Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh mengabulkan gugutan empat pegawai Sekretariat KIP Aceh yang diberhentikan dari jabatannya di Unit Layanan Pengadaan (ULP) lembaga itu.
Dalam putusannya pada 8 November 2016, PTUN memerintahkan Sekretaris KIP Aceh Drs Darmansyah MM menunda SK pemberhentian empat pegawai tersebut.
Dalam salinan yang diteken Ketua PTUN Banda Aceh Herisman dan Panitera Mussadiq, Darmansyah juga diperintahkan menunda SK No.58/Kpts/Ses-KPU Aceh/X/Tahun 2016 tentang pembentukan ULP KIP Aceh pada 4 Oktober 2016 hingga sengketa itu memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap.
Kuasa hukum penggugat, Fatchullah SH SH mengatakan empat klienya menggugat ke PTUN karena mutasi yang dilakukan Darmansyah tidak sesuai aturan.
Adapun empat kliennya, yaitu Sutrisman diberhentikan pada 13 Oktober 2016 dari jabatan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Lalu Aulia Fikri diberhentikan dari Sekretaris ULP KIP Aceh, Jimmi Zikria dari Ketua Pokja, dan T Saiful Bahri diberhentikan dari Sekretaris Pokja pada 4 Oktober 2016.
“Misalnya, pemberhentian pak Sutrisman dari PPK dengan alasan belum adanya sertifikasi sebagai ahli pengadaan, padahal klien saya sudah memiliki sertifikat itu,” kata Fatchullah kepada Pikiran Merdeka, sabtu pekan lalu.
Meski sudah diberhentikan, empat klien Fatchullah hingga saat ini belum menerima SK asli dari Sekretaris KIP Aceh dan tidak ada serah terima jabatan. Menurutnya, proses pemecatan harusnya ada tahapan sesuai aturan. “Ini main pecat-pecat saja,” jelasnya.
Sementara itu, Darmansyah mengaku tidak akan menunda SK pembentukan ULP mengingat kepentingan Pilkada Aceh yang sangat besar tidak boleh terhenti. Dirinya menilai, perintah PTUN untuk menunda pembentukan ULP sifatnya baru laporan sepihak dari penggugat sehingga keputusan itu belum berkekuatan hukum tetap.
“Kepentingan Pilkada tidak boleh terhenti sedikit pun, ini kepentingan negara dan rakyat Aceh. Jika ditunda akan terganggu dan mempengaruhi tahapan Pilkada selanjutnya,” kata Darmansyah kepada Pikiran Merdeka, Sabtu pekan lalu.
Darmansyah sudah menjumpai panitera PTUN untuk berkonsultasi soal penetapan penundaan dari PTUN. Dari pertemuan dengan panitera, dirinya berkesimpulan proses sidang PTUN masih panjang dan dirinya juga akan dipanggil. “Ini kan baru didaftarkan pihak penggugat, jadi proses sidangnya masih panjang bahkan sampai tahap banding. Saya belum dipanggil,” jelas Darmansyah.
Pasca pergantian PPK, ULP dan anggota Pokja, komisioner KIP Aceh kemudian menggelar rapat pleno pada 18 Oktober 2016. Dalam rapat tersebut, komisioner KIP Aceh memutuskan empat poin, yaitu KPA harus bertindak cepat untuk berkordinasi dengan KPU RI terkait pergantian PPK, ULP, dan anggota Pokja.
Kemudian menyelesaikan masalah internal ULP dan Pokja serta PPK dalam proses pengadaan barang dan jasa dalam tempo tiga hari kerja. Lalu semua peket pekerjaan yang akan dilelang harus terlebih dahulu disampaikan dalam rapat pleno KIP Aceh untuk dilakukan kajian isi dan spek teknis agar sesuai dengan PKPU, serta mendapat persetujuan dari komisoner KIP Aceh melalui berita acara rapat pleno. Terakhir, penyebar fitnah dari PNS dan lainnya harus dilakukan tindakan disiplin sesuai peraturan kepegawaian.
Tidak jelas maksud dari poin terakhir tersebut yang menyebutkan penyebar fitnah. Dalam berita acara rapat pleno tersebut, tidak semua komisioner ikut menandatanganinya.
Dari data yang diperoleh Pikiran Merdeka, berita acara itu hanya ditandatangani lima komisioner, yaitu Ridwan Hadi, Basri M Sabi, Robby Syah Putra, Junaidi, dan Muhammad. Sementara Hendra Fauzi dan Fauziah tidak menandatanganinya.
Ketua KIP Aceh Ridwan Hadi yang dihubungi Pikiran Merdeka, mengatakan rapat pleno bertujuan untuk menyelesaikan persoalan pergantian di sekretariat KIP Aceh guna disampaikan ke Sekjend KPU RI.
“Setelah ada informasi pemberhentian dari media, kami menggelar rapat pleno itu. Jadi, mengenai sah atau tidak sahnya pemberhentian itu ditanyakan ke KPU,” kata Ridwan Hadi.
