Harga Cabai Aceh Tak Terlalu Pedas

Cabai Merah (Foto freebiespic.com)
Cabai Merah (Foto freebiespic.com)

Di beberapa daerah harga cabai melonjak, kecuali di Aceh. Petani hanya mengeluhkan faktor hama. 

Hingga pekan kedua Januari, harga cabai di beberapa daerah di Indonesia melonjak drastis. Hal ini dipicu berbagai faktor, seperti hujan yang menyebabkan menurunnya pasokan karena banyak petani gagal panen.

Cabai rawit merah merupakan komoditas yang mengalami kenaikan tertinggi. Harganya berkisar antara Rp100 ribu hingga Rp150 ribu per kilogram.

Meroketnya harga ‘buah pedas’ itu bahkan membuat Presiden Jokowi ikut bicara. Saat meninjau Pasar Kanjen di Pekalongan, Jawa Tengah, Senin, 9 Januari, Jokowi menilai kondisi pertanian cabai pada akhir tahun kurang bagus. Salah satu penyebabnya adalah hujan, sehingga berimbas pada gagal panen di daerah sentral produksi cabai.

“Yang namanya harga tergantung supply (persediaan) dan demand (kebutuhan). Karena musim 2016 kemarin memang jelek untuk cabai sehingga banyak yang busuk dan gagal panen sehingga supply-nya kurang,” ujar Jokowi, dikutip Kompas.

Namun, berbeda dengan di Jawa, harga cabai di Aceh justru masih bertengger di harga normal. Seperti dituturkan Abdul Musaleb, petani cabai di Gampong Ujong Blang, Kecamatan Kuta Baro, Aceh Besar. Menurut pria 35 tahun ini, harga cabai lokal di Aceh tak terpengaruh dengan kenaikan harga di luar daerah. Harga cabai merah di Banda Aceh, kata dia, berkisar antara Rp38 ribu hingga Rp40 ribu per kilogram.

Harga cabai di pasar, kata Abdul, tergantung kepada harga yang dipatok agen. Para agen membeli cabai dari petani dan menjual ke pasar dengan harga lebih tinggi untuk mendapatkan untung. “Jadi, harganya tergantung sama agen. Makanya harga cabai naik turun,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Rabu, 11 Januari.

Selain itu, cukup tidaknya ketersediaan cabai menurut Abdul juga menjadi penentu kenaikan harga. Jika persediaan cabai kurang, harganya bakal melonjak. Abdul ingat harga cabai pernah mencapai Rp100 ribu hingga Rp130 ribu per kilogram. “Itu waktu bulan Maulid tahun lalu. Kalau sekarang pun sebenarnya belum tahu lagi gimana harganya, mungkin nanti akan naik lagi,” ujarnya.

Abdul memulai usaha cabai merah beberapa bulan yang lalu bersama adiknya, Rizwan. Mereka menanam empat ribu bibit cabai merah di lahan seluas 120×30 meter. Modal awal, Rp15 juta. Benihnya diambil dari Lambaro, Aceh Besar.

Usai panen, Abdul tidak menjual cabainya kepada agen. Cabai-cabai di kebunnya langsung diambil oleh pedagang di Pasar Ulee Kareng, Banda Aceh.

Baca: Rotan Lhoknga Makin Berkilau

Selama ini, kendala yang dialami Abdul adalah merebaknya hama ulat yang membuat cabai menjadi busuk. Untuk mengatasinya, ia menyemprot insektisida jenis metachlor. Hingga kini, Abdul telah menghabiskan sekitar delapan botol intsektisida tersebut.

Hama ulat ini biasa menyerang setelah turun hujan. “Kalau habis turun hujan, itu ulat nampak kayak kerikil dalam tanaman cabai,” ujarnya. Karena saat ini hujan masih kerap turun, hama ini pun kian banyak. Serangan ulat membuat cabai luruh, menguning hingga hitam dan membusuk. Cabai-cabai ini tampak berserakan di tanah.

Selain hama ulat, kendala yang dihadapi selama ini adalah hama penyebab daun cabai menjadi keriting. Akibatnya, cabai tak berbuah dan daunnya rontok. “Saya mau cari ilmu sedikit lagi untuk mengatasi masalah daun cabai keriting ini. Ini yang belum saya dapat,” ujar Abdul.

Hama lain yang juga kerap menyerang yaitu jangkrik dan keong. Pun begitu, walau diserang hama Abdul mengaku selama empat kali panen cabai masih meraup keuntungan hingga Rp2 juta.

Adik Abdul, Rizwan juga menegaskan harga cabai merah di Aceh kini relatif murah dan tak terpengaruh dengan kenaikan di daerah lain. “Sebab cabai di sini ditampung oleh agen. Jadi agen di sini yang saya tanya, cabainya nggak dikirim ke luar daerah. Jadi saat ini harga masih terjangkau, cuma nanti ke depan belum tahu lagi apa akan naik lagi,” ujarnya.

Menurut Rizwan, harga relatif murah ini karena ketersediaan cabai di Aceh sudah lebih banyak dari sebelumnya. “Kalau nggak dikirim ke luar, cukuplah untuk stok di Aceh. Sudah banyak yang tanam.”

