KPR Subsidi bagi masyarakat ekonomi lemah ditengarai lebih banyak dinimati kalangan ekonomi mapan. Sebagian jadi ajang investasi pejabat.
Beberapa pekerja bangunan lalu-lalang sembari menjinjing peralatan keraja di Kompleks Perumahan Kota Baru Regency, Desa Gue, Kecamatan Kota Baru, Aceh Besar, Sabtu pekan lalu. Mereka baru saja pulang dari proyek pengerjaan sebagian rumah dalam kompleks tersebut.
Salah seorang pekerja bangunan menuturkan, proyek pembangunan rumah di kompleks tersebut sudah memasuki tahap II. Sementara pengerjaan tahap I sudah selesai dan sebagian besar unit rumah sudah mulai ditempati.
“Kalau yang tahap II ini sekitar 200 unit dan banyak yang belum selesai. Jadi rumahnya masih banyak yang kosong,” ujarnya.
Selain rumah, di depan gerbang masuk kompleks tersebut juga dibangun toko sekitar delapan unit, masing-masing di sisi kiri dan kanan sebanyak empat unit. “Ini nggak subsidi, tapi dijual untuk umum. Jadi bagi yang ingin punya toko bisa beli yang ini,” sambung pekerja tersebut.
Kompleks perumahan tersebut merupakan hunian cluster bersubsidi tipe 36 yang dibundel dalam program Kredit Pemilikan Rumah Bank Tabungan Negara (KPR BTN) Subsidi kerja sama PT BTN Persero dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR).
Harga rumah subsidi di kompleks tersebut berkisar sekitar Rp150 jutaan. Sedangkan angsurannya sekitar Rp700 ribu hingga Rp800 ribu per bulan untuk jangka waktu 15 sampai dengan 20 tahun. Sementara uang muka atau down payment (DP) sekitar Rp25 juta untuk tahap I dan Rp36 juta untuk tahap 2.
Kredit perumahan subsidi ini merupakan wujud komitmen pemerintah melalui Kemen PUPR untuk mendukung Program Sejuta Rumah bagi rakyat Indonesia.
Diharapkan, dengan adanya program ini pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), terutama pekerja di sektor informal yang jumlahnya diprediksi mencapai 6,5 juta orang, bisa terpenuhi.
Dilansir laman resmi Bank BTN, KPR BTN Subsidi ini diberikan dengan suku bunga rendah dan cicilan ringan dan tetap sepanjang jangka waktu kredit.
Beberapa keunggulannya antara lain suku bunga 5 persen tetap sepanjang jangka waktu kredit, uang muka mulai dari 1 persen, dan jangka waktu maksimal hingga 20 tahun.
Untuk persyaratannya, di antaranya pemohon yang mengajukan belum memiliki rumah dan belum pernah menerima subsidi pemerintah untuk pemilikan rumah serta penghasilan pokok yang tidak melebihi Rp4 juta per bulan.
Sebelumnya, pada 2014 Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) sudah mengingatkan agar masyarakat yang telah memiliki rumah subsidi untuk tidak menjualnya kepada orang lain.
Hal tersebut ditegaskan karena rumah subsidi ini tidak ditujukan untuk investasi, namun untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR.
“Bagi masyarakat yang melanggar ketentuan pengalihan rumah maka mereka akan dikenakan sanksi berupa pembatalan jual beli rumah ke pengadilan, rumah tersebut diambil alih oleh pemerintah, harga penggantian sesuai harga perolehan awal, mengembalikan kemudahan/ bantuan pemerintah serta sanksi pidana sesuai Pasal 152 UU Nomor 1 Tahun 2011 dan Pasal 115 UU Nomor 20 tahun 2011,” kata Deputi Bidang Pembiayaan Sri Hartoyo dikutip Tribunnews, Kamis, 26 Juni 2014.
