Tantangan demi tantangan tiada henti menghadang pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Sejak awal pemberlakuannya, kalangan pegiat HAM internasional menentang keras penerapan uqubat cambuk. Mereka menuding hukuman terhadap pelanggar syariat semcam itu sebagai kejahatan kemanusiaan.
Teranyar, kecaman terhadap Kapolres Aceh Utara AKBP Untung Sangaji yang menertibkan aktivitas waria di wilayah kerjanya. Untung beserta jajarannya dituding tidak menghargai perbedaan, bahkan disebut pecehan terhadap kemanusian karena membina dan mengembalikan kalangan waria ke kodrat semula yang bergender laki-laki.
Kecaman terhadap Untung Sangaji antara lain datang dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur menilai, polisi tidak mengindahkan kaidah hukum dan bertindak sewenang-wenang dalam kasus penertiban waria di Aceh Utara.
Menurut Isnur, polisi seharusnya bisa melindungi warga dan tidak bertindak sewenang-wenang. Meski dianggap meresahkan masyarakat, kata dia, waria tersebut tidak melanggar hukum pidana.
Kecaman serupa tidak saja meluncur dari bibir para pegiat HAM model Barat, tapi juga dikemukakan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Zulkifli Hasan. Menurut dia, tindakan jajaran Polres Aceh Utara tersebut tak menghormati hak-hak kemanusiaan.
Buntutnya, AKBP Untung Sangaji harus menjalani pemeriksaan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Aceh. Pemeriksaan dilakukan atas perintah langsung Kapolri karena banyaknya kecaman terhadap Untung.
Berbagai kecaman yang muncul boleh jadi dikarenakan kealpaan mereka, bahwa Aceh tidak saja memberlakukan hukum normatif berdasarkan KUHAP seperti daerah lain di Indonesia. Lebih dari itu, Aceh memiliki kekhussan menerapkan hukum Islam untuk kasus-kasus tertentu.
Kekhususan itu didasari UU No.44/1999 serta dikuatkan dengan UU No.18/2001. Dan, tindakan Untung Sangaji adalah bagian dari penegakan Hukum Islam di Aceh.
Seharusnya, para pengecam itu sadar bahwa penegakan Syariat Islam harus dilakukan dengan tiga tahapan. Pertama, dengan cara dakwah, yaitu mengajak orang-orang untuk masuk Islam bagi yang belum muslim dan mengamalkan Islam bagi yang sudah muslim. Ini juga dengan mengedepankan pendekatan persuasif dan tidak dibenarkan ada keterpaksaan dan kekerasan, selama mereka tidak menunjukkan sikap-sikap perlawanan dan tidak melecehkan Islam.
Cara kedua adalah hisbah, yaitu tindakan reperesif apabila upaya dakwah tidak diindahkan dan menunjukkan sikap pembangkangan. Dan, tindakan hisbah atau ketegasan dalam menindak tidak dilarang dalam Islam.
Tahapan tiga adalah jihad, yang hanya boleh dilakukan jika ada pihak kafir yang berencana memerangi orang Islam seperti yang terjadi di masa Rasulullah. Jadi, tindakan Kapolres Aceh Utara termasuk hisbah. Ini dikarenakan mereka tidak mengindahkan larangan adanya aktivitas LGBT di bumi Aceh.
Karena itu, kita minta semua pihak untuk menghargai kekhususan Aceh, terutama menyangkut penerapan Syariat Islam di samping penegakan hukum normatif. Sementar bagi masyarakat Aceh yang sepakat mewujudkan penerapan Syariat Islam secara kaffah di Serambi Mekkah, tentu pantas memberi apresiasi kepada jajaran Polres Acah Utara atas tindakan tersebut.
Sebab, jajaran kepolisian yang biasanya terpaku pada hukum normatif, kali ini ikut ambil peran dalam penegakan hukum adat dan hukum Islam sesuai kearifan lokal di Aceh.[]
Belum ada komentar