PM, Banda Aceh – Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Aceh (GMPA) menyesalkan masih adanya pihak lembaga atau oknum yang diduga mencoba mengerdilkan serta melemahkan poin-poin dalam Qanun Jinayat. Padahal, Qanun Jinayat merupakan kerinduan masyarakat Aceh paskakonflik berkepanjangan di Aceh dan salah satu bentuk implementasi syari’at Islam di Bumi Serambi Mekkah.
“Upaya oknum-oknum lembaga tertentu untuk memasukkan doktrin-doktrin tertentu untuk melemahkan poin-poin yang termaktub dalam Qanun Jinayat merupakan bentuk tindakan yang berpotensi melukai batin masyarakat Aceh yang merindukan penegakan syariat Islam di Aceh,” kata Koordinator GMPA, Muhammad Jasdi, Jumat, 13 Agustus 2021.
Dia menduga adanya oknum dari lembaga tertentu di Aceh yang sering menyorot secara negatif Qanun Jinayat, guna mendapat perhatian funding dari luar daerah. Menurutnya pelemahan nilai syariat Islam di Aceh juga kerap berpeluang mendapatkan donor segar dari luar yang memiliki misi terselubung.
“Jika ini terjadi, tentunya harus diantisipasi oleh pemerintah, ulama dan masyarakat Aceh, sehingga generasi Aceh ke depan tidak terkontaminasi dengan paham-paham dan doktrin yang bermuatan sekuler dan melemahkan nilai syari’ah,” ujarnya.
Muhammad Jasdi yang juga pengurus Perti di Kabupaten Abdya itu mengatakan, sering pula terjadi upaya oleh oknum atau lembaga tertentu untuk membenturkan poin-poin Qanun Jinayat dengan isu Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk itu dia berharap kepada para ulama agar terus menerus mengingatkan pemerintah di Aceh akan bahaya tersebut.
“Ini bisa membahayakan syariat Islam di Aceh, jangan sampai paham sekuler berkembang masif di Aceh,” ucapnya.
Salah satu yang kerap memunculkan masalah dalam implementasi Qanun Jinayat adalah eksekusi terhadap pelanggar dengan hukum cambuk. Hukum tersebut seringkali menuai sorotan lantaran dianggap melanggar HAM.
Dia mengajak para pihak untuk memahami HAM dengan cara mengerti konsep liberty dan freedom. Menurutnya dua kata tersebut memiliki arti yang sama, tetapi mengandung maksud yang berbeda.
“Freedom yakni hak tentang kebebasan dan kemerdekaan yang melekat pada setiap individu, sebagai contoh hak untuk hidup. Sementara, liberty adalah hak yang muncul dari kesepakatan sosial antar individu, kelompok, organisasi dan sebagainya. Jadi Qanun jinayat ini masuk dalam konsep liberty dalam HAM, dimana hak itu muncul dari hasil kesepakatan sosial masyarakat Aceh yang diwakilkan oleh para wakil rakyat di parlemen, dari sana muncul hak dan kewajiban. Konkritnya, tak ada urusan penerapan Qanun Jinayat dengan pelanggaran HAM di Aceh, maka jangan lagi ada oknum-oknum yang berupaya melemahkan dan mengobrak abrik keberadaan Qanun Jinayat,” jelasnya.
GMPA juga meminta pemerintah Aceh, MPU, dan juga ulama untuk jeli mencermati aliran dana yang mengalir ke Aceh. Menurutnya tak jarang dana-dana bersumber dari asing tersebut memiliki misi tertentu yang berdampak pada pelemahan syariat Islam.
“Kami mengimbau masyarakat Aceh untuk selektif dalam menyerap pemahaman atau doktrin baru yang dibawa oleh pihak tertentu, di Aceh. Mari kita tetap mendukung dan menjunjung tinggi Qanun Jinayat sebagai bentuk inplikasi penerapan syariat Islam di Aceh,” tutupnya.[]
Belum ada komentar