengan peserta yang mengajukan keberatan.
“Barangkali Senin nanti kita akan coba pelajari apa persoalannya. Nanti kita akan coba telusuri bagaimana kira-kira ada pelanggaran atau tidak.”
Ketika disinggung adanya tuntutan agar dilaksanakannya musyawarah ulang, Asnawi menekankan hal tersebut mustahil bisa direalisasikan karena banyaknya persiapan ulang yang harus dilakukan lagi.
“Kita tidak bisa memuaskan keinginan semua orang. Jadi orang-orang yang keinginannya tak tercapai pasti tidak puas. Kecil sekali kemungkinan pelaksanaan ulang ini saya pikir. Karena menurut saya musyawarah ini sudah dilakukan sesuai aturan.”
MPU Aceh merespons surat walikota yang meminta bantuan penyelesaian kisruh ini, dengan memanggil kedua belah pihak. Pihak penggugat diundang pada Kamis, 17 September 2017. Dari pihak ini sebanyak 24 orang hadir untuk dimintai keterangan.
Lima hari kemudian tepatnya pada 19 September, pihak tergugat dipanggil untuk dikonfrontir dengan keterangan penggugat. Dari pihak tergugat hadir Ketua Panitia Tgk Asnawi, Ketua pengarah Tgk Burhanudin A Gani dan ketua MPU Banda Aceh 2012-2017 sekaligus ketua terpilih, Tgk Karim Syeikh. Sementara dari unsur MPU Aceh hadir seluruh pimpinan seperti Prof Muslim Ibrahim, Tgk HM Daud Zamzamy, Tgk H Faisal Ali, dan Tgk Hasbi Albayuni.
Hasilnya, pada 16 Oktober 2017 MPU mengeluarkan surat yang menerangkan bahwa ada pelanggran dalam pelaksanaan mubes dan harus diulang. Surat itu ditandatangani langsung oleh Prof Muslim.
Surat ini dibalas Walikota Banda Aceh Aminullah Usman. Dalam surat pertanggal 26 Oktober itu, Aminullah meminta Ketua MPU Aceh menunjuk Plt Ketua MPU kota. Beberapa hari berselang, permohonan ini direspons MPU dengan menunjuk Tgk Hasbi Albayuni berdasarkan surat yang diteken Prof Muslim pada 30 Oktober 2017.
Meski sudah ditunjuk Hasbi Albayuni sebagai Plt Ketua MPU Banda Aceh, namun Aminullah baru mengeluarkan SK pengangkatan Abi Bayu dua bulan berselang. Tepatnya pada 29 Desember, dalam Keputusan Walikota Banda Aceh Nomor 516 tahun 2017.
Tahapan pemilihan ulang berhenti
Ditengah usaha Plt Ketua Tgk Hasbi Albayuni menyusun pelaksanaan Musyawarah MPU Banda Aceh, surat dari Ombudsman Aceh dianggap seperti petir di siang bolong. Abi Bayu, begitu Hasbi Albayuni disapa telah melaksanakan tahapan pemilihan di tingkat kecamatan. Dimana ada enam utusan kecamatan yang berganti, dari Sembilan utusan kecamatan di Banda Aceh.
Laporan Tgk Burhanuddin A Gani Walikota Aminullah Usman ke kepada Ombudsman Aceh atas dugaan maladministrasi pada pengesahan Plt memaksa tahapan yang dilakukan Abi Bayu terpaksa berhenti.
Salah serang utusan kecamatan, Waled Bukhari dari Kecamatan Baiturrahman mengatakan tiga kali rencana musyawarah ulang gagal berlangsung. Yang pertama pada tanggal 13 Februari 2018 urung terjadi karena masalah pendanaan. Lalu sepekan kemudian pada 20 Februari juga dibatalkan karena Ombudsman sudah masuk dalam kasus ini.
Sedangkan pada 1 Maret yang direncanakan akan digelar musyawarah ulang di tengah ketidakpastian tersebut, Plt Ketua Abi Bayu berangkat menunaikan ibadah umrah. Hal ini juga karena laporan pemeriksaan Ombudsman Aceh kala itu sudah terbit.
“Padahal upaya yang dilakukan Abi Bayu yang dibackup oleh Prof Muslim sebagai ketua pengarah pemilihan ulang serta wakilnya Abu Daud dan Lem Faisal kembali harus berhenti,” ujar Waled Bukhari Sabtu dua pekan lalu.
Sementara itu, saat ditemui Pikiran Merdeka Kamis 22 Maret 2017, Muslim Ibrahim mengaku sudah menerimasurat dari Walikota tersebut dan menyerahkan keputusan tersebut kepada walikota.
“Ombudsman ada juga mengirim hasil nya kepada kami yang isinya mengenai sejumlah tawaran kepada pak wali. Kini pak wali cenderung mempertimbangkan keputusan Ombudsman. Saya kira itu bagus dan saya fikir ini sesuatu hal yang baik karena sudah dipertimbangkan dengan ombudsman. Yang penting sekarang ini menyelesaikan masalah. Kita juga sudah mencoba menyelesaikan masalah. Kebetulan dalam hal ini tidak terjadi menurut saran MPU Aceh namun bisa saja seperti saran dari pihak lain. Yang penting permasalahnnya segera terselesaikan,” jelas Muslim.
Sejumlah kalangan menilai termasuk para penggugat yang keberatan hasil musyawarah MPU Banda Aceh, langkah Walikota terhadap surat koreksi atas keputusannya sendiri dinilai terlalu terburu-buru. Mengingat penyelesaian kasus MPU Kota sudah berjalan di tingkat kecamatan dan tinggal melkaukan Mubes ulang saja.
“Tanpa menimbang adanya sederet kejanggalan dan kecacatan hukum pada surat Ombudsman, Pak Amin langsung mengelurkan selembar surat atas koreksi hasil keputusan sebagaimana disarankan Ombudsman. Sangat terburu-buru,” sesal pensiunan pegawai Kemenag Aceh ini.[]
Belum ada komentar