IPM Indonesia dan Masalah Pemerataan Pendidikan

IPM Indonesia dan Masalah Pemerataan Pendidikan
Ilustrasi. (IST)

Pendidikan merupakan salah satu variabel ukuran kemajuan suatu bangsa. Pendidikan juga menjadi tolak ukur keadaban seorang manusia dan suatu negara.

Tahun 1990, Amarty Sen peraih nobel asal India memperkenalkan konsep ukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Konsep ini kemudian diadopsi oleh PBB menjadi tolak ukur program Human Development Index (HDI) berbagai negara.

Amarty mengemukakan ada tiga komponen pencapaian IPM. Pertama, komponen usia harapan hidup sehat yang diukur melalui hidup sehat dan umur panjang serta harapan saat kelahiran.

Kedua, komponen pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa dengan bobot 2/3 dan kombinasi pendidikan dasar, menengah dan atas dengan bobot 1/3. Ketiga, Standar kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari produk domestik bruto perkapita dalam paritas daya beli.

Badan PPB Urusan Program Pembangunan (UNDP) melansir IPM Indonesia 2015 mengalami kenaikan yang positif. IPM Indonesia menempati peringkat ke 110 dari 187 negara, dengan nilai indeks 0,684.

Menurut UNDP terdapat empat indikator yang digunakan untuk mengukur IPM Indonesia, yakni angka harapan hidup sebesar 68,9, harapan tahun bersekolah 13,0, rata-rata waktu sekolah yang sudah dijalani oleh orang berusia 25 tahun ke atas sebesar 7,6 dan pendapatan nasional bruto per kapita 9,788.

Meski demikian, IPM Indonesia saat ini masih tertinggal dari rata-rata Negara ASEAN lain hanya masih unggul lebih baik dari Vietnam dan Kamboja.

 

Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia

Pendidikan merupakan salah satu indikator capaian IPM. Berdasarkan data statistika BPS 2015, dimensi pengetahuan pada IPM terdiri dari dua indikator, yaitu Harapan Lama Sekolah dan Rata-rata Lama Sekolah.

Indikator ini terus meningkat dari tahun ke tahun, sepanjang priode 2010 hingga 2015 saja, harapan lama sekolah di Indonesia telah meningkat sebesar 1,26 tahun, sementara rata-rata lama sekolah meningkat 0,38 tahun.

Secara rata-rata penduduk Indonesia usia 25 tahun ke atas telah mengenyam pendidikan hingga kelas VII (SMP kelas II). Dari data tersebut bisa dianalisa adanya peningkatan IPM, namun peningkatannya tidak segnifikan.

Target pemerintah mencanangkan kebijakan wajib belajar 9 tahun masih jauh dari yang dicanangkan karena rata-rata pendidikan penduduk Indonesia usia 25 tahun hanya dapat mengenyam sampai SMP.

Menurut Wasliman dalam bukunya yang berjudul Problematika Pendidikan Dasar terdapat beberapa permasalahan krusial dalam sistem pendidikan kita. Pertama, terkait pemerataan aksebilitas pendidikan.

Kedua, terkait mutu pendidikan; ketiga, efisiesi pendidikan di Indonesia; keempat, lemahnya manajemen pengelolaan pendidikan dari lembaga atau institusi pendidikan itu sendiri.

Penulis sendiri beranggapan masalah pemerataan aksebilitas pendidikan yang merupakan masalah utama Indonesia saat ini tentu saja tanpa menegasikan permalahan lainnya.

Pemerataan Pendidikan

Coleman dalam bukunya Equality of Educational Opportunity mengemukakan secara konsepsional konsep pemerataan pendidikan, yakni: pemerataan aktif dan pemerataan pasif.

Menurutnya, pemerataan pasif lebih menekankan kesamaan memperoleh kesempatan mendaftar di sekolah, sedangkan pemerataan aktif bermakna kesamaan dalam kesempatan terdaftar memperoleh hasil belajar setinggi-tingginya.

Konsep pemerataan aktif yang dikemukakan coleman seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam merancang kebijakan sebagai upaya mengatasi rendahnya rata-rata pendidikan orang Indonesia yang saat ini kondisinya masih terjadi ketimpangan antar propinsi.

Berdasarkan data BPS 2015, pencapaian pembangunan manusia di berbagai tingkat provinsi terjadi kejomplangan pada dimensi harapan sekolah misalnya antara 9,95 tahun (Papua) hingga 15,03 tahun (DI Yogyakarta).

Artinya harapan sekolah di Propinsi Papua rata-rata di tingkat SD kelas 4 sedangkan harapan sekolah di DI Yogyakarta rata-rata sampai tingkat SMP kelas III.

Sedangkan, rata-rata lama sekolah berkisar antara 5,99 tahun (Papua) hingga 10,70 tahun (DKI Jakarta) artinya lama sekolah antara Papua dan DKI Jakarta cukup jauh. Lama sekolah di Papua hanya lulus SD sedangkan propinsi DKI Jakarta sampai D1.

Epilog

Berdasarkan hal di atas, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan pemerataan sektor pendidikan memiliki kaitan secara tidak langsung. Menurut penulis terdapat empat poin yang perlu segera dilakukan pemerintah.

Pertama, permasalahan pemerataan dapat terjadi karena kurang tergorganisirnya pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, bahkan hingga daerah terpencil sekalipun. Hal ini menyebabkan terputusnya komunikasi antara pusat dengan daerah.

Selain itu masalah pemerataan juga terjadi karena kurang berdayanya suatu lembaga pendidikan melakukan proses pendidikan, hal ini bisa saja terjadi jika kontrol pendidikan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah tidak menjangkau daerah-daerah terpencil.

Kedua, permasalahan pemerataan pendidikan juga sangat terkait dengan disharmonisnya berbagai program kerja antar instansi pemerintah/lembaga pemerintah. Sehingga perlu segera penyelarasan program namun harus memiliki satu rel kebijakan bersama di bawah satu komando yaitu di bawah Bappenas RI sebagai leading sektor-nya.

Ketiga, permasalahan pemerataan pendidikan juga terjadi karena terbatasnya sekolah dan sarana belajar di daerah terpencil. Perlunya membuat gerakan baru untuk mempercepat akselerasi dengan mencanangkan “Gerakan 1 Desa 1 sekolah”.

Sehingga diharapkan kendala pemerataan akses pendidikan bisa terus berkurang, sehingga indeks rata-rata orang berusia di atas 25 tahun terus mengalami peningkatan. Sehingga IPM Indonesia pun bisa terus merangkak naik secara signifikan dan menjadi yang terbaik di ASEAN.

Munadhil Abdul Muqsith
Dosen Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

Sumber: RMOL

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait