Sengketa HGU PT Asdal, Pansus DPRK Aceh Selatan Datangi Kementrian  

Sengketa HGU PT Asdal, Pansus DPRK Aceh Selatan Datangi Kementrian  
Ilustrasi kebun sawit

PM, TAPAKTUAN – Tim Pansus DPRK Aceh Selatan bertolak ke Jakarta guna menemui sejumlah pejabat di kementrian dan Komisi IV DPR RI terkait penyelesaian sengketa lahan sawit antara warga dengan PT Asdal Prima Lestari.

Salah seorang anggota Tim Pansus, Alja Yusnadi STP mengaku sudah menjumpai pejabat terkait di Badan Pertanahan Negara (BPN) di Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan pejabat di Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, serta Komisi IV DPR RI yang membidangi pertanian, perkebunan dan kehutanan.

Dalam pertemuan tersebut, kata Alja, Kementrian menyarankan Pemkab Aceh Selatan dan Pemerintah Aceh agar membagi dua lahan HGU PT Asdal. Sebab lahan HGU yang luasnya mencapai 5.074 hektar berada di dua daerah, yakni wilayah Aceh Selatan dan Subulussalam. Dengan kondisi seperti itu, pengurusan izin operasional PT Asdal seharusnya dikeluarkan Pemerintah Aceh.

“Jika lahan HGU dibagi dua sesuai batas wilayah masing-masing, maka izin HGU PT Asdal bisa dikeluarkan oleh daerah masing-masing. Hal ini bisa menjadi celah untuk dilakukan revisi HGU PT Asdal. Dengan demikian, keinginan selama ini untuk mengeluarkan lahan yang disengketakan karena diklaim milik tanah ulayat dan tanah adat milik masyarakat menjadi lebih leluasa,” kata Alja Yusnadi, Kamis (11/2/2016). Dia mengatakan tim Pansus ke Jakarta pada Senin, 8 Februari lalu.

Untuk melakukan langkah tersebut, sambung Alja, membutuhkan peran aktif Pemkab Aceh Selatan dan Pemerintah Aceh serta BPN di daerah.

“Inilah yang menjadi kendala dan hambatan bagi kami, sebab tim Pansus DPRK Aceh Selatan tidak mempunyai kewenangan untuk mengeksekusi, melainkan hanya sebatas memberi rekomendasi. Nah, karena usulan pembagian HGU dimaksud menjadi kewenangan mutlak Pemkab Aceh Selatan dan Pemerintah Aceh, sehingga menjadi pertanyaan selanjutnya apakah langkah itu bersedia ditindaklanjuti nantinya,” tegas politisi partai PDIP ini.

Menurutnya, jika Pemkab Aceh Selatan dan Pemerintah Aceh bersedia menindaklanjuti arahan yang disampaikan oleh pejabat Kementerian terkait tersebut, maka pihaknya memastikan bahwa sengketa lahan antara PT Asdal dengan masyarakat Trumon Timur yang telah berlangsung sejak beberapa tahun lalu akan ada penyelesaian secara konkrit.

Berdasarkan UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan Pasal 12 – 16, kata dia, jelas disebutkan dalam hal tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat, pelaku usaha perkebunan harus bermusyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.

Pasal 13, masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada pasal 12 (1) ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 16, perusahaan perkebunan wajib mengusahakan lahan perkebunan paling lambat tiga tahun setelah pemberian status hak atas tanah, dan perusahaan perkebunan wajib mengusahakan lahan perkebunan paling sedikit 30 persen dari laus hak atas tanah dan paling lambat selama enam tahun wajib mengusahakan seluruh luas hak atas tanah yang secara tekhnis dapat ditanami seluruh tanaman perkebunan.

Jika lahan perkebunan tidak diusahakan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka bidang tanah perkebunan yang belum diusahakan akan diambil alih oleh negara sesuai ketentuan perundang-undangan berlaku.

“Fakta di lapangan sekarang ini, dari luas keseluruhan lahan HGU PT Asdal yang mencapai 5.074 hektar, yang telah digarap hanya baru sebesar 2.700 hektar. Jika merujuk UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan tersebut, negara bisa mengambil alih lahan HGU PT Asdal yang belum digarap, sebab izin HGU PT Asdal dikeluarkan sejak 1996.  Jika dihitung sampai 2016 batas waktunya sudah melebihi selama enam tahun,” papar Alja Yusnadi.

Namun yang menjadi persoalan sekarang ini, sambung Alja, terkait keabsahan atau legalitas tanah ulayat hukum adat yang diklaim milik masyarakat. Soalnya, kepemilikan tanah ulayat hukum adat dimaksud diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku.

“Kami mengkhawatirkan terjadi konflik baru di tengah-tengah masyarakat Trumon Timur, sebab rata-rata tanah ulayat hukum adat yang diklaim milik masyarakat setempat justru tidak dilengkapi dokumen surat yang lengkap sesuai peraturan,” ungkapnya.

Kekhawatiran lain, sambung Alja, setelah konflik lahan antara PT Asdal dengan masyarakat Trumon Timur selesai, tanah ulayat hukum adat yang berhasil dikeluarkan dari lahan HGU PT Asdal justru tidak sepenuhnya digarap atau dikuasai masyarakat, melainkan dikuasai oleh pihak perusahaan tertentu yang dibuktikan dari penggarapan lahan oleh seorang pemilik lebih dari 10 hektar.

“Kami akan terus melawan hingga tanah ulayat hukum adat bisa digarap oleh masyarakat setempat,” tegasnya.

Tim Pansus PT Asdal yang dibentuk pada 12 Januari 2016 lalu sebelumnya telah bekerja menghimpun aspirasi dari warga tiga desa, yakni Desa Kapa Sesak, Titie Poben dan Alue Bujok, Kecamatan Trumon Timur. Tim ini juga telah mengumpulkan data terkait keberadaan PT Asdal dari instansi terkait, termasuk telah mengundang pihak BPN Aceh Selatan, pejabat Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kabag Pemerintahan Setdakab dan pejabat Badan Penanaman Modal Perizinan Terpadu, termasuk pimpinan PT Asdal Prima Lestari ke gedung dewan untuk menghadiri rapat dengar pendapat (RDP). [PM003] 

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait