Hindari Gadis Kutilang, KKN Hilang

Hindari Gadis Kutilang, KKN Hilang
Narasumber pada workshop ‘Nanggroe Akuntabel, Rakyat Percaya’, 25 Maret 2014. Dari kiri: anggota DPR RI Nasir Djamil, anggota DPD RI Mursyid, Menpan-RB Azwar Abubakar, Kepala BPKP Mardiasmo, dan Asisten III Setdaprov Aceh Muzakkar. (Foto: Makmur Dimila/pikiranmerdeka.com)
Narasumber pada workshop ‘Nanggroe Akuntabel, Rakyat Percaya’, 25 Maret 2014. Dari kiri: anggota DPR RI Nasir Djamil, anggota DPD RI Mursyid, Menpan-RB Azwar Abubakar, Kepala BPKP Mardiasmo, dan Asisten III Setdaprov Aceh Muzakkar. (Foto: Makmur Dimila/pikiranmerdeka.com)
Narasumber pada workshop ‘Nanggroe Akuntabel, Rakyat Percaya’, 25 Maret 2014. Dari kiri: anggota DPR RI Nasir Djamil, anggota DPD RI Mursyid, Menpan-RB Azwar Abubakar, Kepala BPKP Mardiasmo, dan Asisten III Setdaprov Aceh Muzakkar. (Foto: Makmur Dimila/pikiranmerdeka.com)

MUHAMMAD orang baik. Tapi ia sadar, dirinya seorang kepala keluarga miskin. Namun ia takut melaporkannya kepada lurah atau kepala desa tempat ia berdomisili.

Di desa yang sama, ada Adam dari keluarga yang lebih mampu dibanding Muhammad. Pria ini juga punya hubungan kedekatan dengan lurah. Dan ia berani membeberkan perekonomian keluarganya pada pemimpin desa.

Lurah, saat menindaklanjuti laporan perekonomian warga ke atasan, menyertakan Adam tapi luput nama Muhammad. Kelak, Adam-lah yang terdata sebagai warga miskin dan mendapat bantuan.

Sementara Muhammad makin terpuruk. Dalam masa paceklik itu, tiga anaknya tak sanggup lagi tahan lapar. Sehingga, si ayah mencuri ayam milik Adam sebagai jalan pintas. Sial, dia ketangkap basah oleh Adam dan dilaporkan ke polisi.

“Siapa yang salah?” tanya Insinyur Mursyid, anggota DPD RI asal Aceh, pada puluhan peserta workshop ‘Nanggroe Akuntabel, Rakyat Percaya’ di Ruang Aceh 1 Hermes Palace Hotel, Selasa, 25 Maret 2014.

Mursyid baru saja mengilustrasikan kondisi kekinian rakyat akibat praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang marak di Indonesia. Dalam workshop yang digelar The Jawa Post Institute of Pro Otonomi (JPIP) berkerjasama dengan USAID, pria berpeci itu menyampaikan materi layaknya memberi kuliah umum.

“Ilustrasi di atas hanyalah satu contoh kasus di Aceh,” tutur Dewan kelahiran Aceh Tengah itu.

Berangkat dari contoh kasus tersebut, Mursyid mengaitkannya dengan moral menyimpang dari orang-orang di pemerintahan level nasional hingga lokal. Ia bahkan mengumpamakan jabatan di pemerintahan layaknya barang dagangan.

Seseorang diberi jabatan bukan karena kemampuannya melainkan loyal dan dekat dengan pemerintah yang berkuasa. Sehinga, sebutnya, janji-janji politik kerap ditabur pada hubungan seperti itu.

Jabatan yang bisa diperjual-belikan itu, menurutnya, menjadi salah satu faktor tumbuhnya budaya korupsi di Indonesia. Gejala nepotisme dapat dilihat dari fakta di lapangan bahwa banyak pejabat baik (bersih) dibangkupanjangkan, diganti dengan pejabat yang jahat.

“Fakta di lapangan, lembaga atau pemerintaan yang menerima predikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) justru yang kinerjanya buruk.”

Pernyataan Mursyid itu tak jauh dengan pengakuan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Purnomo, bahwa predikat Wajar Tanpa Pengecualian yang diperoleh kementerian atau lembaga serta pemerintah daerah tidak memastikan institusinya bebas korupsi.

Sebab ditegaskannya, pemeriksaan BPK masih berupa sampel. “WTP tidak menjamin bebas korupsi,” kata Hadi Purnomo dalam acara penandatangan piagam pencanangan zona integritas menuju wilayah bebas korupsi dan birokrasi bersih di kantor BPK, Jakarta, akhir September 2013.

Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara, Azwar Abubakar, saat gilirannya berbicara menyatakan, orang yang dekat dengan penguasa mudah mendapat posisi penting di pemerintahan.