DINIKMATI ORANG KAYA
Namun, yang terjadi di lapangan malah sebaliknya. Di kompleks Kota Baru Regency ini misalnya. Pantauan di lokasi, berbagai jenis mobil seperti Nissan Grand Livina, Honda Civic, Toyota Avanza, Suzuki Ertiga dan mobil dengan merek lainnya tampak terparkir di sebagian rumah yang ada dalam kompleks tersebut.
Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi finansial para pemohon yang ditetapkan dalam persyaratan kredit, yakni masyarakat berpenghasilan rendah yang dibuktikan dengan penghasilan di bawah Rp4 juta per bulan. Selain itu, oknum pejabat juga diduga memanfaatkan harga murah rumah subsidi ini untuk ajang investasi.
Sumber Pikiran Merdeka menuturkan, sejumlah pejabat diketahui memiliki rumah di dalam kompleks tersebut. Di antaranya, ia menyebutkan seorang oknum pejabat teras di Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Aceh. Oknum tersebut bahkan memiliki lebih dari satu unit rumah.
“Satu lagi punya adiknya. Tapi kan nggak mungkin pakai nama dia, mungkin pakai nama orang lain, ya kita nggak tahu,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Rabu pekan lalu.
Kemudian, ada juga oknum anggota DPRK, pejabat di salah satu dinas di Aceh Jaya, dan kepala sekolah salah satu SMA di Pidie. Mereka umumnya mengambil KPR subsidi tersebut untuk berinvestasi.
“Biasanya, mereka yang dari luar daerah datang kemari pada hari Sabtu dan Minggu. Kadang nanti sudah datang (mobil) Innova plat merah, ada juga (mobil) double cabin. Jadi udah dibuat kayak vila,” tambahnya.
Padahal, sambung sumber itu, dalam kontrak Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah antara Bank BTN dengan debitur, pada pasal 14 ayat (5) disebutkan bahwa debitur dilarang untuk menyewakan, menjual atau mengizinkan penempatan atau penggunaan maupun menguasakan rumah kepada pihak lain.
Selain itu, dalam pasal yang sama juga debitur tidak diperbolehkan untuk mengubah bentuk atau konstruksi rumah yang mengakibatkan berkurangnya nilai agunan. Namun, menurut pengakuan sumber tersebut, yang terjadi justru demikian.
“Rumah tipe 36 ini malah dipermak jadi tipe 90. Rumah pun jadi lebih besar. Padahal kalau mengacu pada kontrak, ini bisa kena sanksi dan dicabut subsidinya,” akunya.
Pantauan Pikiran Merdeka di lokasi juga mendapati hal serupa. Tampak salah satu rumah di kompleks tersebut sudah diperluas bangunannya hingga ke bagian belakang rumah.
Sumber itu juga menuding developer (pengembang) kompleks perumahan tersebut, yaitu MC Kons ikut ‘bermain’ dengan memanipulasi luas tanah yang ada dalam kontrak debitur di sertifikat rumah.
“Misalnya luas tanah 120 meter persegi. Dalam kontrak dengan debitur tetap ditulis 100 meter persegi, sementara dalam sertifikatnya ukran tanah sudah menjadi 120 meter persegi. Jadi developer bermain di sini, mereka dapat keuntungan. Pihak Bank (BTN) tidak tahu,” katanya.
Manager Technical MC Kons, Roni Hariza beralasan hal itu dilakukan karena permintaan debitur sendiri. Menurutnya, lahan yang tersedia di Aceh masih relatif luas dan harganya juga masih terjangkau. Karena itu, debitur ada yang mau tanahnya lebih luas.
“Kita di sini juga tidak menutup kemungkinan kalau ada konsumen yang mau tanah lebih besar, ya silakan dengan konsekuensi harus ada penambahan harga. Cuma di kontrak tetap kita buat 100 meter. Kita kembalikan ke konsumen, artinya ada konsumen yang memang tidak mau tinggal di tanah yang kecil. Makanya kita sediakan tanah yang lebih luas,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Kamis pekan lalu.