Terkait dengan prospek bisnis penjualan cabai, Rizwan mengaku agak kewalahan karena besarnya modal yang harus dikeluarkan. Apalagi petani biasa seperti dirinya kadang-kadang harus berhutang ke sana kemari untuk menjalankan usaha tersebut.

“Jadi kalau doa kami para petani ini, harganya kalau bisa emang harus sampai dua ratus ribu sekilo, biar cepat kaya. Tapi kalau kita pikir sayang juga masyarakat yang beli nggak ada belanja kan,” ujarnya sembari tertawa. Ke depan, ia bersama abangnya berencana memperluas lahan dengan menambah dua ribu bibit cabai.

Harga cabai yang masih normal juga diakui pedagang. “Harga Jakarta nggak ngaruh di sini. Banyak stok cabai di sini,” ujar Wak Yus, pedagang rempah-rempah di Pasar Ulee Kareng. Malah, kata dia, dulu ketika harga cabai merah di Aceh Rp90 ribu, di Jakarta melonjak hingga Rp180 per kilogram.

Baca: Budidaya Jernang Aceh, Menyambut Kebutuhan Pasar Dunia

Untuk cabai rawit merah yang kini sedang naik harganya, Wak Yus mengatakan komoditas ini sangat jarang dijual di Aceh. “Kalau di Jawa, ya, banyak dijual cabai rawit merah. Tapi kalau di Aceh jarang ada,” ujarnya. Di Aceh, cabai yang paling banyak diminati jenis rawit hijau dan merah.

Harga cabai rawit hijau di Pasar Ulee Kareng Rp60 ribu per kilogram. Sebelumnya, sekitar dua bulan lalu, harganya mencapai Rp70 ribu per kilogram. Hal itu lantaran kurangnya persediaan.

Adapun cabai merah, kata Wak Yus, dijual Rp47 ribu per kilogram. Desember tahun lalu, harganya lebih murah lagi, berkisar Rp30 ribu hingga Rp35 ribu per kilogram.

Wak Yus membeli cabai dari petani di kawasan Lambaro. Biasanya, ia membeli sekitar 15 kilogram untuk stok dua hari. Untuk daerah Ulee Kareng dan sekitarnya, ia mengaku hampir tak pernah kekurangan stok cabai. Karena itu, harganya relatif stabil. “Jadi harganya tergantung pengambilan barang dari agen. Cuaca berpengaruh juga, jadi tergantung panennya. Kalau sedikit panen, harganya jadi mahal,” ujarnya.

Kini, kata Wak Yus, barang niaga yang mengalami kenaikan harga di antaranya sayur bayam. Biasanya, bayam dijual Rp2 ribu seikat, kini menjadi Rp5 ribu.

Selain itu, daun sop juga mengalami kenaikan serupa. Hal ini, kata Wak Yus, disebabkan musim hujan yang membuat petani gagal panen, sehingga kurang barang.

Karena harga cabai di Aceh tak mengalami kenaikan drastis seperti di daerah lain, tak berpengaruh pada bisnis rumah makan. Hal ini diungkapkan Jamyah, penjual nasi di Ulee Kareng. Ia biasa membeli cabai di Pasar Peunayong, Banda Aceh, saat malam. Harga cabai hijau sekitar Rp18 ribu, dan cabai merah Rp35 ribu per kilogram. “Kalau malam besok nggak tahu juga, lantaran, kadang malam ini harganya segini, besok sudah lain lagi. Kalau harganya nggak naik, ya turun. Gitulah, nggak stabil,” keluhnya.

Seingatnya, kenaikan harga cabai terakhir adalah sebelum pergantian tahun kemarin. Harganya mencapai Rp60 ribu – Rp80 ribu per kg. Hal ini lantaran kurangnya stok barang.

Seandainya pun cabai naik, Jamyah tetap tak bisa menaikkan harga makanan secara sembarangan. “Harga makanan harus tetap stabil. Nggak bisa dinaikkan. Misalnya harga sepiring nasi pakai ikan goreng sepuluh ribu rupiah, ya tetap segitu,” ujarnya.

Alasan Jamyah karena harga makanan berbeda dengan barang lain. “Kecuali kalau kayak barang grosir, mahal dibeli ya mahal juga dijual,” tandasnya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Rp1 miliar per huruf
Fadhlan Bachtiar (kiri) dan Moh Agus Zamroni (tengah) tampil sebagai pembicara pada diskusi "Fontastis" yang dipandu pembawa acara Teras Sore, Muhadzdzier M Salda (kanan) di Kanot Bu, Emperom, Banda Aceh. FOTO: Oviyandi Emnur

Rp1 Miliar per Huruf

Kreatif, Warga Pelihara Ikan di Saluran Pembuangan
Warga Desa Blang Cot Baroh, Kecamatan Jeumpa, Bireuen memberi makan ikan yang mereka budidayakan di saluran pembuangan desa mereka. Pikiran Merdeka | Joniful Bahri

Kreatif, Warga Pelihara Ikan di Saluran Pembuangan