Mantan Kadis Sosial Bener Meriah mempraperadilankan polisi setampat atas penetapannya sebagai tersangka dugaan korupsi rehab rumah tak layak huni.
Senin siang (13/2), mantan Kepala Dinas Sosial Kabupaten Bener Meriah, Juanda, bertandang ke Kantor Pengadilan Negeri setempat. Ia didampingi kuasa hukumnya, Sulaiman bersama perwakilan YARA (Yayasan Advokasi Rakyat Aceh) Cabang Aceh Barat, Hamdani. Kali ini, Juanda mengajukan gugatan praperadilan. Upaya ini sehubungan dengan keabsahan penetapan statusnya sebagai tersangka oleh Polres Bener Meriah dalam kasus dugaan korupsi pekerjaan Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) senilai Rp1.920.000.000.
Kepada Pikiran Merdeka, Juanda menjelaskan serangkaian kejanggalan yang ia temui dalam proses hukum yang menjeratnya selama ini. Salah satunya, keterangan yang sempat ia paparkan di depan penyidik saat pemeriksaan di Polres Bener Meriah tahun lalu, yang tak pernah ditindaklanjuti hingga kini.
“Kejanggalan ini kan sudah luar biasa. Sampai sekarang, saya belum mengerti penetapan tersangka terhadap saya itu seperti apa kepastiannya,” kata Juanda.
Menurut dia, penetapan status tersangka yang juga menimpa salah seorang anggota PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) juga tak kalah janggal. Pasalnya, seluruh pekerjaan lapangan sebenarnya menjadi tanggung jawab dari komite RTLH, bukan kepadanya (selaku KPA) lagi, karena itu sudah melalui perjanjian kesepakatan. “Namun, ketika ada kerugian, mereka yang dari komite itu tak seorang pun diusut,” katanya.
Termasuk soal tuduhan melakukan PHO (Provisional Hand Over) di saat hasil pekerjaan lapangan masih bermasalah, Juanda mambantah hal tersebut. “Yang ada serah terima antara komite dan masyarakat penerima bantuan. Saya sudah jelaskan ke polisi, bahwa dana terlebih dahulu masuk ke rekening komite, baru pengerjaan dimulai. Itu bukan PHO namanya,” tegas Juanda.
Ditambah lagi, lanjut dia, besarnya kerugian negara baru diketahui setelah adanya pemberkasan menjelang tahap persidangan. “Dari laporan pemeriksaan BPKP, kami bisa menyimpulkan bahwa yang turun ke lapangan tidak pernah diberitahukan kepada kami. Berarti niat baik kami untuk mengembalikan ke negara seandainya dapat temuan, kan ditutupi,” sebutnya.
Dalam lembaran praperadilan yang diajukan itu, tertera hal lainnya. Selain keterangan BAP yang tidak ditindaklanjuti, hak Juanda untuk mengajukan saksi yang meringankannya juga tidak diakomodir oleh pihak Polres.
“Secara resmi kami juga pernah ajukan melalui surat pada tanggal 6 Februari 2016 kepada Polres dan Kajari Bener Meriah agar diberikan hak untuk pemeriksaan saksi yang meringankan, tetapi tidak pernah diberikan sampai sekarang,” kata Safaruddin melalui sambungan telepon, Sabtu lalu.
Kemudian, pengakuan Juanda yang cukup mengehebohkan publik, terkait aliran dana yang diberikan kepada Plt Bupati Meriah Rusli M Saleh senilai Rp 41 juta yang kemudian dibagikan ke sejumlah oknum kepolisian, juga tidak dikembangkan oleh aparat penegak hukum.
Baca: Jejak Suap Plt Bupati Bener Meriah
Kuasa hukum Juanda, Safaruddin juga menerangkan hal serupa. “Pada pengembangan aliran dana yang mengalir pada oknum polisi yang disebutkan dalam BAP, penerima dana juga seharusnya diperiksa karena dapat masuk kategori suap atau gratifikasi. Dan, orang yang menerima dana lainnya pun tidak dikembangkan, ini yang menjadi aneh,” ujar Direktur YARA ini.
Untuk dugaan suap yang menyeret oknum Polres, Safaruddin juga telah mengajukan laporan ke Propam Polda Aceh. Sedangkan dugaan suap yang melibatkan Rusli M Saleh, ia berencana melayangkan laporan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kami juga tengah berdiskusi untuk mengajukan laporan ke KPK, terkait penerimaan gratifikasi yang dilakukan oleh Rusli saat ia menjabat sebagai Wakil Bupati Bener Meriah. Semua akan terus kita tindaklanjuti,” tambahnya.
Sebagaimana diketahui, dalam lembar BAP-nya Juanda mengaku, dari aliran dana yang melibatkan Rusli M Saleh senilai Rp41 juta itu, sebagian dibagikan kepada Kasat Reskrim Polres Bener Meriah sebesar Rp15 juta. Lalu ke Kasat Intel sebesar Rp2 juta, serta Rp1 juta untuk Polsek Bukit. Sisa dari dana tersebut diambil oleh Rusli, dan sebesar Rp3 juta digunakan untuk memperbaiki mobil operasional Rescue Dinas Sosial Bener Meriah.
Selain meminta Pengadilan membatalkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Sidik/25.a/IV/2016 yang diterbitkan Reskrim tertanggal 10 Juni 2016, dalam berkas praperadilan itu Juanda juga minta agar Surat Penahanan Nomor: Sp.Han/39/IX/2016/Reskrim, tanggal 23 September 2016 juga dibatalkan.
Selain itu, ia juga meminta Polres Bener Meriah mengganti kerugian Materil Pemohon sejumlah Rp100 juta dan kerugian immateril yang jika dikalkulasikan dengan rupiah senilai Rp1 miliar.
Sementara itu, Rusli M Saleh yang dihubungi Pikiran Merdeka pekan lalu menjawab singkat. “Nggak ada itu (uang suap),” bantah Rusli. Ia menyangkal pernah meminta Juanda untuk menyerahkan uang sebesar Rp41 juta kepadanya, yang diduga sebagai uang suap. Namun ia tak menampik jika Juanda pernah datang ke kediamannya.
“Sebagai wakil bupati, wajarlah saya menerima kepala dinas (Juanda). Tapi soal terima uang Rp41 juta, saya pikir itu mengada-ada, tidak pernah seperti itu,” tegasnya.
Lagipula, lanjut Rusli, pada tanggal yang disebutkan Juanda sebagai waktu penyerahan uang suap itu, ia sedang tidak ada di rumah. “Waktu itu saya sedang pelatihan di luar daerah, jadi kapan itu bertemu untuk serahkan uang,” kilah Rusli.
Ia mengaku, tidak mungkin melakukan upaya lancung itu selama ia menjabat sebagai wakil bupati. Terlebih dana untuk pembangunan RTLH sudah dirincikan sebelumnya oleh dinas di tingkat provinsi. “Tak mungkinlah saya berlaku demikian, saya masih punya atasan (bupati), apalagi dana itu kan dari pusat, sudah dirincikan, tak mungkin diselewengkan,” ujarnya.
Terkait merebaknya dugaan suap ini hingga ke publik, Rusli tak terlalu ambil pusing. Menurutnya, segala tuduhan harus dapat dibuktikan, agar bisa diproses lebih lanjut. “Ya kalau bisa dibuktikan, silakan dipanggil, saya tidak ada masalah,” tandas Rusli.[]
Belum ada komentar