Terkait adanya oknum pejabat atau orang berpenghasilan lebih yang ‘lolos’ sebagai debitur KPR Subsidi, Roni berdalih peran pihaknya hanya di proses awal sewaktu menjaring persyaratan debitur yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan KPR Subsidi.
“Yang kita layani si pembelinya, artinya siapa di belakang mereka kita nggak tahu. Memang ada yang menggunakan nama orang lain, cuma kita tetap mengacu pada siapa yang mau jadi debitur, itu yang kita saring. Persyaratannya cocok dan sesuai, ya kita lewatkan. Kalau kemudian hari ketahuan atas nama orang lain, ya kita mau bilang apa,” ujarnya.
Ia menyebutkan sebenarnya dari Kemen PUPR ada pengecekan berkala 6 bulan sekali untuk melihat kelayakan debitur penerima manfaat KPR Subsidi. Misalnya, jika kedapatan ada yang merenovasi rumah dari tipe 36 ke tipe lainnya atau punya penghasilan lebih, Kemen PUPR akan memberikan sanksi.
“Misalnya pencabutan subsidi. Kalau dari developer sendiri tak ada sanksi khusus, sanksinya langsung dari Kemenpera. Kalau dari kami developer sendiri, sebenarnya ini (renovasi rumah) juga termasuk pelanggaran karena rumah subsidi juga jadi tak tepat sasaran,” akunya.
Kepala Cabang Bank BTN Banda Aceh, Andi Rukmono yang coba dikonfirmasi Pikiran Merdeka terkait hal ini saat didatangi kantornya di kawasan Peunayong, Banda Aceh, Jumat pekan lalu, sedang berada di luar dan tak bisa dihubungi.
“Bapak lagi di luar daerah, nanti hari Senin aja balik lagi kalau mau wawancara,” ujar salah seorang pejabat di bank umum milik negara itu.
PENGAWASAN TAK KETAT
Pengamat ekonomi Unsyiah, Rustam Effendi mengatakan fungsi pengawasan menjadi faktor krusial yang dipertanyakan terkait permasalahan ini. Karena itu, pengawasan di daerah harus diperketat lagi dan ditelisik pihak mana saja yang diuntungkan dalam hal ini.
“Menurut saya ada dua kemungkinan yang terjadi dalam kasus ini, pertama masih lemahnya pengawasan di tingkat lokal. Dan kedua, bisa jadi debitur masyarakat berpenghasilan rendah yang sudah mendapatkan subsidi rumah sebagai penerima manfaat juga ada yang menjual untuk orang lain lagi. Ini kan harus dilihat juga,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Sabtu pekan lalu.
Ia menilai peran Kemen PUPR menggalakkan Program Sejuta Rumah untuk masyarakat Indonesia itu sudah bagus karena adanya upaya mengentaskan kemiskinan dengan memberikan subsidi bagi masyarakat kurang mampu. Namun, lemahnya pengawasan di daerah masih menjadi kendala hingga saat ini.
“Niat baik pemerintah pusat harus dihargai. Jadi kita juga jangan selalu menyalahkan tindakan pusat. Namun pusat dalam hal ini juga jangan asal kasih. Harus ada distribusi pengawasan di tingkat lokal,” kata Rustam.
Dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah itu menjelaskan, pemerintah pusat juga bertanggung jawab terkait kemungkinan adanya penyalahgunaan KPR Subsidi ini. Mereka harus punya perwakilan yang bertugas sebagai pengawas di daerah.
“Jangkauan mata pusat ini kan terbatas nggak sampai ke daerah. Karena itu, pemerintah pusat harus punya kaki tangan untuk mengawasi berbagai tindakan penyelewengan yang selama ini terjadi di daerah terkait KPR Subsidi ini,” pungkasnya.[]
Belum ada komentar