“Misalnya, tim sukses, keponakan, dan saudara. Selain dari kalangan itu dimutasi. Akibatnya, budaya KKN terus terjadi dan susah dihilangkan. Ada yang duduk menjadi kepala dinas PU misalnya dari S.Ag (Sarjana Agama). Guru agama jadi kepala dinas PU,” tuturnya, seperti dikutip pikiranmerdeka.com sebelumnya.

Azwar mencontohkan pada pengumuman kelulusan CPNS dari jalur tenaga K2 beberapa waktu lalu. Banyak administrasi yang dimanipulasikan. Honorer yang baru bekerja dua tahun dalam Surat Keputusan (SK) dikeluarkan sekolah tempat bertugasnya menjadi 5 tahun.

Nasir Djamil lantas dalam kesempatannya menyebut Indonesia masih dalam masa transisi sistem pemerintahan dari otorikrasi menuju demokrasi. Pemerintahan dengan sistem otorikrasi identik dengan korupsi, sedangkan sistem demokrasi tidak identik dengan korupsi, jelasnya.

“Kenapa Indonesia masih merajalela dengan praktik korupsi? Itu karena kita sedang menjalani masa transisi demokrasi,” tutur anggota DPR RI asal Aceh ini.

Pemerintah bukannya tidak mencegah korupsi. Komisi Pemberantas Korupsi salah satu struktur yang telah dibentuk. Hanya saja, ungkap Nasir Djamil, kultur yang belum berubah, yaitu budaya KKN.

“Jadi PR kita, bagaimana mengubah kultur itu sehingga program akuntabilitas terlaksana.”

Pada siang itu, Nasir Djamil mengemukakan, setiap institusi harus dibatasi dan diawasi agar sistem demokrasi berjalan. Bila demokrasi sudah bergulir, akuntabilitas pun terlaksana. Lebih-lebih bila media massa terus mengontrol anggaran yang mengalir di birokrasi.

Adapun Mardiasmo memberikan dua saran terkait pemberangusan korupsi yang mewabah di lingkaran pemerintahan. Pertama, peran Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dapat dioptimalkan demi mewujudkan ‘Nanggroe Akuntabel, Rakyat Percaya’.

“Selama ini, kita hanya melihat penasihat hukum dari seorang pejabat. APIP seharusnya bisa menjadi penasihat bidang administrasi dan keuangan,” tutur Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Pusat itu.

APIP nantinya melakukan blusukan untuk memeriksa setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). “Dalam hal ini bukan seperti blusukannya Jokowi yang turun ke kampung-kampung, tapi APIP betul-betul mengaudit kinerja SKPD,” dia mencairkan suasana.

Menurut Mardiasmo, APIP diperlukan karena selama ini ada jarak antara BPKP dengan pemerintahan. Sebab untuk memastikan akuntabilitas, harus lebih dahalu diberantas korupsi dan memperkuat transparansi anggaran publik. Di sinilah peran APIP.

Kedua, sebut dia, dalam melantik pegawai atau pejabat bukan seperti seorang cowok melirik gadis kutilang. “Pemuda suka sekali dengan cewek kurus, tinggi, langsing, dan bahkan rela tahan derita, tapi mereka tidak melihat sisi dalamnya,” dia memisalkan.

Begitupun calon pegawai atau pejabat, tegasnya, harus dilihat dari soft skill yang dimiliki, yaitu watak berupa moral, etika, sikap dan integritas. Jika Indonesia didominasi pejabat atau pegawai demikian, maka kultur KKN dapat dihilangkan. (Makmur Dimila)

1 Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. (Privacy Policy)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

IMG 20241028 WA0015 660x330
Pj. Gubernur Aceh, Dr. H. Safrizal ZA, M. Si, didampingi Plt. Sekda Aceh, Drs. Muhammad Diwarsyah, M. Si, dan sejumlah Kepala SKPA/Biro, saat menyerahkan SK Kepala Badan Reintegrasi Aceh kepada Jamaluddin, di Ruang Gubernur Aceh, Banda Aceh, Senin, (28/10/2024). Foto: Biro Adpim.

Pj Gubernur Safrizal Tunjuk Jamaluddin sebagai Ketua BRA

Kantor PLN Aceh (Foto PM/Oviyandi Emnur)
Kantor PLN Aceh (Foto PM/Oviyandi Emnur)

GM Berganti, PLN Aceh Berulah

Tabur Bunga HUT TNI
Pj. Gubernur Aceh, Dr. H.Safrizal, ZA, M.Si, Pangdam Iskandar Muda Mayjen TNI Niko Fahrizal, M.Tr dan Kapolda Aceh Irjen Pol Achmad Kartiko, S.IK, MH menabur bunga di makam pahlawan dalam rangka memperingati HUT TNI ke 79. (Biro Adpim)

Pj Gubernur Aceh Tabur Bunga di Taman Makam Pahlawan Sambut HUT TNI