Oleh: Dr. Jabbar Sabil, MA
^Dosen UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
Dari Abū Hurayrah, Rasulullah saw. bersabda: “Akan datang suatu masa di mana orang-orang tidak peduli lagi dengan sumber pendapatan hartanya, apakah halal atau haram. (H.R. Al-Bukhārī).
Hampir setiap hari media massa menanyangkan liputan tentang praktik penipuan dalam transaksi ekonomi. Ada yang bermodus kecurangan takaran atau timbangan, penjualan makanan yang kadaluarsa atau mengandung bahan berbahaya, spekulasi, penimbunan barang dan sebagainya. Di sisi lain, lembaga keuangan yang beroperasi pun tidak lekang dari praktik riba. Hal ini menambah lengkap ‘derita’ umat Islam yang mengimpikan kehidupan yang bersih dari harta haram.
Kiranya kondisi sosial yang terlukis dalam Hadis di atas secara perlahan sudah mulai terjadi sejak sepeninggal Rasulullah. Setidaknya menurut ulama Hadis, perubahan sudah mulai terlihat di masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib. Diriwayatkan bahwa Ali mewajibkan pembayaran (ďamān) terhadap pekerja (al-şāni‘), jika material bangunan rumah yang dipercayakan padanya hilang. Kebijakan Ali ini kontras, sehingga sebagian orang menganggap Ali menyimpang dari kebijakan Rasul.
Dulu di masa Rasulullah hidup, seorang pembuat rumah tidak diwajibkan membayar bahan material pembuatan rumah yang hilang dalam tanggung jawabnya. Hal ini karena ia telah diberi kepercayaan sehingga tidak patut menuntut bayaran. Tetapi menurut Ali, kondisi sosial telah berubah. Orang-orang tidak lagi bersikap amanah seperti di masa Rasulullah. Oleh karena itu, tidak mewajibkan bayar justru menzalimi pemilik rumah, sedangkan menuntut bayaran meningkatkan kehati-hatian.
Sekarang kondisinya sudah lebih parah dari masa Ali. Mungkin kita sepakat bahwa masa hidup kita sekarang sesuai dengan yang dilukiskan Rasulullah dalam Hadis di atas. Lalu bagaimana kita menjalani hidup di tengah kepungan harta haram? Haruskah kita pergi mencari negeri yang bersih dari harta haram? Dalam hal ini kita harus membuat pertimbangan berdasar maqasid al-syari‘ah. Salah satunya bisa kita rujuk dari penjelasan Imam al-Ghazali dalam kitabnya Syifa’ al-Ghalil.
Menurut al-Ghazali, keluar dari negeri di mana kita hidup untuk mencari negeri yang bersih dari harta haram lebih besar mudaratnya. Maka sikap yang moderat adalah mengambil mudarat yang lebih ringan, yaitu sekadar kebutuhan hidup. Ketika harta tidak lagi bisa dipilah dari yang haram, maka boleh hukumnya mengambil untuk kebutuhan daruriyyat. Atau paling banter untuk kebutuhan hajiyyat asal tidak berlebihan, tapi jangan coba-coba pada tingkat tahsiniyyat (mewah). Barangkali ini lah bentuk qana‘ah baru bagi umat di masa sekarang.[]
Belum ada komentar