Pembangunan hotel milik Illiza Sa’aduddin Djamal terus dipacu. Gedung megah itu ditengarai tak mengantongi IMB.
Oleh Arief Maulana
Bangunan megah tiga lantai di Jalan Gabus, Desa Bandar Baru, Lampriek itu masih tertutup seng. Di balik pagar seng setinggi 2 meter, terlihat beberapa pria sedang mengerjakan bagian dalam ruangan yang menyerupai lobi hotel.
Ya, bangunan tiga lantai di Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, yang awalnya dibangun untuk pertokoan itu sejak setahun terakhir direnovasi untuk dijadikan penginapan.
Menurut informasi diperoleh Pikiran Merdeka, hotel tersebut belum mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Melainkan menggunakan IMB lama untuk pembangunan ruko yang dipegang pemilik tanah sejak awal pendirian bangunan tersebut.
Menurut masyarakat sekitar, bakal hotel itu dibangun di tanah warisan orang tua dari Walikota Banda Aceh saat ini, Illiza Sa’aduddin Djamal. Tanah milik Sa’aduddin Djamal itu dibagi kepada semua anaknya. Disebut-sebut, tanah yang dijadikan hotel saat ini sudah menjadi milik Illiza.
Kepada Pikiran Merdeka, seorang tukang bangunan hotel tersebut mengaku gedung itu milik Amir Ridha—suami Illiza Sa’aduddin Djamal. Kata dia, biasanya Amir Ridha sering mengawasi langsung pekerjaan mereka.
“Bang coba tanya sama abang itu, dia penanggung jawabnya,” tunjuknya ke arah pria di dalam hotel tersebut.
Mahdi, penanggung jawab proyek tersebut membenarkan bangunan itu akan dijadikan penginapan. Ia menunjuk kepemilikan hotel itu adalah keluarga Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal. Mahdi menyebut nama Amir Ridha yang merupakan suami Illiza sebagai pemiliknya.
Namun dia mengaku tak tahu soal keberadaan IMB hotel tersebut karena hanya mengurusi interior ruangan. Ia juga mengaku tak punya akses langsung dengan Amir Ridha.
”Saya tak punya nomor hape Pak Amir dan dia tak punya nomor hape saya. Biasanya saya berkomunikasi melalui bos di atas saya lagi,” kilah Mahdi, yang ditemui Pikiran Merdeka, Jumat, 25 Maret 2016.
Ia menolak berkomentar panjang. Alasannya, pembangunan tersebut sudah dimulai sebelum dirinya terlibat dalam proyek itu. Ia meminta Pikiran Merdeka untuk meminta penjelasan langsung kepada Amir Ridha. “Tahu kan rumahnya Pak Amir? Di rumah dinas walikota,” sambungnya.
Keuchik Gampong Bandar Baru, Mahyuni membenarkan informasi tersebut. Ia mengakui bangunan itu milik keluarga Illiza. Sebelumnya di tanah itu berdiri rumah almarhum Sa’aduddin Djamal. Namun, setelah almarhum berpulang, aset tanah tersebut dibagi untuk anak-anaknya.
Setelah bencana tsunami, di atas tanah tersebut kemudian dibangun ruko tiga lantai. Keuchik Mahyuni tak tahu pasti nama pemilik toko tersebut. Namun ia memastikan ruko itu dibangun di atas tanah milik keluarga Illiza. Sementara itu, di samping bangunan itu berdiri ruko yang dimiliki mantan Gubernur Aceh, Syamsuddin Mahmud.
“Itu lokasinya di atas rumah bapaknya Buk Eli (Illiza Sa’aduddin Djamal). Nomor rumah lama mereka, nomor 30, 38, 40,” kata Mahyuni, Kamis pekan lalu.
“No 40, kapling itu milik Pak Samsuddin Mahmud. Kita tidak tahu apa sudah dibagi-bagi. Di sebelahnya ada yang milik Pak Syamsuddin Mahmud dan punya ayah Ibu Eli (Alm Sa’aduddin Djamal). Apakah kemudian sudah dibagi-bagi untuk anak-anaknya dan jatuh ke tangan Buk Eli, kita gak tau, karena prosesnya nggak melalui kita,” ujar Mahyuni.
Mahyuni hanya tahu kalau bangunan itu awalnya berupa ruko dan memiliki IMB. Namun, terkait pengalihannya menjadi hotel, pihak pemilik maupun pengelola belum memberitahukan secara resmi kepada perangkat desa.