Ridwan Hadi menjelaskan, komisoner KIP Aceh tidak berwenang dalam hal pergantian PPK ataupun ULP. Pleno tersebut, kata Ridwan Hadi, dilaksanakan menyikapi pergantian yang dilakukan Sekretaris KIP Aceh.
Menyangkut tidak ditekennya berita acara pleno oleh dua komisioner, Ridwan Hadi mengaku tidak ingat lagi alasannya. “Saya tidak ingat lagi itu, coba ditanyakan sama yang bersangkutan,” pintanya.
Diberitakan sebelumnya, ada beberapa faktor menjadi pemicu terjadinya kisruh di internal KIP Aceh yang berakhir dengan pemutasian staf, pergantian PPK, Sekretaris ULP dan anggota Pokja.
Disebut-sebut, banyak pihak ingin mencicipi gurihnya proyek pengadaan sarana dan prasarana Pilkada) Aceh 2017. Hal ini juga tidak terlepas dari ikut sertanya sejumlah komisioner KIP Aceh dalam menyukseskan skenario kisruh selama ini.
Menurut sumber Pikiran Merdeka, beberapa komisioner ikut berkonspirasi dengan Sekretaris KIP Aceh Darmansyah untuk menggantikan Saiful dan Nurhaidar sebagai anggota Pokja, Sutrisman dari jabatan PPK dan Aulia Fikki dari Sekretaris ULP. Beberapa komisioner itu bermain di belakang layar, sementara Darmansyah berperan langsung sebagai pelaksana skenario.
Pegawai yang diganti ini dianggap tidak loyal terhadap petinggi KIP Aceh karena tidak mau menuruti keinginan atasan untuk merekayasa setiap lelang proyek di lembaga itu. Dugaan tersebut dikuatkan dengan penghentian tiba-tiba tujuh proyek pengadaan yang sedang dalam proses lelang. Belakangan, tujuh paket tersebut ikut hilang dari laman LPSE KPU.
“Aulia Fikki tidak pernah menerima SK pemberhentian, sementara Sekretaris ULP sudah diangkat yang baru. Begitu juga Sutrisman diberhentikan karena alasan tidak memiliki sertifikat tenaga ahli pengadaan, padahal dia itu punya. PPK saat ini merangkap dengan KPA, yaitu Darmansyah,” kata sumber Pikiran Merdeka.
Bukan saja penguasaan proyek menjadi alasan penyebab kisruh di KIP Aceh. Pergantian sejumlah pegawai KIP juga bertujuan mengamankan sejumlah dugaan kasus penyelewengan di KIP Aceh. Misalnya proyek pengadaan sewa delapan unit mobil untuk komisioner dan sekretaris yang dimenangkan CV Skala Nonius.
Menurut sumber tadi, perusahaan tersebut hanya pinjaman saja. Proyek tersebut sebenarnya dikerjakan oleh Bakhtiar, teman Ridwan Hadi. Belakangan diketahui Bakhtiar bertetangga dengan Ketua KIP Aceh itu. Proyek itu diduga bermasalah karena KPA telah membayarkan seratus persen uang sebelum serah terima barang selesai. Pelunasan kepada rekanan pada 12 Agustus 2016. Namun, hingga kini masih ada komisioner KIP Aceh yang belum menerima mobil operasional tersebut.
Sementara Komisioner KIP Aceh Fauziah yang disebut-sebut hingga kini belum menerima mobil operasional itu, menolak mengomentari persolan tesebut. “Untuk persoalan mobil, tidak ada komentar apa-apa dari saya,” katanya saat dihubungi Pikiran Merdeka, Sabtu lalu.
Selain belum sampainya semua mobil untuk para komisioner, anggaran sewa Rp724 juta lebih untuk delapan mobil tersebut sebagiannnya dipakai sebagai uang muka kredit mobil kepada beberapa komisioner KIP Aceh. “Jadi ada komisioner tidak menyewa, melainkan jatah sewa itu diambil untuk uang muka mobil baru. Padahal uang tersebut diperuntukkan untuk sewa,” jelasnya.
Sementara persoalan lain, adanya pencatutan nama penegak hukum dijadikan alasan untuk bisa kasbon di bendahara dengan alasan pengamanan kantor. “Mereka berani mencatut nama perwira polisi, padahal uang itu mereka pakai sendiri. Seperti Darmansyah memakai uang itu untuk mencetak undangan pernikahan anak kandungnya pada Juni 2016, ” jelas sumber tersebut.
Persoalan lain yang dianggap sangat bahaya, yaitu pertarungan faksi di internal KIP Aceh dengan menyusupkan rekanan pengadaan kertas suara. Dikhawatirkan, rekanan ini nantinya bisa menggandakan cetak kertas suara untuk kepentingan memenangkan kandidat tertentu pada Pilkada 2017. “Makanya persoalan ini perlu ada perhatian serius dari semua pihak, khususnya penegak hukum,” harap sumber tersebut.[]
Belum ada komentar