PM, BANDA ACEH –Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh ikut menyoroti isu tidakharmonisan antara Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, dan Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh, Bustami Hamzah. Isu ini berdampak negatif pada kinerja birokrasi di Pemerintahan Aceh.
Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani S.Hi, mengungkapkan bahwa hubungan antara Pj Gubernur dan Sekda Aceh semakin memburuk. Isu ini menjadi semakin nyata setelah perpanjangan jabatan Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki pada Juli 2023 lalu.
“Kurang harmonisnya kedua pihak ini jelas akan memberikan dampak negatif terhadap keputusan-keputusan strategis dan kinerja dalam lingkungan Pemerintah Aceh,” sebut Askhalani SHi, dalam siaran tertulisnya yang diterima media ini, Kamis (24/08/2023).
Askhalani menyebutkan, konflik kedua pejabat Aceh itu dapat dijadikan fakta diantaranya, Sekda Aceh tidak dilibatkan dalam rapat-rapat khusus, seperti pembahasan anggaran dan pembahasan penetapan kebijakan baik KUA-PPAS Tahun 2024 maupun penyusunan kebijakan APBA 2024.
“Padahal fungsi Sekda Aceh sebagai pendelegasian wewenang pimpinan dan sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) menjadi sangat sentral dalam perumusan dan pembahasan kebijakan. Akan tetapi, karena tidak ada penglibatan dan adanya pembatasan langsung serta tidak ada pendelegasian wewenang dari Pj Gubernur Aceh yang lebih menunjuk pihak lain dalam hal ini kepala Bappeda sebagai penanggung jawab,” ujarnya.
Akibat serta dampak dari ini, sambung Askhalani, banyak keputusan yang diputuskan sama sekali tidak dibahas secara baik dan tertib sebagaimana perintah UU dan Peraturan, seperti surat menyurat, paraf kebijakan strategis seperti izin Pertambangan, izin Pengelolaan Migas, proses pergantian jabatan, proses pemindahan jabatan dan kenaikan pangkat, izin menghadiri acara serta keputusan strategis lainnya yang berhubungan dengan hajat hidup publik.
Lebih lanjut, kata Askhalani, selama kurun waktu pasca perpanjangan jabatan Pj Gubernur Aceh sama sekali tidak melibatkan Sekda Aceh dan dibatasi secara langsung. Kondisi ini menurutnya jelas memberikan dampak negatif serta berpotensi melanggar hukum.
Tindakan Pj Gubernur Aceh yang mengesampingkan fungsi dan wewenang Sekda Aceh ini, menurut Askhalani, tidak sesuai dengan UU No 11 tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh pasal 101 ayat (1), (2), kemudian UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 213 ayat (1), (2).
“Kemudian PP 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah pada Pasal 7 ayat (2), (3) dan (4), Permendagri No 1 tahun 2023 tentang Tata naskah dinas dilingkungan Pemerintah Daerah, serta Pergub Aceh No 12 Tahun 2021 Tentang SOTK Sekda Aceh pasal 7 dan Pasal 8 ayat (1),” kata Askhalani.
Askhalani juga mengatakan, dari fakta dan kondisi adanya kisruh internal antara Pj Gubernur Aceh dan Sekda Aceh ini jelas telah memberi dan menimbulkan dampak dan celah adanya perbuatan melawan hukum dan menimbulkan celah adanya Korupsi berencana.
“Sehingga, secara langsung akan menggangu jalannya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih. Jika ini terus dibiarkan dan tanpa ada upaya perbaikan dari para pihak, maka ini akan sangat merugikan publik Aceh. Apalagi kondisi saat ini adalah momentum untuk mempersiapkan Aceh sebagai daerah yang akan menyelenggarakan PON dan menjelang Pemilu 2024,” katanya lagi.
Askhalani juga mengatakan, jika ketidak harmonisan kedua Pejabat Aceh itu tidak bisa dicarikan alternatif penyelesaiannya, maka Menteri Dalam Negeri (Mendagri) sebagai pihak yang bertanggungjawab secara langsung terhadap kinerja Pemerintah Daerah untuk terjun langsung memantau kinerja Pj Gubernur Aceh dan melakukan evaluasi.
“Karena secara hirarki pemerintahan, jika kasus dan kondisi pemerintahan sebagaimana kondisi di Aceh berlangsung lama, maka imbas paling besar adalah pada etos kerja dan lahirnya kebijakan korup. Sebab, beberapa kebijakan yang diambil oleh Pj Gubernur Aceh tanpa adanya paraf dan koreksi dari Sekda Aceh serta tidak melalui mekanisme dan penetapan kebijakan sebagaimana perundangan,” katanya.
Fakta lain ketidak harmonisan itu, kata Askhalani, Pj Gubernur Aceh yang tidak segera melantik Sekda Aceh sebagai Komisaris Utama (Komut) Bank Aceh Syariah (BAS) berbarengan dengan para Komisaris dan para Direksi lainnya sebagaimana pelantikan yang dilakukan pada tanggal 8 Agustus 2023.
“Juga semakin menambah daftar panjang ketidak harmonisan antara Pj Gubernur Aceh dan Sekda. Padahal berdasarkan rekomendasi dari BI dan OJK, untuk mengisi jabatan Komut Bank Aceh Syariah yang masih kosong harus segera dilakukan pengisian jabatan,” terangnya.
Hal ini, lanjut Askhalani, bertujuan untuk keberlangsungan kinerja Bank Aceh Syariah dalam pengembangan investasi keuangan dan hubungan untuk membantu publik Aceh terutama mempercepat pengembangan ekonomi makro dan dunia usaha.
Kondisi ketidak harmonisan kedua pihak ini, sambungnya, adalah buntut dari proses dinamika politik dan campur tangan Pemerintah Pusat dalam mengambil kesimpulan terhadap usulan penetapan perpanjangan jabatan Pj Gubernur.
“Selain itu, ketidak sehat nyan cara pandang Pj Gubernur Aceh dalam memahami dinamika politik dalam penetapan kelanjutan kepemimpinan Pj Gubernur Aceh tidak ditarik sebagai politik kedewasaan, tapi seperti sifat kekanak-kanakan,” ungkapnya.
Seharusnya, lanjut Askhalani, begitu pilihan Pemerintah Pusat untuk memperpanjang masa jabatan Pj Gubernur Aceh, maka pertentangan dengan Sekda Aceh juga harus diakhiri.
“Sehingga kedua pihak kembali dapat menjalankan tugas dan wewenang masing-masing sebagaimana ketetapan perundangan,” pungkasnya.
Belum ada komentar