Sepengetahuannya, kata Mahyuni, bangunan tersebut dialihfungsikan menjadi hotel setelah pengelola hotel menyampaikan surat pinjam pakai lahan di belakang hotel kepada pihak desa. Dalam surat tersebut tertulis perjanjian pinjam pakai. Lahan itu diketahui pemiliknya tidak tinggal di Aceh dan kini menetap di Jakarta.
“Ini tanah perjanjiannya pinjam pakai. Jadi, kalau bulan depan diambil oleh pemilik tanahnya juga sah,” beber keuchik.
Saat Pikiran Merdeka mencoba mengklarifikasi soal IMB bangunan hotel tersebut kepada Camat Kuta Alam, beberapa staf di sana dengan spontan menjawab hotel itu dimiliki oleh Amir Ridha. Namun tak diketahui apakah bangunan tersebut sudah mengantongi IMB.
Sambung seorang staf lainnya, tanah itu awalnya milik keluarga besar Illiza. Namun setelah alm Sa’aduddin Djamal meninggal, aset tersebut dibagi kepada anak-anaknya. “Mungkin tanah itu jatuh ke tangan Buk Walikota dan dibangun hotel oleh suaminya,” terangnya.
Masih kata sumber tadi, di antara hotel dan tanah di belakangnya yang kini dijadikan lahan parkir itu, dibatasi saluran pembuangan. “Itu tolong dipastikan juga agar saluran itu tak ditutup. Kalaupun ditutup harus dibuat gorong-gorong agar pada saat hujan nggak gampang tersumbat,” sebutnya.
Informasi diperoleh Pikiran Merdeka, saluran pembuangan air gampong saat ini sudah dicor dan terkena bangunan hotel. Akibatnya, air pembuangan melalui saluran tersebut sedikit tersendat bila musim hujan. Sebelumnya, saluran itu menjadi pembatas tanah lahan parkir dengan tanah yang kini dibangun hotel.
Selain itu, pembangunan pagar belakang hotel juga diduga mencaplok lahan milik warga yang saat ini dijadikan lahan parkir hotel. “Tanah parkir itu baru ditimbun sekitar dua bulan lalu oleh pak Idris, warga yang tinggal di dekat hotel. Jadi perlu dipertanyakan, bagaimana proses penerbitan IMB hotel, karena baru dua bulan lalu ada lahan parkir, sementara bangunannya sudah lama,” kata warga setempat.
Sementara Camat Kuta Alam, Ria Jelmanita S.Sos yang ditemui di ruang kerjanya, Rabu, 23 Maret lalu, mengaku tak mengetahui keberadaan ruko yang akan dialihfungsikan menjadi hotel. Ia juga tak kenal pemilik bangunan itu karena baru setahun bertugas sebagai Camat Kuta Alam.
Ria menepis kabar yang menyebutkan hotel tersebut milik keluarga walikota. Ia meminta Pikiran Merdeka untuk tak menggubris informasi yang diberikan oleh stafnya bahwa hotel tersebut milik keluarga besar Illiza.
“Saya baru di sini, Bang. Jadi tak tahu pasti siapa yang punya. Tapi jangan didengar kalau mereka (staf) bilang itu punya Buk Eli, itu nggak benar. Nanti saya akan cek dulu,” ujar Camat Ria. “Nanti abang coba cek lagi ke KP2TSP.”
Mantan Camat Baiturrahman ini malah balik mempertnyakan mengapa bangunan itu disoal. Menurutnya, jika bangunan tersebut tak punya IMB pastinya pemilik bangunan tak berani mendirikan sebelum KP2TSP mengeluarkan izinnya.
Walikota Banda Aceh Illiza Sa’adudiin Djamal ketika dikonfirmasi mengakui hotel di Jalan Gabus tersebut adalah milik keluarganya. Menurut di, hotel tersebut dibangun di atas tanah warisan orang tuanya. Namun, ia memastikan bangunan itu sudah memiliki IMB. “Tidak ada masalah, bangunan hotel punya IMB, dan saya bayar pajak,” ujar Illiza.
Walikota menyebutkan, pihaknya telah menghabiskan uang puluhan juta rupiah saat pengalihan IMB dari status sebelumnya menjadi hotel. Namun ia mengaku tak ingat lagi kapan status perubahan IMB tersebut, karena sudah lama selesai diurusnya.
Penyangkut proses IMB diperolehnya sejak lama padahal tempat parkiran hotel tersebut baru tersedia dua bulan lalu, Illiza mempersilahkan untuk mempertanyakannya kepada KPPTSP selaku pihak yang menerbitkan IMB.
“Silahkan tanya ke pemberi izin IMB. Silahkan juga tanya Pak Keuchik. Silahkan tulis saja informasi apa yang diperoleh,” kata Illiza dengan nada tinggi.
Sedangkan Kepala Kantor Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu (KPPTSP) Banda Aceh, Dra Salmiah yang ditemui di ruang kerjanya pada Rabu, 23 Maret 2016, mengaku tak tahu detil terkait IMB hotel tersebut. Ia meminta Pikiran Merdeka untuk kembali esok hari.
Ia berjanji akan mengecek dokumen perizinan bangunan tersebut sebelum memberikan keterangan. Namun, ketika dijumpai keesokan harinya, Kamis 24 Maret, Salmiah tak berada di tempat. Ia sedang berada di luar kantor. Stafnya berujar, belum diketahui jam berapa Salmiah kembali ke kantor.
Saat dihubungi melalui sambungan telepon, Salmiah menyatakan dirinya belum memeriksa berkas-berkas tersebut. Ia berdalih tengah banyak pekerjaan yang sedang ditangani oleh stafnya, sehingga belum sempat memeriksa arsip IMB bangunan tersebut.
“Saya tak bisa ngomong terkait IMB-nya karena saya belum lihat dokumen, jadi saya tak bisa beri komentar apa-apa,” jawab Salmiah di ujung telepon.
Meski begitu, ia menegaskan, bangunan tersebut adalah bangunan lama sebelum kewenangan perizinan diberikan kepada KP2TSP sekitar tahun 2007. Sebelumnya, kewenangannya masih berada di Dinas Tata Kota Banda Aceh.
“Setiap perubahan atau alih fungsi bangunan harus mengubah IMB. Itu kententuannya. Karena ini kan menyangkut jiwa manusia,” tegas Salmiah.
Ia mencontohkan, ada salah satu bangunan yang mengajukan pengalihan bangunan menjadi hotel. Pengelola wajib melengkapi persyaratan, jika tidak, pihaknya tak akan mengeluarkan izin operasional hotel tersebut.
“Kita akan melihat kajian teknisnya, dengan melihat struktur kontruksinya hingga ketersediaan lahan parkir hotel tersebut. Misalnya saja baru-baru ini ada yang mengajukan pengalihan IMB, namun belum saya proses,” sambungnya.
Dalam kasus pengalihan IMB seperti ini, kata Salamah, sebelum diterbitkannya IMB menjadi hotel, terlebih dahulu tim teknis dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Banda Aceh akan memeriksa kelayakan struktur dan perhitungan kontruksi bangunan tersebut.
Selain itu, sebutnya, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi seperti analisis dampak lingkungan (Amdal) atau UPL dari badan lingkungan hidup serta rekomendasi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) terkait penanggulangan bahaya kebakaran dan kajian parkir untuk bangunan yang akan memberikan dampak kemacetan lalu lintas yang dikeluarkan oleh Dinas Perhubungan.
“Nantinya jika tim teknis PU sudah menilai struktur dan kontruksi tersebut dan mengeluarkan rekomendasi kepada KP2TSP, baru kemudian kami (KP2TSP) menerbitkan IMB baru atas bangunan hotel tersebut,” ujar Salmiah yang mengaku sudah dua tahun menjabat kepala di kantor itu.
“Jika ada pengusaha yang tak mengurus IMB pengalihan dari bangunan sebelumnya, itu di luar tanggungjawab kami. Kita ini derah rawan bencana, jadi tak boleh sembarangan dalam pembangunan apalagi bangunan publik yang menyangkut hidup orang banyak,” tegasnya.
Namun ia menekankan, sebelum memulai pembangunan hotel yang merupakan alih fungsi dari ruko mestinya pemilik bangunan harus mengubah IMB tersebut. “IMB ini kan izin membangun, beda dengan izin operasional. Makanya jika ingin membangun, ubah dulu IMB-nya.”
Karena itu, Salmiah mengaku harus membongkar file lama untuk memeriksa arsip IMB bangunan tersebut. Meski begitu, selama ia menjabat, Salmiah memastikan belum mengeluarkan IMB sebagai hotel atas bangunan milik keluarga Illiza itu. []
Diterbitkan di Rubrik KOTA Tabloid Pikiran Merdeka edisi 117
Belum ada komentar